Legenda Malinkundang mungkin sudah tidak setenar anak yang lahir tahun 90-an
ke bawah. Dulu legenda tentang anak durhaka ini selalu menjadi semacam doktrin
untuk berbakti kepada orang tua. Namun belakangan, kisah-kisah serupa mulai
redup bagai di telan zaman.
Pertanyaannya, benarkah tindakan durhaka itu hanya
berlaku untuk anak kepada orang tuanya?
Ada seorang
kakek yang usianya hampir 70 tahun. Namun di usianya itu, ia harus berjalan
kaki berjualan asongan demi mencukupi kebutuhan diri dan ketiga orang cucunya
yang masih kecil. Seringkali orang-orang membeli dagangannya bukan karena
butuh, tapi karena iba pada si kakek. Suatu hari seorang pembeli bertanya,
“Kek, kenapa kakek masih jualan?”
Jawab si kakek, “Karena saya dan ketiga cucu saya
butuh makan,”
Lalu tanya si pembeli lagi, “memangnya anak kakek
dimana?”
Jawab si kakek, “Saya tidak tahu,”
Si pembeli semakin iba, “Tega sekali anak kakek
membiarkan kakek mencari nafkah untuk anak-anaknya,”
Lalu jawab si Kakek, “Saya ikhlas, Nak. Mungkin
Tuhan sedang memberi saya cara untuk menghapuskan dosa-dosa saya,”
Si pembeli penasaran, “Maksud kakek?”
“Dulu saya anak yang durhaka, saya tidak
mendengarkan orang tua saya. Saya meninggalkan orang tua saya. Orang tua saya
sampai sakit memikirkan saya, tapi saya tidak peduli. Sampai akhirnya mereka
meninggal dunia. Saya menyesal belum sempat meminta maaf. Tapi apa gunanya, itu
sudah terlambat. Saya selalu berdoa agar orang tua saya memaafkan saya setelah
itu. Dan, ketika saya dapati akhirnya saya memiliki anak yang tidak bisa saya
atur. Saya yakin, Tuhan sedang memberi saya jalan untuk mendapat maaf dari
orang tua saya.”
Masyaallah, betapa karma itu masih berlaku.
Kejadian seperti ini sebenarnya seringkali
terjadi. Ketika pasangan suami istri resah dengan kondisi anak-anaknya yang
tidak mau mendengarkan nasihatnya. Sehingga tidak sabar, dan berlaku otoriter
kepada anak-anaknya. Lalu apa yang terjadi, anak bukannya menjadi penurut,
justru semakin membangkang. Apa yang salah?
Bisa jadi segala tips untuk mendidik anak telah
diterapkan, namun anak belum juga berbuat sebagaimana yang diinginkan. Maka
yang perlu dilakukan adalah memperbaiki hubungan dengan orang tua. Yah, bisa
jadi ada sesuatu yang pernah dilakukan yang menyinggung hati orang tua hingga
begitu sulit untuk dimaafkan.
Kembali ke pertanyaan semula, bisakah orang tua
durhaka kepada anak?
Maka saya ingin menjawabnya dengan iya. Ini sebab
hukum karma tadi. Jika kita ingat kembali tentang Malinkundang, maka sebenarnya
kita bisa membuat legenda ini dengan versi baru. Dimana ada gadis cantik dari
dunia masa depan yang tersesat ke masa lalu. Masa dimana Malin Kundang hidup.
Si gadis yang berasal dari dunia masa depan ini pun ingin mengubah legenda,
bagaimana akhirnya agar rasa sakit hati si ibu tidak berujung pada kutukan.
Akhirnya, nasihat cerita bukan hanya tentang
pentingnya berbakti kepada orang tua. Tapi mengajarkan bahwa kasih sayang orang
tua itu benar-benar tidak terbalaskan. Bahkan, seorang ibu yang telah disakiti
masih mendoakan kebaikan untuk anak yang telah mendurhakainya.
Kalau saja, ibu Malinkundang dengan sangat ikhlas
memberangkatkan Malinkundang untuk merantau. Bisa jadi, Malinkundang yang
terlahir malang akan senantiasa mengingat dan tidak malu dengan keadaan ibunya
di kampung. Kalau saja ibu Malinkundang tidak bersikeras dan sedikit bersabar
untuk mengobati rindunya, pastilah
Malinkundang tidak akan mempermalukan ibunya di tengah-tengah khalayak ramai
yang berujung pada kutukan mengerikan.
Yah, begitulah. Sebab tak semua kedurhakaan anak
berujung pada malapetaka. Kita bercermin pada Mush’ab bin Umair, bagaimana
keimanan justru memaksanya untuk mendurhakai ibunya. Meninggalkan semua
kemewahan dunia yang selama ini menghiasi kehidupannya. Seperti itu pulalah
terkadang orang tua berlaku durhaka terhadap anak.
Anak, ibarat seseorang yang harus taat dan
mengikut kemauan dari orang tuanya. Seringkali caranya tidak seekstrim kisah
ibunya Mush’ab, yang sampai mengurung anaknya, mengancam untuk tidak makan
sampai Mush’ab menuruti kemauan ibunya. Karena langkah yang diambil orang tua
sekarang justru pada restu dan ridha.
Anak tentu akan memiliki dunia yang berbeda dengan
orang tuanya. Namun seringkali, orang tua yang belajar dari kesalahan orang
tuanya pula menginginkan agar anaknya tidak merasakan kesalahan yang menjadi
pengalamannya selama menjadi anak. Di satu sisi ini adalah etikat baik orang
tua untuk anaknya, tapi orang tua lupa bahwa dunia yang dialami olehnya dan
anaknya sekarang pasti sedikit banyak mengalami perubahan.
“Kelak, ketika kau menjadi orang tua kau akan tau
rasanya.” Seperti itulah jawaban seorang ibu ketika anaknya menentang.
Dan tanpa disadari, orang tua sedang membukakan
satu pintu neraka untuk anak yang harusnya bisa menuntunnya ke surga. Benar,
bahwa tidak semua keinginan anak harus dipenuhi. Tetapi menjadi tidak benar,
ketika orang tua seterusnya tidak memberi restu. Memenjara kebebasan anaknya
dalam penjara yang diakui sebagai kasih sayang. Benarkah hanya orang tua yang
bisa sakit hati?
Tidak.
Bahkan, anak yang emosionalnya masih belum stabil
justru akan semakin tidak karuan ketika ia sakit hati. Apa jadinya, jika
akhirnya si anak senantiasa merasa tidak merdeka, hatinya senantiasa dongkol,
lalu kelak di akhirat justru si anak menyeret orang tuanya ke neraka.
Naudzubillah.
Yah, kedurhakaan orang tua memang bukan berbatas
pada pengakuan. Bukan berbatas pada pembatasan nafkah. Namun, bentuknya sangat
abstrak. Dan keabstrakan itu justru memenjara si anak dalam banyak kreativitas
yang harusnya menjadi bekalnya sebagai khalifah.
Percayalah Ayah Bunda atau pun calon Ayah Bunda,
setiap bayi yang terlahir dalam kondisi fitrah. Orang tuanya yang menyebabkan
ia Yahudi, Majusi atau Islam. Setelah ia bisa membedakan yang baik dan salah,
maka tugas orang tua hanya memberi restu dan mendukung. Bagaimanapun, anak yang
telah dididik dengan benar di masa kecilnya tidak akan pernah berfikir untuk
tidak membahagiakan orang tuanya. Hanya saja ia milik Penciptanya. Sang
Pencipta itulah yang memiliki hak penuh atas dirinya.
Restu yang tidak didapat anak dari orang tuanya
kelak akan menjadikan anak ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi ia
ingin hidup dengan dunia dan mimpi-mimpinya, tapi disisi lain ia ingin menjadi
anak yang berbakti kepada orang tuanya. Jika akhirnya ia memilih keinginan
orang tuanya, itu bukanlah cara yang dipilihnya untuk membahagiakan orang tua.
Tetapi cara orang tua membunuh anaknya secara perlahan.
Tragis memang.
Tapi pernahkah Allah memaksakan kehendaknya kepada
setiap manusia?
Tidak pernah, Allah selalu memberi pilihan dan
konsekuensi. Selayaknya orang tua rabbani pun begitu, memberi pilihan dan
konsekuensinya. Percaya saja, anak yang telah bisa membedakan kebaikan dan
keburukan akan memilih kebaikan. Orang tua tidak perlu takut kelak anaknya akan
menelantarkannya di masa tua, sebab hal itu tidak akan terjadi jika sebelumnya
ia pun berlaku baik terhadap orang tuanya.
Sekali lagi, seorang anak akan dewasa, kelak jika
ia meminta pendapatmu, sebenarnya ia sedang mengutarakan rencana masa depannya,
dan ia membutuhkan restu dan dukungan. Maka restui dan dukung. Sebaik-baik
dukungan adalah doa kebaikan untuk sang anak. Ingat, Ridha Allah ada di Ridha
orang tua, jangan sampai Allah menjadikan anak-anak kita kelak tersesat dan
sengsara, hanya karena kita tak meridhainya. Jangan sampai anakmu selalu merasa
sendiri di tengah keramaian, hanya karena kita tak mendukung pilihannya.
No comments:
Post a Comment