Teman lebih utama dari keluarga?
Sebagian besar orang pasti akan menjawab ‘keluarga’ ketika di ajukan
pertanyaan di atas. Lalu benarkah keluarga menjadi prioritas utama?
Kapan sebenarnya
seorang anak mulai berteman? Yah, katakanlah saat usianya masih balita. Anak
dalam usia balita memiliki kecenderungan terhadap satu temannya. Setidaknya
begitulah hasil observasi yang kulakukan secara tidak sengaja. Kemungkinan anak
memang tidak akan mengingat kapan pertama kali ia berteman di luar keluarga
inti, namun ketika itu terjadi biasanya mereka sudah tahu apa artinya cemburu.
Makanya untuk guru TK atau PAUD pasti sudah tidak asing dengan pengaduan,
“Ummi, si ini enggak mau kawan....”
Memasukkan anak sedini
mungkin ke dunia sekolah bisa jadi etikat baik orang tua untuk membangun jiwa
sosialisasi anak. Tidak ada yang salah dengan ini. Sebab, sekolah juga
berfungsi untuk merangsang tumbuh kembang anak. Apakah saraf motorik, rasa
empati maupun kemampuan kognitifnya. Tapi kemudian menjadi masalah ketika
akhirnya orang tua meletakkan sepenuhnya anak pada sekolah. Bagaimanapun, teman
anak di sekolah tidak selamanya membawa pengaruh positif, dan guru tidak selamanya
bisa memberi perhatian penuh untuk setiap peserta didiknya.
Mari kita lihat ketika
ini terus-terusan dibiarkan. Anggaplah anak berteman dengan teman yang membawa
pengaruh positif. Percaya atau tidak, ketika campur tangan orang tua mulai
berkurang – terlebih yang tersisa tuntutan dan sikap otoritas orang tua
terhadap anak – anak seperti ini akan lebih mementingkan teman ketimbang orang
tua, bahkan keluarga dekatnya.
‘Saya memenuhi semua
kebutuhan anak,’ Oke...
Contoh positif anak
yang lebih memilih teman ketimbang orang tua yang memenuhi semua kebutuhannya
adalah Mush’ab bin Umair. Siapa tak kenal Mush’ab bin Umar di zaman Rasulullah.
Seluruh penduduk Mekah tau bahwa Mush’ab adalah seorang parlente, yang
kebanyakan orang akan iri dengan kasih sayang dan kemewahan yang ia peroleh
dari orang tuanya. Terlebih para gadis-gadis mendamba untuk menjadi belahan
jiwanya. Tapi ternyata, ada satu titik kosong jauh di lubuk hati Mush’ab yang
tidak ia peroleh dari kehidupannya yang nyaris sempurna. Dan kekosongan itu
akhirnya terisi oleh Islam yang dibawa justru oleh seseorang yang belum lama
dikenalnya.
Ini contoh positif. Syukur-syukur ketika anak yang
kita sangka bahagia bertemu dengan teman yang mengarahkan ke kebahagiaan
hakiki. Pada kenyataannya, anak justru kebanyakan mendapat pengaruh buruk dari
temannya. Terlebih anak di usia remaja yang cenderung mencari jati diri.
Salah-salah malah terarah ke gerbang-gerbang kenakalan remaja; Genk-genk’an, bully,
sampai narkoba dan kenakalan mengerikan lainnya. Naudzubillah.
Well, kita ambil contoh yang lebih konkrit untuk anak
yang lebih mendahulukan teman ketimbang keluarga, yaitu fenomena pacaran. Cinta
itu buta, Cinta itu harus diperjuangkan, setidaknya demikian slogan anak yang
sedang dilanda cinta buta. Pacaran ini bukan hanya melanda anak dengan usia
sudah layak nikah, tapi juga anak-anak. Mungkin usia TK – SD masih sekedar
ejek-ejek. Atau sekarang di zaman yang semakin canggih, jadi teman
chating-chating. Tapi di usia SMP, anak seperti ini sudah berani berbohong pada
orang tua karena takut ketahuan pacaran. Tapi yang lucu justru pada saat anak
masuk di bangku SMA – kuliah, orang tua justru mendukung anak untuk pacaran,
mulai sering menanyakan teman spesial si anak, bahkan resah ketika si anak
masih betah berstatus jomblo.
Pada saat inilah akan didapati keanehan-keanehan,
pelaku pacaran lebih suka menghabiskan waktu libur bersama pacar ketimbang
keluarga. Bahkan ketika di rumah lebih suka chating dan BBM-an dengan si doi
ketimbang bercengkrama dengan orang tua, kakak atau adiknya. Sebagian orang tua
sekarang bisa jadi menganggap hal seperti ini sah-sah saja. Tapi apa tidak
cemburu melihat anak lebih suka curhatan sama si Do’i??
Sebagai anak aku pun pernah mengalami hal ini. Dimana
teman itu jauh lebih memahami, curhat ke teman itu bisa lebih plong ketimbang
ke saudara kandung apalagi orang tua. Sampai-sampai acara reuni itu jauh lebih
sakral ketimbang arisan keluarga. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Bisa jadi seperti kasus Mush’ab tadi, orang tua
merasa sudah memberikan semuanya sebagai tanda kasih sayangnya. Padahal tetap
saja Mush’ab merasa hampa. Terlebih untuk kasus anak korban brokenhome. Mush’ab
ketemu teman yang menjerumuskannya ke surga, lah anak-anak seperti ini ketika
salah pergaulan, bukan hanya meresahkan banyak orang, tapi kelak juga akan
menjerumuskan diri dan orang tuanya ke neraka. Naudzubillah.
Ilustrasi dari google
Benar memang teman itu lebih memahami keadaan kita
ketimbang keluarga dekat. Hal ini bisa jadi, karena si teman tidak sepenuhnya
tahu sifat baik dan buruk kita. Sedang keluarga, untuk memahami anggota
keluarga yang lain harus mengalahkan
egonya untuk bisa menjadi pendengar. Inilah yang seringkali hilang, apakah itu
dari orang tua maupun saudara-saudara kandungnya. Padahal, ketika seseorang ingin difahami, sebenarnya ia tidak sedang ingin
dicarikan solusi untuk masalahnya, ia hanya sedang mencari dukungan untuk
meyakinkan dirinya sendiri atas keputusan yang ia buat.
Nah, dari penjabaran di atas, benarkah keluarga
lebih utama dari teman?
Jika memang demikian, meskipun tidak sedikit teman
yang membawa ke arah yang lebih baik, cemburulah! Tetaplah cemburu, karena kita
tidak ingin seperti Nabi Nuh yang terpisah dari istri dan anaknya di akhirat.
Cemburulah, karena sebenarnya kitalah yang lebih dulu mengenalnya. Kita bukan
penerus ibunya Mush’ab yang mencukupkan kasih sayang sebatas kehidupan dunia. Bukan
karena kita melarang anak kita berteman, tapi karena kita bercita-cita menjadi
keluarga sampai ke surga. Allahu a’lam.
No comments:
Post a Comment