Monday, October 21, 2019

PROPAGANDA JILBAB


Beberapa waktu lalu, timeline IG-ku diramaikan oleh pertanyaan, "Apakah hukumnya wanita shalat (berjamaah) di mesjid?"

Pict: Kegiatan ibu-ibu bakda Maghrib di Mesjid Silaturahim, Sari Rejo, Medan Baru




Jujur, rasanya semua urat marahku naek ke ubun-ubun. Waktu itu langsung mau buat sanggahan rasanya, karena semua rujukan yang disampaikan sebagai solusi adalah hadits nabi saw., yang didalamnya memuat redaksi, "shalat wanita adalah di dalam bilik di rumahnya."

Akhirnya sampai tulisan ini kuputuskan untuk dibaca publik, aku berhusnuzhan, bisa jadi pertanyaan ini sengaja di viralkan oleh laki-laki yan khawatir mesjid bukan lagi tempat yang nyaman bagi mereka beribadah, karena semakin banyak fitnah.

TAWAZUN


Setidaknya ada tiga potensi fitriyah dari setiap manusia. Dimana, jika ketiga potensi ini diberi asupan yang benar akan tercapailah tawazun (keseimbangan) dalam hidupnya.

Ketiga potensi itu adalah potensi jasmaniah, potensi aqliyah, dan potensi ruhiyah.

Ketiga potensi ini harus kita rawat dan jaga agar tetap sehat, dengan cara memberinya asupan. Asupan itu adalah:

1. Potensi jasmaniah, asupannya adalah makanan yang halalan toyyiban. Underline kata toyyiban, karena ada banyak makanan halal yang ketika kita konsumsi menjadi tidak toyyib. Misalnya, seekor kambing yang di kare, ketika dimakan sendirian dalam satu waktu.

2. Potensi Aqliyah, asupannya adalah menuntut ilmu. Tapi esensi dari menuntut ilmu ini adalah kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan salah. Sebagaimana kita lihat fenomena, ada orang yang sudah menuntut ilmu sampai tinggi tapi pandangannya malah nyeleneh secara umum, apalagi jika sampai nyeleneh secara syariah. Kenapa esensinya sampai bisa membedakan mana yang baik dan salah? Karena Allah memberi kita kebebasan memilih jalan hidup, apakah hendak pulang ke surga atau neraka.

3. Potensi Ruhiyah, asupannya mengingat Allah (zikrullah). Tapi yang perlu di bold dan ditulis dengan huruf kapital, zikrullah bukan hanya bertasbih, tahmid, takbir di waktu-waktu tertentu, tapi di semua aktifitas bahkan puncaknya sampai setiap nafas kita adalah zikrullah. Ketika zikrullah ini sudah melekat, maka akan kalahlah nafsu yang mencondongkannya pada perilaku yang menghantarkannya pada hal-hal yang tidak disukai Allah.

Pertanyaannya, apa hubungan tawazzun dengan propanda jilbab?

Secara pribadi, aku memang kurang simpati pada muslimah bercadar. Penggunaan cadar menurut 4 mazhab adalah masalah khilafiyah. Artinya, perbedaan ini jangan sampai membawa perpecahan. Anehnya, Indonesia yang mayoritas muslimnya mengaku bermazhab Syafi'i menafikan ini. Karena poin penting dari Mazhab Syafi'i mengenai cadar adalah, "Wajib bagi wanita dihadapan laki-laki ajnabi".

Kelucuan lagi dengan adanya pendapat beberapa tokoh NU yang berkesimpulan, "Kita mengakui wajibnya cadar bagi muslimah menurut mazhab Syafi'i, tapi mewajibkannya bagi muslimah Indonesia akan sulit. Dengan alasan cadar masih masalah khilafiyah di kalangan ulama dan NU masih mengakui pendapat keempat imam mazhab."

Hmmm...

Baiklah. Secara pribadi, aku terlahir di keluarga: ayah Al-Wasliyah, mama NU dan secara pemahaman dan ibadah ubudiyah aku banyak menjalankan aturan yang diajarkan Mahzab imam Ahmad.

Kembali ke hukum wanita shalat ke mesjid. Adalah Profesor Ahmad, guru besar dari Institute Pertanian Bogor, yang juga pembina LDK (Lembaga Dakwah Kampus) Al-Huriyyah IPB, dalam kunjungannya ke Medan 2015 silam, menyampaikan:

"Akhwat, hadits tentang tempat terbaik shalat itu saat keadaan Islam masih sangat tidak aman. Terlebih bagi wanita. Indonesia, negara yang telah menjamin wanita aman keluar kemana pun, sehingga kalian bebas menuntut ilmu, bekerja bahkan bepergian kemanapun untuk urusan yang tidak penting, tanpa mesti ditemani oleh mahram. Maka, dengan tampilan kalian sekarang ini manfaatkan kesempatan itu untuk dakwah dan syiar Islam. Kalau kalian tidak mencontohkan untuk meramaikan mesjid, bagaimana mereka yang belum faham akan ramah juga dengan mesjid?" Jelas beliau. (Redaksinya tidak persis demikian, tapi intinya ini)

Akan beda rasanya, nikmat shalat berjamaah dan sendirian. Diantaranya, ketika kita shalat sendirian lintasan fikiran yang merusak kekhusyukan shalat akan mempengaruhi shalat kita. Tapi saat berjamaah, gangguan itu akan diminimalisir dengan adanya orang di samping kiri kanan kita. Boleh tes sendiri.

Nah, problemnya adalah, ketika aku sampai pada kesimpulan, bisa jadi laki-laki mengkhawatirkan kekusyukan shalat mereka dengan berkeliarannya wanita di mesjid.

Sekarang jilbab itu tren. Dulu sekali, alasan orang berat untuk berjilbab itu sebatas malu akan mencoreng nama baik orang yang berjilbab kalau satu waktu dia melakukan kesalahan. Sekarang, sempat muncul tagline yang membuat aku gregetan sendiri.

"Aku berjilbab bukan berarti aku sudah baik."

Tagline ini naik ke permukaan saat mulai banyak cibiran terhadap muslimah berjilbab yang kelakuannya membuat amarah para nenek-nenek yang sudah mengabdikan sisa usianya di mesjid, misalnya. Pembelaan atas sering munculnya sindiran, "Kok kayak gitu, enggak malu sama jilbabnya?"

Permasalahan yang paling baru lagi, adalah keberanian orang-orang sakit jiwa menunjukkan taringnya. (Note: Akun FB-ku di banned dan enggak bisa dibuka sampai sekarang setelah ngeshare tulisan yang terkait fenomena ini di USU, beberapa waktu silam. Edisi jadi curhat)

Orang-orang sakit jiwa ini mulai berani membuat komunitas yang kemudian diberi nama Crosshijabers. Boleh googlinglah aktifitas mereka yang meresahkan itu, rasanya rambutku mulai berubah jadi tanduk semua soalnya sekarang. (Hhhhhh ... tarik nafas panjang)

Oke ...
Kembali ke kalimat, kenapa aku kurang simpatik pada ukhti-ukhti yang bercadar. Ini terkait beberapa insiden pribadi dengan muslimah bercadar yang kualami sendiri. Walaupun, aku tidak menafikan banyak muslimah bercadar yang baik. Kubenarkan, persentansenya lebih banyak.

Tapi keseringan gitu ya, kan? Hukum alamnya, kesalahan yang dibuat oleh satu pelaku dalam satu komunitas, akan menggeneralkan semua orang  di komunitasnya sama.

Insiden itu seperti, pernahnya di depan mataku, seorang akhwat bercadar melangkahi tas seorang ibu yang aku tau, ibu itu baru selesai membaca Qur'an dan Qur'annya disimpan di tas itu.

Dua, adanya sebuah jamaah tertentu yang ketika mengadakan kajian, istri-istri dan wanita-wanitanya dibawa oleh para walinya, tapi di lokasi (umumnya di mesjid) mereka malah membuat majelis-majelis sendiri,sampai aku khawatir, adakah di antara mereka, satu orang saja yang benar-benar menyimak apa yang disampaikan muballigh-nya?

Fenomena berkeliaran di mall sendirian, nonton bioskop dan baru keluar jam setengah sebelas malam juga pernah terjadi di depan mataku. Oke kalau temannya laki-laki aku husnuzhan dia keluar bersama suaminya. Si ukhti itu keluar bersama teman-temannya yang plural, artinya dua di antaranya berjilbab, modis, satunya lagi tidak berjlbab sama sekali. (Catatan, aku nonton bareng my brother my lovely, ketika itu)

Dan kejadian yang paling baru, ada komunitas hijrah di medan, sebagian akhwatnya bercadar. Alhamdulillah saat kajian khusus akhwat, mereka mendengarkan dengan tawadhu. Tapi yang membuat nenek-nenek yang sudah menjadi jamaah tetap mesjid naik darah (termasuk aku, cuma aku kan lebih calm orangnya, paling menghindar jauh aja) saat kajian berikutnya berlangsung, kajian yang terbuka untuk bapak-bapak dan ibu-ibu.

Mereka (mungkin pengurus inti komunitas, bisa jadi) berkumpul membentuk majelis sendiri di dalam mesjid, dan berhaha-hihi, sedang kajian masih berlangsung, dan suara mereka, jelas mengganggu jamaah ibu-ibu yang mendengarkan penyampaian si muballigh.

Tak cukup sampai di situ, saat azan berlangsung, setelah kajian, mereka masih dalam lingkarannya. Sampai saat jeda antara azan dan iqomah, si nenek kehabisan kesabarannya.

"Kalian jangan ngumpul gitu nakku, nyebar kalau enggak ikut shalat. Ini mesjid ada CCTV-nya, kalian terlihat. Mesjid itu ada adabnya. Malu kita dilihat sama petugas mesjid ada jamaah perempuan yang ngumpul-ngumpul saat jamaah," pinta si nenek. Suaranya memang tinggi, tapi karena aku mengenal si nenek, dari sinar matanya aku haqqul yaqin, si nenek lebih pada berduka saat menyampaikan itu.

Dan yang lebih menjengkelkannya, astaghfirullah, aku bukan lebih baik dari mereka, tapi tak boleh dinafikan aku lebih dulu belajar syariat dari mereka (Huh, mode on sombong).

Itu anak, bukannya bergerak. Kalau aku Naruto yang punya jurus 1000 bayangan, pasti 999 bayanganku akan membuka paksa cadar mereka satu-satu untuk melihat ekspresi muka degil mereka, yang dari raut matanya tampak menantang si nenek tadi.

Wallahi, bukan hanya aku yang bertanduk. Seorang ibu yang membawa anaknya, bahkan belum baligh dan bercadar juga, sampai melontarkan kalimat:

"Orang itu enggak shalat? Jadi kok di dalam mesjid? Mesjid itu kan tempat suci?" Katanya. Menurutku kalimatnya juga cukup jelas untuk didengar, tapi tampaknya yang dibicarakan jilbabnya berasal dari kain yang sangat tebal, jadi pendengarannya agak rusak. (Astaghfirullah, ampuni aku Ya Allah)

Bila kita kaitkan dengan kejadian crosshijaber, maka keberanian mereka tersebab manusia-manusia begini.

Mereka melihat, tongkrongan mereka yang hijrah (casing) tempat hangoutnya mulai berganti, seperti dengar pengajian sampai malam lalu pulang dengan berkendara sendiri, menempuh jarak yang lumayan jauh, ini fakta juga di medan.

Artinya apa?
Jika kemudian timbul kekhawatiran setelah kejadian ini: cadar, niqab atau apapun namanya, secara legal dilarang di Indonesia, ada dasarnya. Kita akhwat, yang cari perkara duluan. Wallahi. Orang-orang baik di parlemen berjuang agar sedikit banyak syariat Islam menjadi konten penting di Undang-undang. Tapi sadarlah, mereka yang sekuler dan munafik persentasenya lebih besar.

Tapi memang syah,-syah saja. Toh, di Arab Saudi, yang cadaran tapi berani berkeliaran di tempat umum tanpa mahram itu cuma dua, pertama di kalangan tak terdidik termasuk pendatang, dan kedua penyamun. Kesimpulannya wanita tidak benar.

Bila kita korelasikan dengan tawazun, aku akan hubungkan dengan kejadian seorang teman.

Jadi kawanku ini, sejak dia ikhtiar menjeput jodoh, mulai memantaskan diri dengan bercadar, padahal sebelumnya pakaiannya sudah bagus. Permasalahan muncul saat sudah menikah dan akan melangsungkan walitul ursy kedua, atau biasa disebut ngunduh mantu. Saat itu mertuanya meminta agar selama acara ia membuka cadarnya.

"Keputusan ada di kau," kataku saat dia minta pendapat.

"Secara kaidah fiqih, dahulukan yang wajib baru sunnah. Menaati orang tua, selama dia tak menyuruhmu mendurhakai Allah, hukumnya wajib. Sedang cadar sunnah. Itupun, kalau kau menganggap sekarang mertuamu adalah orang tuamu juga," tambahku.

Jadi, solusi dari propaganda ini adalah tawazun. Beri asupan yang benar pada ketiga potensi fitriyah kita. Tidak semua yang kita terima itu kebenaran, atau sesuatu yang didoktrinkan sebagai kebenaran itu lantas serta-merta kita telan mentah-mentah.

Jadilah cantik. Sebagaimana Aisyah pipinya menjadi kemerah-merahan ketika dipuji. Tapi jangan nafikan kecerdasan Aisyah. Cerdas itu tolok ukurnya di akhlak kita, hablum minannas, bukan di selembar kertas atau banyaknya jumlah piala dan penghargaan.

Allah menciptakan keteraturan lengkap dengan anomalinya. Anomali inilah yang harus kita sikapi secara bijak, karena anomali ini yang dimanfaatkan syaitan untuk menggiring kita menemaninya ke neraka.

"Ya Rasulullah, ada seorang wanita yang rajin beribadah dan beraedekah, tapi tetangganya selalu tidak aman oleh lidahnya," adu seorang sahabat.

"Tempatnya di neraka," jawab Rasul.

Penulis adalah pendosa, yang ketika kalian dapati kebaikan dalam dirinya, itu karena Allah menutupi aibnya.

Dakwahnya Said Nursi pada pembesar Turki Utsmani yang mulai meninggalkan syriat Islam adalah nasihat. Ulama sepakat, amal yang paling berat timbangannya adalah menasihati pada pemimpin gabg zhalim. Lebih dari itu, si pendosa ini hanya berusaha menasihati ukhtifillah, semoga dengan ini menjadi syafaat, hingga saat tak kalian temukan aku di surga, kalian mau membantuku agar bisa ikut berkumpul bersama menikmati rumah kita sesungguhnya, di surga.

Aku, kita, berukhuwah di dunia, watawa showbil haq watawa showbis shabr.

Dengan cita-cita sederhana, untuk bisa bertetangga di surga.

2 comments:

  1. Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Semoga pesanmu tersampaikan ke ke hati-hati yang tepat. Keep going👌

    ReplyDelete
  2. Karena berhijab dan bercadar saja belum cukup. Harus banyak-banyak belajar dan berakhlak. Jangan sampai, malah kitanya termasuk orang-orang yang menjelekkan agama kita sendiri.

    terimaksih nasihatnya kk ana nasir. barakallaahu fiik

    ReplyDelete