Inna a’malu bin niah
Hari itu, saat rencana hijrah ke Madinah, seorang sahabat menemi Rasulullah
SAW. Tak dinyana si sahabat pun mengadu kepada Rasulullah SAW., “Yaa
Rasulullah, sesungguhnya si Fulan ikut berhijrah karena ia menaruh hati pada si
Fulanah.”
Mendengar itu
Rasulullah SAW. tersenyum lalu ia bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan itu
tergantung niatnya. Barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Maka ia akan
mendapatkan Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah karena wanita yang
dicintainya, maka ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Sepenggal kisah di
atas pun kemudian menjadi hadits pertama dalam kumpulan Hadits Arbain. “Inna
a’malu bin niah”. Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada niatnya. Artinya,
petunjuk dari Rasulullah SAW ini harusnya menjadi pilar pertama dalam setiap
aktifitas kehidupan kita. Hadits yang asbabun nuzulnya pada persiapan hijrah.
Hijrah. Meninggalkan.
Hijrah kemudian mendapat makna luas meninggalkan kehidupan jahiliyah menuju
kehidupan dengan cahaya Islam. Kita lihat hari ini, keberhasilan dakwah sudah
semakin membaik. Dulu, banyak sekali kita dapati penduduk Indonesia yang
berstatus Islam KTP. Akhirnya, dengan semakin maraknya media sosial kita dapati
semakin banyak orang-orang yang memutuskan untuk berhijrah. Hijrah menuju Islam
yang kaffah. Ini adalah satu hal yang patut kita syukuri.
Kita lihat, sebelum
tahun 90-an mengenakan jilbab menjadi satu hal yang tabu. Tapi sekarang, para
muslimah sudah banyak yang malu untuk tidak mengenakan jilbab sebagai
identitasnya. Bahkan, dakwah untuk berjilbab yang syar’i juga sudah
meng-Indonesia mengalahkan dakwah kaum sekuler yang menyebut jilbab sebagai
budaya orang Arab yang tidak perlu diterapkan di Indonesia yang kaya budaya.
Dulu, pengajian
identik diisi oleh santri-santri dan alumni pesantren, namun sekarang
kampus-kampus negeri di Indonesia sudah berubah negeri para santri, dimana
mesjid-mesjidnya senantiasa ramai oleh mahasiswa yang ikut shalat berjamaah.
Kita senang melihat pemuda-pemuda yang tidak pernah mencicipi kehidupan di
pesantren, namun bibirnya senantiasa dibasahi oleh lantunan ayat-ayat suci
Al-Qur’an.
Sungguh, proses hijrah
menuju kehidupan yang lebih baik selalu menjadi kisah yang membuat haru. Namun,
ada satu pilar yang seringkali justru dilupakan.
Apa itu?
Niat.
Yah, jika kita dulunya
sepakat bahwa niat itu diletakkan di awal. Maka sebenarnya tidak. Niat itu
adalah sesuatu yang harus kita perbaharui. Tak ubahnya seperti syahadat yang
setidaknya 9 kali kita ucapkan dalam sehari semalam. Karena apa? Sebab kita
harus selalu khawatir, dualisme gelombang kehidupan kita membuat niat kita
berubah sewaktu-waktu.
Seperti sahabat yang
diadukan dalam hadits di atas. Beliaulah Thalhah. Seorang pemuda kaya dari Bani
Quraisy yang ketika itu masih dalam keadaan kafir. Saat kaum Muslimin
berhijrah, maka ia pun ingin berhijrah sebab rasa cintanya kepada seorang
Muslimah yang ketika itu telah ditinggal mati oleh suaminya. Bagaimana
akhirnya, sebab senantiasa memperbarui niatnya, Thalhah justru bukan hanya
mendapatkan kekasih hatinya, Allah memberinya kesempatan sebagai syuhada.
Begitu pun kita. Dulu
sekali, seorang Muslimah memutuskan berjilbab itu adalah keputusan yang besar.
Ada khawatir di dalam hatinya, kelak akhlaknya tak bisa menjaga kesucian jilbab
yang dikenakannya. Bahkan saya mengalaminya. Sebagian justru mendapat
pertentangan dari orang-orang terdekatnyanya. Sekarang, seorang Muslimah bisa
saja memutuskan berjilbab kemudian berdalih:
“Wanita berjilbab itu
belum tentu baik. Tetapi wanita yang baik sudah pasti berjilbab.”
Muslimah berjilbab
dulu sangat menjaga akhlaknya. Sekarang kita dapati di tempat-tempat umum
muslimah berjilbab tertawa terbahak-bahak, berjalan dengan laki-laki yang bukan
mahramnya. Bahkan, pernah beredar pula pengusaha adversing membuatkan jaket
khusus untuk muslimah agar aman saat menumpang ojek on-line. It’s real.
Niat ini luar biasa.
Malaikat telah mencatat satu pahala kebaikan saat kita berniat melaksanakannya.
Kemudian malaikat mencatat satu kebaikan lagi saat kita benar-benar
melaksanakannya. Sedang niat jahat baru dicatat sebagai kejahatan saat kita
benar-benar telah melaksanakannya. Sebab itulah niat ini menjadi pilar yang
senantiasa haruss diperbaiki.
Bayangkan, jika
seorang muslimah berniat hijrah karena seorang pemuda yang dicintainya. Niatnya
hanya itu, berbuat untuk dilihat dan mendapatkan perhatian pemuda yang
dicintainya itu. Lalu apa yang ia lakukan setelah pemuda itu benar-benar telah
menjadi miliknya? Untuk siapa lagi muslimah itu berbuat kebaikan, toh ia sudah
mendapatkan yang ia inginkan?
Di sinilah peran
perbaharuan niat. Sebab kehidupan dunia bukan tujuan akhir kita. Sebagaimana
Thalhah, beliau bukan hanya mendapatkan bidadari kekasih hatinya di dunia, tapi
Allah menambahkan bidadari-bidadari surga untuknya sebagai hadiah niatnya yang
senantiasa diperbaharui. Indah bukan, ketika muslimah berhijrah karena pemuda
yang menjadi dambaan hatinya, kemudian dengan niatnya yang senantiasa
diperbaharui karena Allah, pemuda tersebut bukan hanya menjadi imamnya di masa
hidup, tapi Allah memasukkan keduanya ke surga sebagai dua orang yang saling
mencintai karena Allah.
No comments:
Post a Comment