Wednesday, October 9, 2019

Jadi Guru Ngaji

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka ..."(QS. Al-Baqarah (2): 120)


Mengutip sebuah hadits yang sering dijadikan motivasi bagi para pengusaha, yg redaksinya kurang lebih: "Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan"

Hadits ini bisa jadi sudah tidak asing lagi, dan seringkali dijadikan hujjah maupun dalil dalam ikhtiar menjeput rezeki. Sampai-sampai sedikit sekali, bahkan tertutup mata hati untuk menerima bahwa hadits ini masuk dalam kelompok hadits dhoif. Walaupun, sebagian ulama berpendapat tetap boleh berpedoman dengan hadits dhaif.

Hal paling sensitif yang tak jarang sangat provokatif berkaitan dengan masalah politik. Sebagian orang antipati terhadap politik karena termindset Politik itu Kotor. Sebagiannya lagi kemudian berdalil, "Islam itu agama yang kaffah, berpolitik masuk dalam penyempurnaan keislaman. Maka menempatkan orang-orang shalih dalam berpolitikan adalah ikhtiqr agar politik tak lagi kotor".

Faktanya, orang shalih yang terlibat dalam politik malah terkontaminasi bukannya mendominasi. Orang shalih yang dulu banyak disenangi malah dihujat setelah terjun ke dunia politik.

Tapi itu hanya intermezzo, pembahasan kita fokus pada ayat di atas. Tafsiran ayat ini jika ditadabburi, akan membuat hari-hari kita seperti hari-hari di bulan september sampai desember setiap tahunnya, dimana langit selalu memperingatkan sediakan ember yang besar untuk menampung air matanya yang setiap hari akan mengucur membahasahi bumi. Mendungnya sendu, penuh air mata.

Dari beberapa referensi tafsiran yang kubaca, dapat ditarik benang merah. Tafsiran ayat ini bukan mengarah pada berpindahnya keyakinan kita dari dinul islam rahmatan lil alamin menjadi yahudi atau nasrani, tapi pada sebuah fakta susahnya kita memisahkan hidrogen dan oksigen dalam ikatan kimia Air. Bisa, tapi satu hal yang tidak mudah, dan oramg-orang lebih memilih untuk tidak ambil pusing memisahkannya.

Salah satu sunnah menjeput rezeki adalah dengan berdagang. Jika ulama sepakat hadits tadi dhoif, sirah Nabi saw. sudah cukup menjadi referensi kita tentang profesi nabi saw. sebelum diangkat menjadi Rasul.

Rasulullah berdagang, dan sebagian besar sahabat adalah pedagang. Meskipun secara sosiologi, faktanya berdagang itu adalah sebuah budaya di Jazirah Arab.

Namun memang tak bisa dinafikan, berdagang adalah sesuatu yang harus dimampui oleh setiap insan. Karena fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau setidaknya bermuamalah.

Sekarang, kita masuk ke skala besar, dan kenapa tadi ada intermezzo tentang politik. Menjadi pedagang, atau apapun ikhtiar kita menjeput rezeki, tidak lepas dari kebijakan pemerintah. Baik itu tingkat kepling, kelurahan sampai internasional. Peran pemerintah ini apalagi kalau bukan di perizinan dan administrasi.

Jika ia pedagang yang membuka CV., PT., dan sejenisnya maka ia harus punya SK notaris izin berusaha, misalnya. Jika ia punya produk dari PT yang
ia kelola, maka produk itu harus
punya jaminan dari BPOM, jaminan halal dari MUI, atau jaminan kualitas pabrik dari SNI, yang kesemuanya ini bisa menjaminnya di mata hukum jika sewaktu-waktu ada rival yang menuntutnya berhadapan dengan "Yang Mulia".

Dan di sinilah kengeriannya ...

Satu waktu akan kau temui, orang-orang shalih yang berdagang masih berurusan atau hampir tak bisa lepas dari lembaga ribawi. Pengusaha shalih terjerumus dalam bantuan calo pemerintah yang menjamin aman dengan jalan licin. Atau bahkan, pengusaha shalih ikut menjerumuskan  pemerintah shalih berlaku nepotisme dengan mengabaikan kode etik dan tahapan-tahapan administratif sebelumnya.

Abu Bakar as. pernah memasukkan jarinya sampai ketenggorokan agar makanan yang ia makan dapat dimuntahkan dan tidak menjadi darah dagingnya, tersebab khawatir termakan syubhat.

Sedang kita lupa...
Tidak tahu...
Atau tidak mau tahu sampai merasa aman-aman saja dengan makanan yang mengalir disetiap darah kita. Di sinilah tafsiran QS. 2: 120 berlaku.

Dua oknum itu bermain dalam hal-hal syubhat. Susah dan penuh cobaan hidup di zaman fitnah. Sebab Musuh di dalam selimut
Duri dalam daging
Menggunting dalam lipatan.

Dalam QS. Annur 24:  11, dikatakan:

Provokator itu ada dalam lingkaran kita juga. Mereka orang-orang yang kita kenal baik akhlak, agamanya atau strata pendidikannya juga.


Lalu profesi apa yang paling aman?


Menjadi guru ngaji?

Bukankah sudah sampai kabar, bahwa kelak yang pertama kali dihisab bukanlah para pelaku dosa besar, tapi para mujahid fi sabilillah, orang kaya yang suka bersedekah, dan para ulama (termasuk di dalamnya guru ngaji)?

Allahuakbar.

Jika rasa pesimis sekarang mulai menghantui, itu tersebab Din ini saat didakwahkan pertama kali setelah ilallah adalah kabar tentang adanya hari kiamat dan kehidupan sesudahnya.

Tapi pesimis bukanlah akhlak manusia beriman, sebab orang yang benar tauhidnya akan percaya pada janji "Mustaqbal li hadzad diin" ~ Masa depan ada di tangan Islam.

Sebuah keyakinan bahwa setelah zaman fitnah Islam akan Allah menangkan lewat lahirnya Imam Mahdi dan diutusnya kembali nabi Isa as. Dan orang yang haqqul yaqin tauhidnya, akan memilih menjadi burung pipit yang berikhtiar memadamkan api yang membakar Ibrahim as., meski usahanya terkesan sia-sia, dan Allah telah berfirman pada api untuk menjadi dingin dan tak membakar tubuh Ibrahim as.

Maka teruslah berdoa agar Allah senantiasa menjaga. Bukankah, seseorang baru bisa dinilai baik selepas ia menghembuskan nafas terakhirnya?

Noted:
Penulis adalah Sarjana Segala Ilmu.
Jika salah di sana-sini, silahkan dikoreksi. Jika baik, jangan lupa berdoa agar kita bisa bertetangga di surga.

1 comment:

  1. Alhamdulillah. Kakak balik lagi. Menjadi seorang guru ngaji adalah sebuah kebaikan.

    ReplyDelete