Saturday, October 14, 2017

Karena Aku Perempuan, Aku Butuh Laki-laki

Setidaknya, tulisan ini bisa memberi sedikit alasan kenapa kita, perempuan, harus menolak feminisme. Walaupun sebenarnya bukan itu inti dari pembahasan yang mau aku share kali ini. Well, sebelumnya, jika nantinya ada unsur curhatan, aku mau minta maaf di awal, sebenarnya maksud hati cuma memberikan contoh yang paling dekat dengan kehidupanku aja..

                Baiklah, tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari penelusuran tak disengaja dari beberapa perempuan-perempuan yang kehidupannya bisa dikatakan tidak seimbang. Kenapa aku katakan tidak seimbang? Yah, sebab beliau-beliau ‘sudah terlalu lama sendiri’ (eh, kok kayak lirik lagu yakk...^^)
                Aku seperti anak perempuan kebanyakan, yang mencintai ayahnya dengan berlebihan. Bahkan, dulu sekali, saat usiaku belum lagi menginjak sepuluh tahun, aku sudah berfikiran, kelak dia yang menjadi pendamping hidupku haruslah laki-laki yang sama persis dengan ayahku. Terlebih aku anak sulung, kalau orang batak bilang, aku ini ‘boru panggoaran’, maksudnya anak perempuan yang menggantikan nama panggilan orang tuanya dalam kehidupan bermasyarakat. Yah, kalau kata mamaku, orang tua manapun, kalau ia jujur pada hatinya, ia pasti pilih kasih diantara anak-anaknya, sekalipun kelihatannya adil. Dan aku, merasakan bahwa aku adalah anak yang mendapat kasih sayang lebih itu, setidaknya karena aku lahir lebih dulu dari adik-adikku... hehe
                Aku mau ambil contoh, ini masih kerabat dekat. Di dua dekade pernikahan, suami tercinta dipanggil lebih dulu oleh-Nya, semoga Allah senantiasa melapang kuburnya yang berpulang saat sedang mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Sebut saja nama si istri Bunda Fulanah. Bunda Fulanah menjadi janda, dan menghidupi kelima putrinya. Bagaimanapun, ditinggalkan oleh seseorang dengan tiba-tiba akan meninggalkan kecarut-marutan. Tapi bukan sisi kesedihannya yang akan kita bicarakan, sebab menurutku, sepeninggal suaminya, sebenarnya adalah titik balik kedewasan sebenarnya bagi Bunda Fulanah.
                Seperti tadi kukatakan, bahwa Bunda Fulanah menjadi janda dengan kelima putrinya. Yah, Allah menghadiahi pernikahannya dengan lima orang putri. Artinya, suaminya adalah satu-satunya makhluk terganteng di kerajaan rumah tangga mereka. Baik Bunda Fulanah, maupun kelima putrinya merevolusi menjadi wanita-wanita perkasa. Mereka berjuang untuk kehidupan masing-masing, tak sedikitpun terbersit keinginan untuk hidup dengan belas kasih keluarga apalagi orang lain. Mereka bagai terlahir kembali sebagai orang-orang super.
                Disinilah intinya, sebab di sisi lain, meski kekaguman atas kehidupan yang mereka capai sekarang cukup besar, ternyata tetap saja mereka berada di titik tidak keseimbangan. Aku ingat, pertama kali aku berkunjung ke sana. Pulang ke rumah, aku bilang sama mama. “Ma, Mama mending enggak usah singgah ke rumah Bunda, deh. Mama bisa mati berdiri kalau masuk rumahnya. Hampir enggak ada tempat untuk duduk. Semuanya berantakan. Baju kotor dan baju bersih enggak bisa dibedakan. Kualinya ada lima di dapur, tapi kalau mau ceplok telur aja, kita harus nyuci (kuali) dulu.”
                Memang, meski kerabat dekat, kami jarang bersua, karena jarak tinggal yang berjauhan. Tapi, sampai tiba waktunya, mama tetap saja harus bersilaturahim. Untungnya waktu itu rumah Bunda Fulanah sudah selesai di renovasi, dan airnya sudah lancar. Tapi tetap saja, mengingat betapa kerasnya mama membuat aturan kebersihan di rumah kami, aku memperkirakan mama enggak akan betah berlama-lama di sana. Sampai akhirnya, aku mengingat kembali respon mama ketika aku mengadu waktu itu.
                “Mungkin, karena di rumah enggak ada laki-laki. Makanya ngeletakin barang-barang suka-suka hati gitu.”
                Sekarang, saat memutuskan untuk membuat tulisan ini aku baru memahami maksud mama itu. Tidak lain dan tidak bukan, tentang peran laki-laki di kehidupan perempuan. Sederhananya sebagai penyeimbang.
                Contoh sederhananya gini, deh. Kalau kita pernah liat orang yang lagi pacaran, pas mereka mau jalan, pasti persiapannya abis-abisan. Yang pakek baju cantik kurang cantiklah, bedak tebal kurang tebal, ditambah parfum wangi kurang wangi. Padahal biasanya enggak pernah gitu.
                Atau lebih sederhananya lagi. Pas masa-masa pubertas dulu (sambil ngitung umur...), teman-teman kita yang keduluan berani main cinta-cintaan yang kayak mana coba? Pasti kalau diperhatikan adalah yang telah bereformasi dari teman-teman sebaya, kan?
                Kalau dia cewek, yang udah tau pakek handbody, pakek parfum, dan perangkat-perangkat make up gitu-gitu lah. Bener enggak sih? Coba ingat temen kita yang cupu-cupu. Yang meski udah di bangku SMP masih suka main permainan anak SD, belajarnya gigih luar biasa... pasti belum kenal begituan.
                Nah, kira-kira begitulah peran laki-laki sebagai penyeimbang yang aku maksud. Sama aja sih, sebenarnya sama laki-laki. Kalau kita lihat laki-laki yang di masa kesendiriannya pulang ke rumah suka-suka hati. Tapi setelah menikah, pasti dia akan memegang prinsip:
                “Senikmatnya kopi manis di luar, kopi pahit di rumah tidak ada yang mengalahkan.”
                Aku punya teman kuliah, yang dia itu macem Mak Erot, bisa memprediksi masa depan seseorang dari raut muka. (Sumpah, aku enggak serius). Jadi si kawan ini pernah bilang, “Pasti di antara kita (teman satu geng gitu, lah), yang duluan nikah si ini. Udah keliatan dari aura-auranya.”
                Ternyata, malah dia duluan. Ahahaha. Dan teman yang dia sebut namanya itu, menikah setelah dia. Aku pribadi menilai, aura yang dimaksud si kawan itu emang bisa keliatan loh. Jadi, bukan yang mengalay dengan mengutarakan bahwa hidupnya begitu malang, karena sebagai jomblo sudah pasti dia syindrom jablay juga. AAAAAAAaach, ngomongin apaan sih.
                Aku kalau kebetulan pulang malam, sering sedih. “Aduh, coba Taufik (adik laki-lakiku) masih di medan, pasti aku ada yang ngantarin pulang.”
                Sebenarnya kayak ginian itu, bukan sifat manja, tapi rasa tidak aman. Kita suka salut liat perempuan-perempuan tangguh, yang berjuang menghidupi diri dan anak-anaknya sebagai single-parent. Pasti karena kita enggak tau aja, dalam hatinya juga selalu enggak aman. Ada rindu yang tak tersampaikan, nuraninya pasti berkata bahwa ia berjuang keras untuk bisa setegar yang orang lain lihat.
                Pernah juga ada penelitian di Eropa, bahwa ternyata pelaku kejahatan itu didominasi oleh anak korban brokenhome. Atau kalau kita perhatikan, biasanya anak-anak yatim itu, pasti kenakalannya diluar batas. Sampai-sampai kadang kita yang merasa lebih beruntung suka gedeg, walhasil, niat mau menyantuni jadi terwarnai kesia-siaan karena sempat ngedumel. Logikanya, yah, karena itu tadi. Kehidupan anak yatim jadi enggak seimbang, karena tidak ada lagi sosok ayah di kehidupannya.
                Pernah tahu enggak alasan mereka yang lesbong (alias penyuka sesama jenis). Ternyata sebagian besar dari mereka ini adalah korban. Ada yang korban sikap ayahnya dalam memimpin keluarga, ada yang korban pacarnya yang sudah menyakitinya, yang kalau disimpulkan, mereka ini korban laki-laki. Padahal akibatnya, lebih parah lagi, kan? Dia malah menjalani kehidupan yang tidak normal.
                Akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengakhiri tulisan ini. Bahwa bagaimanapun tangguhnya perempuan-perempuan yang terbiasa tanpa laki-laki, dia sudah menjalani perjuangan keras untuk terlihat mengagumkan, sebab sebenarnya dia berdiri di titik ketidakseimbangan. Bagaimanapun, dia sudah menentang fitrahnya sebagai jiwa yang terlahir dari tulang rusuk laki-laki. Benar, Adam yang mendamba Hawa, tapi tidak benar jika Hawa bisa ada tanpa Adam, bukan?
                Ku tutup tulisan ini dengan sebuah perenungan dari kisah Ummu Salamah. Beliau adalah seorang istri Nabi SAW yang dinikahi setelah meninggalnya bunda Khadijah. Sepeninggal suaminya, Abu Salamah, Ummu Salamah memutuskan untuk tidak menikah lagi. Konon, alasannya sebab Abu Salamah pernah berkata:
                “Jika kelak aku meninggal, menikahlah dengan laki-laki yang lebih baik dariku.”
                Dan, Ummi Salamah terlanjur mengartikan bahwa tidak ada laki-laki yang lebih baik dari Abu Salamah di dunia ini. Sedikitpun tak terbersit difikirannya, bahwa Rasulullah SAW si manusia terbaik di muka bumi akan meminangnya menjadi istri.
                Ibrahnya, di dunia ini, cuma ada satu alasan perempuan menentang fitrahnya sebagai perempuan yang harus hidup seimbang dengan laki-laki, yaitu jika ia mempertahankan suami yang telah mendahuluinya sebagai suaminya kelak sampai ke surga. Dan Ummi Salamah pun sudah mengajarkan, bahwa bagaimanapun kembali menikah adalah jalan terbaik. Bukankah, alasan Rasulullah SAW menikahi janda adalah untuk menyelamatkan kehidupan para janda.

                Eh, aku belum janda, ya....

No comments:

Post a Comment