Friday, September 1, 2017

Teman lebih utama dari keluarga?

Teman lebih utama dari keluarga?

Sebagian besar orang pasti akan menjawab ‘keluarga’ ketika di ajukan pertanyaan di atas. Lalu benarkah keluarga menjadi prioritas utama?
                Tulisanku kali ini mencoba mengulas peran serta keluarga dalam pertumbuhan emosional anak. Bukan karena usiaku yang bisa digolongkan tua, setidaknya karena aku pernah menjadi anak, dan tentunya aku makhluk sosial yang hidup saling ketergantungan dengan manusia lainnya. Oke next...
                Kapan sebenarnya seorang anak mulai berteman? Yah, katakanlah saat usianya masih balita. Anak dalam usia balita memiliki kecenderungan terhadap satu temannya. Setidaknya begitulah hasil observasi yang kulakukan secara tidak sengaja. Kemungkinan anak memang tidak akan mengingat kapan pertama kali ia berteman di luar keluarga inti, namun ketika itu terjadi biasanya mereka sudah tahu apa artinya cemburu. Makanya untuk guru TK atau PAUD pasti sudah tidak asing dengan pengaduan, “Ummi, si ini enggak mau kawan....”
                Memasukkan anak sedini mungkin ke dunia sekolah bisa jadi etikat baik orang tua untuk membangun jiwa sosialisasi anak. Tidak ada yang salah dengan ini. Sebab, sekolah juga berfungsi untuk merangsang tumbuh kembang anak. Apakah saraf motorik, rasa empati maupun kemampuan kognitifnya. Tapi kemudian menjadi masalah ketika akhirnya orang tua meletakkan sepenuhnya anak pada sekolah. Bagaimanapun, teman anak di sekolah tidak selamanya membawa pengaruh positif, dan guru tidak selamanya bisa memberi perhatian penuh untuk setiap peserta didiknya.
                Mari kita lihat ketika ini terus-terusan dibiarkan. Anggaplah anak berteman dengan teman yang membawa pengaruh positif. Percaya atau tidak, ketika campur tangan orang tua mulai berkurang – terlebih yang tersisa tuntutan dan sikap otoritas orang tua terhadap anak – anak seperti ini akan lebih mementingkan teman ketimbang orang tua, bahkan keluarga dekatnya.
                ‘Saya memenuhi semua kebutuhan anak,’ Oke...
                Contoh positif anak yang lebih memilih teman ketimbang orang tua yang memenuhi semua kebutuhannya adalah Mush’ab bin Umair. Siapa tak kenal Mush’ab bin Umar di zaman Rasulullah. Seluruh penduduk Mekah tau bahwa Mush’ab adalah seorang parlente, yang kebanyakan orang akan iri dengan kasih sayang dan kemewahan yang ia peroleh dari orang tuanya. Terlebih para gadis-gadis mendamba untuk menjadi belahan jiwanya. Tapi ternyata, ada satu titik kosong jauh di lubuk hati Mush’ab yang tidak ia peroleh dari kehidupannya yang nyaris sempurna. Dan kekosongan itu akhirnya terisi oleh Islam yang dibawa justru oleh seseorang yang belum lama dikenalnya.
Ini contoh positif. Syukur-syukur ketika anak yang kita sangka bahagia bertemu dengan teman yang mengarahkan ke kebahagiaan hakiki. Pada kenyataannya, anak justru kebanyakan mendapat pengaruh buruk dari temannya. Terlebih anak di usia remaja yang cenderung mencari jati diri. Salah-salah malah terarah ke gerbang-gerbang kenakalan remaja; Genk-genk’an, bully, sampai narkoba dan kenakalan mengerikan lainnya. Naudzubillah.
Well, kita ambil contoh yang lebih konkrit untuk anak yang lebih mendahulukan teman ketimbang keluarga, yaitu fenomena pacaran. Cinta itu buta, Cinta itu harus diperjuangkan, setidaknya demikian slogan anak yang sedang dilanda cinta buta. Pacaran ini bukan hanya melanda anak dengan usia sudah layak nikah, tapi juga anak-anak. Mungkin usia TK – SD masih sekedar ejek-ejek. Atau sekarang di zaman yang semakin canggih, jadi teman chating-chating. Tapi di usia SMP, anak seperti ini sudah berani berbohong pada orang tua karena takut ketahuan pacaran. Tapi yang lucu justru pada saat anak masuk di bangku SMA – kuliah, orang tua justru mendukung anak untuk pacaran, mulai sering menanyakan teman spesial si anak, bahkan resah ketika si anak masih betah berstatus jomblo.
Pada saat inilah akan didapati keanehan-keanehan, pelaku pacaran lebih suka menghabiskan waktu libur bersama pacar ketimbang keluarga. Bahkan ketika di rumah lebih suka chating dan BBM-an dengan si doi ketimbang bercengkrama dengan orang tua, kakak atau adiknya. Sebagian orang tua sekarang bisa jadi menganggap hal seperti ini sah-sah saja. Tapi apa tidak cemburu melihat anak lebih suka curhatan sama si Do’i??
Sebagai anak aku pun pernah mengalami hal ini. Dimana teman itu jauh lebih memahami, curhat ke teman itu bisa lebih plong ketimbang ke saudara kandung apalagi orang tua. Sampai-sampai acara reuni itu jauh lebih sakral ketimbang arisan keluarga. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Bisa jadi seperti kasus Mush’ab tadi, orang tua merasa sudah memberikan semuanya sebagai tanda kasih sayangnya. Padahal tetap saja Mush’ab merasa hampa. Terlebih untuk kasus anak korban brokenhome. Mush’ab ketemu teman yang menjerumuskannya ke surga, lah anak-anak seperti ini ketika salah pergaulan, bukan hanya meresahkan banyak orang, tapi kelak juga akan menjerumuskan diri dan orang tuanya ke neraka. Naudzubillah.
Ilustrasi dari google

Benar memang teman itu lebih memahami keadaan kita ketimbang keluarga dekat. Hal ini bisa jadi, karena si teman tidak sepenuhnya tahu sifat baik dan buruk kita. Sedang keluarga, untuk memahami anggota keluarga yang lain harus  mengalahkan egonya untuk bisa menjadi pendengar. Inilah yang seringkali hilang, apakah itu dari orang tua maupun saudara-saudara kandungnya. Padahal, ketika seseorang ingin difahami, sebenarnya ia tidak sedang ingin dicarikan solusi untuk masalahnya, ia hanya sedang mencari dukungan untuk meyakinkan dirinya sendiri atas keputusan yang ia buat.
Nah, dari penjabaran di atas, benarkah keluarga lebih utama dari teman?

Jika memang demikian, meskipun tidak sedikit teman yang membawa ke arah yang lebih baik, cemburulah! Tetaplah cemburu, karena kita tidak ingin seperti Nabi Nuh yang terpisah dari istri dan anaknya di akhirat. Cemburulah, karena sebenarnya kitalah yang lebih dulu mengenalnya. Kita bukan penerus ibunya Mush’ab yang mencukupkan kasih sayang sebatas kehidupan dunia. Bukan karena kita melarang anak kita berteman, tapi karena kita bercita-cita menjadi keluarga sampai ke surga. Allahu a’lam.

No comments:

Post a Comment