Karena Aku Perempuan, Aku
Butuh Laki-laki
Setidaknya, tulisan ini bisa memberi sedikit alasan kenapa kita, perempuan,
harus menolak feminisme. Walaupun sebenarnya bukan itu inti dari pembahasan
yang mau aku share kali ini. Well, sebelumnya, jika nantinya ada unsur
curhatan, aku mau minta maaf di awal, sebenarnya maksud hati cuma memberikan
contoh yang paling dekat dengan kehidupanku aja..
Baiklah, tulisan ini
sebenarnya terinspirasi dari penelusuran tak disengaja dari beberapa
perempuan-perempuan yang kehidupannya bisa dikatakan tidak seimbang. Kenapa aku
katakan tidak seimbang? Yah, sebab beliau-beliau ‘sudah terlalu lama sendiri’
(eh, kok kayak lirik lagu yakk...^^)
Aku seperti anak
perempuan kebanyakan, yang mencintai ayahnya dengan berlebihan. Bahkan, dulu
sekali, saat usiaku belum lagi menginjak sepuluh tahun, aku sudah berfikiran,
kelak dia yang menjadi pendamping hidupku haruslah laki-laki yang sama persis
dengan ayahku. Terlebih aku anak sulung, kalau orang batak bilang, aku ini
‘boru panggoaran’, maksudnya anak perempuan yang menggantikan nama panggilan
orang tuanya dalam kehidupan bermasyarakat. Yah, kalau kata mamaku, orang tua
manapun, kalau ia jujur pada hatinya, ia pasti pilih kasih diantara
anak-anaknya, sekalipun kelihatannya adil. Dan aku, merasakan bahwa aku adalah
anak yang mendapat kasih sayang lebih itu, setidaknya karena aku lahir lebih
dulu dari adik-adikku... hehe
Aku mau ambil contoh,
ini masih kerabat dekat. Di dua dekade pernikahan, suami tercinta dipanggil
lebih dulu oleh-Nya, semoga Allah senantiasa melapang kuburnya yang berpulang
saat sedang mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Sebut saja
nama si istri Bunda Fulanah. Bunda Fulanah menjadi janda, dan menghidupi kelima
putrinya. Bagaimanapun, ditinggalkan oleh seseorang dengan tiba-tiba akan
meninggalkan kecarut-marutan. Tapi bukan sisi kesedihannya yang akan kita
bicarakan, sebab menurutku, sepeninggal suaminya, sebenarnya adalah titik balik
kedewasan sebenarnya bagi Bunda Fulanah.
Seperti tadi
kukatakan, bahwa Bunda Fulanah menjadi janda dengan kelima putrinya. Yah, Allah
menghadiahi pernikahannya dengan lima orang putri. Artinya, suaminya adalah
satu-satunya makhluk terganteng di kerajaan rumah tangga mereka. Baik Bunda
Fulanah, maupun kelima putrinya merevolusi menjadi wanita-wanita perkasa.
Mereka berjuang untuk kehidupan masing-masing, tak sedikitpun terbersit
keinginan untuk hidup dengan belas kasih keluarga apalagi orang lain. Mereka
bagai terlahir kembali sebagai orang-orang super.
Disinilah intinya,
sebab di sisi lain, meski kekaguman atas kehidupan yang mereka capai sekarang
cukup besar, ternyata tetap saja mereka berada di titik tidak keseimbangan. Aku
ingat, pertama kali aku berkunjung ke sana. Pulang ke rumah, aku bilang sama
mama. “Ma, Mama mending enggak usah singgah ke rumah Bunda, deh. Mama bisa mati
berdiri kalau masuk rumahnya. Hampir enggak ada tempat untuk duduk. Semuanya
berantakan. Baju kotor dan baju bersih enggak bisa dibedakan. Kualinya ada lima
di dapur, tapi kalau mau ceplok telur aja, kita harus nyuci (kuali) dulu.”
Memang, meski kerabat
dekat, kami jarang bersua, karena jarak tinggal yang berjauhan. Tapi, sampai
tiba waktunya, mama tetap saja harus bersilaturahim. Untungnya waktu itu rumah
Bunda Fulanah sudah selesai di renovasi, dan airnya sudah lancar. Tapi tetap
saja, mengingat betapa kerasnya mama membuat aturan kebersihan di rumah kami,
aku memperkirakan mama enggak akan betah berlama-lama di sana. Sampai akhirnya,
aku mengingat kembali respon mama ketika aku mengadu waktu itu.
“Mungkin, karena di
rumah enggak ada laki-laki. Makanya ngeletakin barang-barang suka-suka hati
gitu.”
Sekarang, saat
memutuskan untuk membuat tulisan ini aku baru memahami maksud mama itu. Tidak
lain dan tidak bukan, tentang peran laki-laki di kehidupan perempuan. Sederhananya
sebagai penyeimbang.
Contoh sederhananya
gini, deh. Kalau kita pernah liat orang yang lagi pacaran, pas mereka mau
jalan, pasti persiapannya abis-abisan. Yang pakek baju cantik kurang cantiklah,
bedak tebal kurang tebal, ditambah parfum wangi kurang wangi. Padahal biasanya enggak
pernah gitu.
Atau lebih
sederhananya lagi. Pas masa-masa pubertas dulu (sambil ngitung umur...),
teman-teman kita yang keduluan berani main cinta-cintaan yang kayak mana coba?
Pasti kalau diperhatikan adalah yang telah bereformasi dari teman-teman sebaya,
kan?
Kalau dia cewek, yang
udah tau pakek handbody, pakek
parfum, dan perangkat-perangkat make up gitu-gitu
lah. Bener enggak sih? Coba ingat temen kita yang cupu-cupu. Yang meski udah di
bangku SMP masih suka main permainan anak SD, belajarnya gigih luar biasa...
pasti belum kenal begituan.
Nah, kira-kira
begitulah peran laki-laki sebagai penyeimbang yang aku maksud. Sama aja sih,
sebenarnya sama laki-laki. Kalau kita lihat laki-laki yang di masa
kesendiriannya pulang ke rumah suka-suka hati. Tapi setelah menikah, pasti dia
akan memegang prinsip:
“Senikmatnya kopi
manis di luar, kopi pahit di rumah tidak ada yang mengalahkan.”
Aku punya teman
kuliah, yang dia itu macem Mak Erot, bisa memprediksi masa depan seseorang dari
raut muka. (Sumpah, aku enggak serius). Jadi si kawan ini pernah bilang, “Pasti
di antara kita (teman satu geng gitu, lah), yang duluan nikah si ini. Udah
keliatan dari aura-auranya.”
Ternyata, malah dia
duluan. Ahahaha. Dan teman yang dia sebut namanya itu, menikah setelah dia. Aku
pribadi menilai, aura yang dimaksud si kawan itu emang bisa keliatan loh. Jadi,
bukan yang mengalay dengan mengutarakan bahwa hidupnya begitu malang, karena
sebagai jomblo sudah pasti dia syindrom jablay juga. AAAAAAAaach, ngomongin
apaan sih.
Aku kalau kebetulan
pulang malam, sering sedih. “Aduh, coba Taufik (adik laki-lakiku) masih di
medan, pasti aku ada yang ngantarin pulang.”
Sebenarnya kayak
ginian itu, bukan sifat manja, tapi rasa tidak aman. Kita suka salut liat
perempuan-perempuan tangguh, yang berjuang menghidupi diri dan anak-anaknya
sebagai single-parent. Pasti karena
kita enggak tau aja, dalam hatinya juga selalu enggak aman. Ada rindu yang tak tersampaikan,
nuraninya pasti berkata bahwa ia berjuang keras untuk bisa setegar yang orang
lain lihat.
Pernah juga ada
penelitian di Eropa, bahwa ternyata pelaku kejahatan itu didominasi oleh anak
korban brokenhome. Atau kalau kita
perhatikan, biasanya anak-anak yatim itu, pasti kenakalannya diluar batas.
Sampai-sampai kadang kita yang merasa lebih beruntung suka gedeg, walhasil, niat mau menyantuni jadi terwarnai kesia-siaan
karena sempat ngedumel. Logikanya,
yah, karena itu tadi. Kehidupan anak yatim jadi enggak seimbang, karena tidak
ada lagi sosok ayah di kehidupannya.
Pernah tahu enggak
alasan mereka yang lesbong (alias penyuka sesama jenis). Ternyata sebagian
besar dari mereka ini adalah korban. Ada yang korban sikap ayahnya dalam
memimpin keluarga, ada yang korban pacarnya yang sudah menyakitinya, yang kalau
disimpulkan, mereka ini korban laki-laki. Padahal akibatnya, lebih parah lagi,
kan? Dia malah menjalani kehidupan yang tidak normal.
Akhirnya, aku pun
memutuskan untuk mengakhiri tulisan ini. Bahwa bagaimanapun tangguhnya
perempuan-perempuan yang terbiasa tanpa laki-laki, dia sudah menjalani
perjuangan keras untuk terlihat mengagumkan, sebab sebenarnya dia berdiri di
titik ketidakseimbangan. Bagaimanapun, dia sudah menentang fitrahnya sebagai
jiwa yang terlahir dari tulang rusuk laki-laki. Benar, Adam yang mendamba Hawa,
tapi tidak benar jika Hawa bisa ada tanpa Adam, bukan?
Ku tutup tulisan ini
dengan sebuah perenungan dari kisah Ummu Salamah. Beliau adalah seorang istri
Nabi SAW yang dinikahi setelah meninggalnya bunda Khadijah. Sepeninggal
suaminya, Abu Salamah, Ummu Salamah memutuskan untuk tidak menikah lagi. Konon,
alasannya sebab Abu Salamah pernah berkata:
“Jika kelak aku
meninggal, menikahlah dengan laki-laki yang lebih baik dariku.”
Dan, Ummi Salamah
terlanjur mengartikan bahwa tidak ada laki-laki yang lebih baik dari Abu
Salamah di dunia ini. Sedikitpun tak terbersit difikirannya, bahwa Rasulullah
SAW si manusia terbaik di muka bumi akan meminangnya menjadi istri.
Ibrahnya, di dunia
ini, cuma ada satu alasan perempuan menentang fitrahnya sebagai perempuan yang
harus hidup seimbang dengan laki-laki, yaitu jika ia mempertahankan suami yang
telah mendahuluinya sebagai suaminya kelak sampai ke surga. Dan Ummi Salamah
pun sudah mengajarkan, bahwa bagaimanapun kembali menikah adalah jalan terbaik.
Bukankah, alasan Rasulullah SAW menikahi janda adalah untuk menyelamatkan
kehidupan para janda.
Eh, aku belum janda,
ya....
No comments:
Post a Comment