koleksi google image
Entah ini kebetulan, tapi ini novel ketiga yang secara berurutan lagi-lagi membahas Aceh. Setidaknya
setelah ‘Codex’, bisa baca riview-nya di Sini
. Kemudian ‘Secangkir Kopi Untuk Relawan’, bisa liat hasil curhatanku di Sini juga.
Bang Arafat Nur memang punya gayanya sendiri dalam bercerita. Walaupun dibanding ‘Tempat Paling Sunyi’, novel ini sebenarnya sangat vulgar. Pilihan diksi yang demikian bisa jadi mengganggu sebagian pembaca, tapi aku justru melihat, gaya itu sengaja dipilih untuk menginformasikan secara vulgar pula apa yang terjadi di Aceh pra Reformasi.
Konon, Lampuki adalah
novelnya bang Arafat yang menjadi pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel
Dewan Kesenian Jakarta. Aku jadi teringat tentang novel Princess, riviewnya
udah aku tulis juga di Sini .
Kebanyakan orang memang menyukai sesuatu yang bersifat eksklusif. Maka Lampuki
adalah penjabaran secara eksklusif tentang apa yang dialami masyarakat Aceh
yang masih dihiasi letusan senjata pasca kemerdekaan RI. Lampuki secara tidak
langsng menjelaskan alasan utama para pelaku pemberontakan berikut akibat yang
dirasakan masyarakat akibat pemberontakan.
Pengkhianatan politik,
korban pemberontak dan kepesongan masyarakat memang diceritakan dengan vulgar.
Setidaknya novel ini mencoba menjawab pertanyaan orang-orang yang
bertanya-tanya tentang apa sebenarnya terjadi di Aceh kala itu. Pilihan orang
pertama sebagai orang ketiga menjadikan novel ini lebih dekat kepada pembaca.
Aku selalu suka dengan gaya penulisan seperti itu, dan tidak banyak orang yang
bisa melakukannya.
Untungnya Bang Arafat
penduduk lokal, selama ini informasi tentang budaya Aceh hanya kudapat dari
pengalaman berkunjung beberapa hari ke Provinsi paling utara pulau Sumatera
ini, atau dari teman yang juga pernah menetap di sana. Juga pengalaman berteman
dengan suku Aceh di bangku kuliah. Apa yang dituangkan dalam ide cerita cukup
membuat pembaca bertanya, Apa iya??
Novel ini juga
termasuk yang kubaca dengan modal curi baca. Kebetulan teman serumah punya...
heheh. Sialnya pas aku dah selesai baca si kawan bilang dia belum selesai. (Ini
nih, alasan aku suka malas beli buku, karena kebanyakan bukuku lama namatinnya
sih. Kalau pinjam kan dikejar deadline, jadi mau enggak mau diselesaiin^^).
Minjam enggak salah kan yaa.. Cuma sedikit mengurangi jumlah pembeli buku aja.
(Entar kalau novelku dah terbit jangan digituin juga yaa weeee....^^, aku rajin
beli buku juga kok)
Bisa jadi karena
sebelumnya aku lagi bersinggungan dengan tema yang hampir sama, jadi secara
keseluruhan sih aku merasa terpuaskan pas baca buku ini. Kabarnya sih, banyak
tanggapan miring tentang novel ini. Aku pikir sih udah pasti. Apalagi ide
tulisan kan bisa dibilang sensitif. Untuk kebanyakan pembaca, bisa jadi tidak
tertarik dengan gaya kepenulisan Bang Arafat. Tapi kalau aku justru melihat
pilihan diksi bang Arafat itu kaya. Lengkap dengan titik humorisnya yang
sebagian orang mungkin menganggap itu garing.
Sebagai penutup,
membaca Lampuki malah membuat aku pada kesimpulan yang berbeda. Setelah
sebelumnya keganjilan Tsunami Aceh, kehidupan masyarakat Aceh dari sudut
pandang Relawan, aku malah dipertemukan dengan benang biru yang mengarah pada
persepsiku sebelumnya. Ibarat katanya, mempersatukan dua insan berbeda dalam
satu ikatan pernikahan itu susah. Tidak gampang karena mereka berjenis kelamin
berbeda, apalagi harus mempersatukan dua keluarga. Semakin tidak gampang lagi
jika budayanya berbeda. Eloooh... ??!!
Semua yang bersifat lokalitas merupakan salah satu
kekayaan Indonesia, dan keegoan seringkali membuat bangsa ini kesulitan
mencapai cita-cita luhur bersama. Belum lagi ada oknum-oknum politik yang
berperan dalam konspirasi yang justru tidak memihak pada rakyat.
Mari berdoa, untuk
kejayaan Indonesia.
Semoga ramalan Rasulullah itu benar, bahwa kitalah
bangsa dari Timur yang memiliki peran penting dalam perdamaian dunia. Jika ada
yang masih menjadi penghalangnya, itu adalah karena kita belum siap untuk
membenahi rumah tangga bangsa kita sendiri.
No comments:
Post a Comment