Wednesday, August 2, 2017

Bisakah orang tua durhaka pada anaknya?

 Legenda Malinkundang mungkin sudah tidak setenar anak yang lahir tahun 90-an ke bawah. Dulu legenda tentang anak durhaka ini selalu menjadi semacam doktrin untuk berbakti kepada orang tua. Namun belakangan, kisah-kisah serupa mulai redup bagai di telan zaman.
  
              Sebagian orang mungkin mencibir dan melaknat kejadian baru-baru ini, dimana anak menjebloskan ibu kandungnya ke dalam penjara. Aku ingat, kejadian ini justru ditulis sebagai skenario untuk program “Kisah Nyata” di salah satu stasiun TV swasta. Itu hanya sebagian kecil, di pinggiran jalan kita justru akan sering melihat, sepasang kakek nenek harus tinggal bersama cucu-cucunya, karena kegagalan rumah tangga anak-anaknya.
Pertanyaannya, benarkah tindakan durhaka itu hanya berlaku untuk anak kepada orang tuanya?
 Ada seorang kakek yang usianya hampir 70 tahun. Namun di usianya itu, ia harus berjalan kaki berjualan asongan demi mencukupi kebutuhan diri dan ketiga orang cucunya yang masih kecil. Seringkali orang-orang membeli dagangannya bukan karena butuh, tapi karena iba pada si kakek. Suatu hari seorang pembeli bertanya, “Kek, kenapa kakek masih jualan?”
Jawab si kakek, “Karena saya dan ketiga cucu saya butuh makan,”
Lalu tanya si pembeli lagi, “memangnya anak kakek dimana?”
Jawab si kakek, “Saya tidak tahu,”
Si pembeli semakin iba, “Tega sekali anak kakek membiarkan kakek mencari nafkah untuk anak-anaknya,”
Lalu jawab si Kakek, “Saya ikhlas, Nak. Mungkin Tuhan sedang memberi saya cara untuk menghapuskan dosa-dosa saya,”
Si pembeli penasaran, “Maksud kakek?”
“Dulu saya anak yang durhaka, saya tidak mendengarkan orang tua saya. Saya meninggalkan orang tua saya. Orang tua saya sampai sakit memikirkan saya, tapi saya tidak peduli. Sampai akhirnya mereka meninggal dunia. Saya menyesal belum sempat meminta maaf. Tapi apa gunanya, itu sudah terlambat. Saya selalu berdoa agar orang tua saya memaafkan saya setelah itu. Dan, ketika saya dapati akhirnya saya memiliki anak yang tidak bisa saya atur. Saya yakin, Tuhan sedang memberi saya jalan untuk mendapat maaf dari orang tua saya.”
Masyaallah, betapa karma itu masih berlaku.
Kejadian seperti ini sebenarnya seringkali terjadi. Ketika pasangan suami istri resah dengan kondisi anak-anaknya yang tidak mau mendengarkan nasihatnya. Sehingga tidak sabar, dan berlaku otoriter kepada anak-anaknya. Lalu apa yang terjadi, anak bukannya menjadi penurut, justru semakin membangkang. Apa yang salah?
Bisa jadi segala tips untuk mendidik anak telah diterapkan, namun anak belum juga berbuat sebagaimana yang diinginkan. Maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki hubungan dengan orang tua. Yah, bisa jadi ada sesuatu yang pernah dilakukan yang menyinggung hati orang tua hingga begitu sulit untuk dimaafkan.
Kembali ke pertanyaan semula, bisakah orang tua durhaka kepada anak?
Maka saya ingin menjawabnya dengan iya. Ini sebab hukum karma tadi. Jika kita ingat kembali tentang Malinkundang, maka sebenarnya kita bisa membuat legenda ini dengan versi baru. Dimana ada gadis cantik dari dunia masa depan yang tersesat ke masa lalu. Masa dimana Malin Kundang hidup. Si gadis yang berasal dari dunia masa depan ini pun ingin mengubah legenda, bagaimana akhirnya agar rasa sakit hati si ibu tidak berujung pada kutukan.
Akhirnya, nasihat cerita bukan hanya tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Tapi mengajarkan bahwa kasih sayang orang tua itu benar-benar tidak terbalaskan. Bahkan, seorang ibu yang telah disakiti masih mendoakan kebaikan untuk anak yang telah mendurhakainya.
Kalau saja, ibu Malinkundang dengan sangat ikhlas memberangkatkan Malinkundang untuk merantau. Bisa jadi, Malinkundang yang terlahir malang akan senantiasa mengingat dan tidak malu dengan keadaan ibunya di kampung. Kalau saja ibu Malinkundang tidak bersikeras dan sedikit bersabar untuk  mengobati rindunya, pastilah Malinkundang tidak akan mempermalukan ibunya di tengah-tengah khalayak ramai yang berujung pada kutukan mengerikan.
Yah, begitulah. Sebab tak semua kedurhakaan anak berujung pada malapetaka. Kita bercermin pada Mush’ab bin Umair, bagaimana keimanan justru memaksanya untuk mendurhakai ibunya. Meninggalkan semua kemewahan dunia yang selama ini menghiasi kehidupannya. Seperti itu pulalah terkadang orang tua berlaku durhaka terhadap anak.
Anak, ibarat seseorang yang harus taat dan mengikut kemauan dari orang tuanya. Seringkali caranya tidak seekstrim kisah ibunya Mush’ab, yang sampai mengurung anaknya, mengancam untuk tidak makan sampai Mush’ab menuruti kemauan ibunya. Karena langkah yang diambil orang tua sekarang justru pada restu dan ridha.
Anak tentu akan memiliki dunia yang berbeda dengan orang tuanya. Namun seringkali, orang tua yang belajar dari kesalahan orang tuanya pula menginginkan agar anaknya tidak merasakan kesalahan yang menjadi pengalamannya selama menjadi anak. Di satu sisi ini adalah etikat baik orang tua untuk anaknya, tapi orang tua lupa bahwa dunia yang dialami olehnya dan anaknya sekarang pasti sedikit banyak mengalami perubahan.
“Kelak, ketika kau menjadi orang tua kau akan tau rasanya.” Seperti itulah jawaban seorang ibu ketika anaknya menentang.
Dan tanpa disadari, orang tua sedang membukakan satu pintu neraka untuk anak yang harusnya bisa menuntunnya ke surga. Benar, bahwa tidak semua keinginan anak harus dipenuhi. Tetapi menjadi tidak benar, ketika orang tua seterusnya tidak memberi restu. Memenjara kebebasan anaknya dalam penjara yang diakui sebagai kasih sayang. Benarkah hanya orang tua yang bisa sakit hati?
Tidak.
Bahkan, anak yang emosionalnya masih belum stabil justru akan semakin tidak karuan ketika ia sakit hati. Apa jadinya, jika akhirnya si anak senantiasa merasa tidak merdeka, hatinya senantiasa dongkol, lalu kelak di akhirat justru si anak menyeret orang tuanya ke neraka. Naudzubillah.
Yah, kedurhakaan orang tua memang bukan berbatas pada pengakuan. Bukan berbatas pada pembatasan nafkah. Namun, bentuknya sangat abstrak. Dan keabstrakan itu justru memenjara si anak dalam banyak kreativitas yang harusnya menjadi bekalnya sebagai khalifah.
Percayalah Ayah Bunda atau pun calon Ayah Bunda, setiap bayi yang terlahir dalam kondisi fitrah. Orang tuanya yang menyebabkan ia Yahudi, Majusi atau Islam. Setelah ia bisa membedakan yang baik dan salah, maka tugas orang tua hanya memberi restu dan mendukung. Bagaimanapun, anak yang telah dididik dengan benar di masa kecilnya tidak akan pernah berfikir untuk tidak membahagiakan orang tuanya. Hanya saja ia milik Penciptanya. Sang Pencipta itulah yang memiliki hak penuh atas dirinya.
Restu yang tidak didapat anak dari orang tuanya kelak akan menjadikan anak ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi ia ingin hidup dengan dunia dan mimpi-mimpinya, tapi disisi lain ia ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya. Jika akhirnya ia memilih keinginan orang tuanya, itu bukanlah cara yang dipilihnya untuk membahagiakan orang tua. Tetapi cara orang tua membunuh anaknya secara perlahan.
Tragis memang.
Tapi pernahkah Allah memaksakan kehendaknya kepada setiap manusia?
Tidak pernah, Allah selalu memberi pilihan dan konsekuensi. Selayaknya orang tua rabbani pun begitu, memberi pilihan dan konsekuensinya. Percaya saja, anak yang telah bisa membedakan kebaikan dan keburukan akan memilih kebaikan. Orang tua tidak perlu takut kelak anaknya akan menelantarkannya di masa tua, sebab hal itu tidak akan terjadi jika sebelumnya ia pun berlaku baik terhadap orang tuanya.

Sekali lagi, seorang anak akan dewasa, kelak jika ia meminta pendapatmu, sebenarnya ia sedang mengutarakan rencana masa depannya, dan ia membutuhkan restu dan dukungan. Maka restui dan dukung. Sebaik-baik dukungan adalah doa kebaikan untuk sang anak. Ingat, Ridha Allah ada di Ridha orang tua, jangan sampai Allah menjadikan anak-anak kita kelak tersesat dan sengsara, hanya karena kita tak meridhainya. Jangan sampai anakmu selalu merasa sendiri di tengah keramaian, hanya karena kita tak mendukung pilihannya.

No comments:

Post a Comment