Novel
Judul Buku : Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan
Arab Saudi
Pengarang : Jean P. Sasson
Penerbit : Ramala Books
ISBN : 979-1238-36-7
Laki-laki tampan, kaya dan sholeh. Tak bisa dinyana,
setiap perempuan pasti mendambakan memiliki pasangan hidup yang demikian.
Setidaknya untuk orang awam sepertiku itulah gambaran umum tentang Pangeran
Arab. Yah, Arab Saudi, sebuah negara monarki sangat kaya dengan dua kota suci
Islam terdapat didalamnya.
Sebagai muslimah yang hidup di negara dengan sistem
demokrasi dan kebebasan perempuan yang setara dengan laki-laki, seringkali aku
iri pada muslimah-muslimah yang ada di Arab. Pergi kemana-mana dengan surat
izin resmi dari walinya, tak boleh berkeliaran di depan umum tanpa abaaya dan cadar, dan aturan-aturan lain
sebagaimana layaknya Islam memperlakukan perempuan. Setidaknya perasaan ini
muncul saat aku sedang berada di luar sendirian, diganggu laki-laki iseng, atau
risih melihat perempuan-perempuan negeriku yang seringkali berperilaku jauh
dari citra perempuan-perempuan Timur seharusnya.
Jijik, marah, tapi penuh rasa ingin tahu. Itulah gambaran
perasaanku saat menikmati setiap untaian kata dalam Novel biografi berjudul Princess, buah tangan dari Jean P.
Sasson ini. Sebuah karya yang mengangkat pengakuan dari salah satu putri
kerajaan Arab Saudi. “Sangat menarik,
padat, berani, kaya akan detail...” komentar dari publisher Weekly. Pasti, begitu pulalah komentar dari para
Islamphobia atau para aktifis Feminisme.
Beberapa waktu yang lalu, aku mendengar salah seorang
Profesor Hukum Universitas Sumatera Utara mengungkapkan bahwa: ‘untuk
mengungkap kejahatan terselubung, kita membutuhkan pengakuan sukarelawan yang
terlibat dalam selubung kejahatan tersebut.’ Sebenarnya ini bukan hal yang
baru, bahkan orang sangat awam pun bisa dengan mudah mempercayai argumen ini.
Dan novel ini, secara tidak langsung telah menghadirkan sukarelawan tersebut
untuk memperkuat argumen penganut Feminisme anti Islam.
Adalah Putri Sultana, nama yang direka penulis untuk
menggambarkan tokoh dalam novelnya. Seorang Putri yang masih dekat
kekerabatannya dengan Sultan Abdul Aziz,
keponakan dari Raja Faisal, seorang Putra Mahkota yang diangkat menjadi
Raja setelah saudaranya Pangeran Saud bin Abdul Aziz diputuskan untuk
menanggalkan jabatan dan diasingkan dari Riyadh karena kelemahannya selama
memimpin. Seorang Putri bungsu yang merindukan kasih sayang sang Ayah yang
dianggapnya hanya mementingkan anak laki-lakinya.
Lahir dan dibesarkan dalam istana yang terbilang sederhana
untuk ukuran keluarga kerajaan di Saudi, padahal Ayahnya memiliki empat istri,
empat istana yang keempatnya diisi dengan isi yang sama persis, berlibur ke
Eropa yang jaraknyanya seperti dari Tembung ke Medan, rupanya tak membuat
Sultana merasa puas. Sejak kecil ia merasa bahwa ada banyak tradisi kerajaan
yang sangat tidak adil untuk perempuan. Terlebih saat dia tahu bahwa
ketidakadilan yang lebih parah justru dialami oleh mereka yang bukan keluarga
kerajaan dan banyak perempuan lain di Luar Arab Saudi.
Benarkah
demikian?
Di akhir bab, Sultana bercerita bahwa Perang Teluk yang
melibatkan Irak, Kuwait, Arab Saudi dan Paman Amerika Serikat berhasil
meningkatkan keshalehan orang-orang Arab. Namun, perang penuh dilema yang
mengharuskan Islam satu harus membunuh Islam lainnya itu, rupanya malah menjadi
kesempatan bagi perempuan Arab untuk maju dan berjuang menyuarakan hak bicara
mereka, makhluk yang selama ini selalu dianggap tidak ada di negeri Arab.
“... mereka telah diselamatkan dari ancaman tentara yang
menginvasi dan perempuan yang merdeka. Siapa yang bisa menjawab: ancaman mana
yang lebih menakutkan mereka? Perang atau perempuan yang merdeka?” (Halaman
305)
Silsilah Bani Saud yang merupakan penguasa Kerajaan Arab
Saudi memang berakar dari Arab Badui, yang di Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw.
banyak diceritakan tentang budaya barbarnya orang-orang Arab Badui ini. Kita
pun akan terngiang dengan tangisan Umar bin Khattab ra. saat mengingat di masa
jahiliyahnya ia pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena budaya
Arab menganggap anak perempuan tidak membawa keberuntungan bagi ayahnya. Dan di
banyak tulisan anti Islam seringkali menimbulkan pertanyaan perenungan bagi
pembacanya untuk membayangkan seorang laki-laki berusia 50 tahunan, mengaku
sebagai utusan Allah lantas menikahi seorang anak kecil yang baru berusia 6
tahun.
Aku seringkali tidak percaya dengan rumor
Pangeran-pangeran Arab bepergian ke Eropa dan Amerika atau Filipina, Thailand
bahkan Indonesia untuk kemudian melakukan pesta dengan sajian alkohol, narkoba
dan perempuan-perempuan cantik. Karena akhirnya aku menemukan jawaban lain,
bahwa dibalik label “Malas” yang disematkan pada orang-orang Arab Saudi yang
dianugrahkan kekayaan melimpah ruah yang seakan tak pernah habis itu, banyak
aktifitas kebaikan mereka yang membuat kita merasa memaklumi: Allah senantiasa
menganugrahkan rizki yang banyak untuk orang-orang Arab. Mungkin karena itu
pula aku merasa jijik saat Putri Sultana dengan gamblang mengungkapkan
kebenaran rumor yang dilakukan oleh ayah dan saudara-saudara laki-lakinya itu.
(oh, Pangeran Arab rusaklah citramu
dimataku)
Pesona Pangeran Arab seketika memudar, tapi sebagai
seorang perempuan aku justru merasa sangat malu dan marah atas pengakuan Putri
Sultana ini. Bagaimana tidak, novel ini telah banyak dialihbahasakan dan
menjadi rujukan kaum Feminisme untuk mengecam Islam sebagai agama yang telah
memenjara hak merdeka perempuan. Satu sisi bisa jadi benar, bahwa Putri Sultana
iri terhadap saudara laki-lakinya yang lebih diutamakan oleh ayahnya.
Bagaimanapun, bagi setiap anak perempuan, Ayah adalah laki-laki pertama yang
dicintainya. Tapi tidak lantas kerinduannya akan kasih sayang ayah yang dia
rasa tidak adil membuatnya begitu berani mengungkapkannya ke khalayak, dimana
khalayak malah menganggap bahwa ketidakadilan yang ia rasakan adalah
ketidakadilan yang diajarkan Islam.
sumber: google image
Tentu saja novel ini menjadi sangat menarik sebab setiap untaian
paragrafnya adalah informasi yang dibutuhkan para anti Islam untuk mencari
celah menjatuhkan Islam.
Padat..
Bisa jadi tulisan ini memang sengaja dibuat padat, agar setiap pembaca bisa
dengan segera menuntaskannya. (Aku
menyelesaikannya tidak sampai satu hari satu malam)
Berani...
Meski di awal dan akhir novel terdapat catatan penulis yang menyatakan
bahwa ia berkali-kali meyakinkan Putri Sultana dan dirinya sendiri untuk
menyelesaikan dan mempublikasikan tulisan ini. Tetap saja orang-orang akan
menganggap bahwa baik Jean si penulis, maupun Putri Sultana si sukarelawan adalah
dua orang yang begitu berani mengungkap apa yang kemudian mereka sebut dengan
‘Tragis’. Sebagai Penutup Jean mengungkapkan bahwa, demi menolak suaminya
menikah lagi, Putri Sultana membiarkan suaminya melakukan kencan terlarang
dengan pelacur-pelacur hingga mereka berdua mengidap penyakit kelamin yang
mengerikan. Padahal, Islam dan budaya Arab sudah memberikan solusi halal untuk
mengatasi wabah mengerikan itu.
Aku pun jadi teringat
dengan pengakuan seorang istri pejabat tanpa inisial di negeriku, “Aku lebih
rela suamiku jajan diluar daripada
aku tau dia punya istri lagi.” What do
you think?
Asma Nadia, yang dikecam
sebagai aktifis feminisme bernafaskan Islam, dalam novelnya ‘Surga yang tak
dirindukan’, melalui Arini menuturkan bahwa “Surga yang digambarkan (surga bagi seorang istri yang membiarkan
suaminya menikah lagi) memang indah, tapi bukan surga itu yang aku
rindukan.” Yah, aku sebagai perempuan pun membenarkan bahwa perempuan mana yang
rela harus berbagi orang terkasih dengan perempuan lain. Tidak ada, bahkan
Aisyah ra. satu-satunya istri Rasul saw. yang masih perawan pun tetap cemburu
ketika Rasul menyebut-nyebut nama ibunda Khadijah ra. di depannya. Bisa jadi
sama saja jika dianalogikan dengan seorang anak yang harus berbagi mainan
dengan temannya atau saudara kandungnya, kelihatannya rela tapi tetap saja ada
rasa dongkol yang memperlambat prosesnya menjadi ikhlas.
Tapi haruskah kita atau
kami (perempuan) membuat gerakan anti poligami dan seterusnya padahal apa yang
ditentang adalah perintah Allah? Lalu apa yang akan didapat perempuan yang
dianggap berani oleh sebagian orang ini kelak sebab membiarkan suaminya
melakukan kemaksiatan yang dibenci Allah? Ah, Putri Sultana pun sudah
mengajarkan kepada kita bahwa ia telah mendapat akibatnya di dunia, menderita
penyakit kelamin mengerikan akibat ulah suaminya di luar rumah. Bahkan (astaghfirullah) aku juga mensyukuri jika
akhirnya pihak istana Arab mengetahui identitasnya, lalu ia dihukum dan
dipermalukan di negerinya sebab ulahnya yang bukan hanya mencoreng nama baik
keluarga Kerajaan Arab Saudi, tapi juga mencoreng Islam oleh ketidaktahuannya.
Kaya akan Detail...
Kaya, tulisan ini memang kaya sebagus ia menggambarkan kekayaan keluarga
Kerajaan Arab. Bahkan tanpa malu-malu Putri Sultana mengungkapkan
kelakuan-kelakuan amoral perempuan-perempuan Arab yang merasa terkungkung oleh
aturan yang ditetapkan Arab Saudi untuk perempuan.
Tak taukah ia bagaimana
kami di Indonesia begitu susahnya mengkampanyekan larangan pacaran yang banyak
merusak generasi muda? Dengan detailnya ia malah menyuarakan bahwa aktifitas
ini harusnya dilakukan anak-anak muda Arab sebelum menikah. Tak tahukah ia
bagaimana kami di Indonesia, bahkan negara-negara Industri seperti Jepang dan
banyak negara Eropa mendorong pemudanya untuk menikah, bahkan sedini mungkin,
bukan hanya untuk tujuan memperbanyak keturunan dan perihal kebutuhan saja,
tapi membangun kesadaran bahwa inilah satu-satunya cara mensyukuri karunia
Allah, mensyukuri kesehatan dan menyempurnakan keimanan.
Ah, bisa jadi apa yang
terjadi sekarang juga sebab si Putri Sultana. Aku pun kehilangan pesona dari
Pangeran-pangeran Arab yang tampan, kaya dan kemungkinan sholeh sebab
dibesarkan di negeri tempat Islam pertama kali diajarkan. Apalagi sisi aku yang
begitu mengidolakan sains dan tegnologi, mungkin saja akan memilih berkecimpung
di dunia ini ketimbang harus berbagi hidup dengan laki-laki serba belum tentu.
(belum tentu tampan, belum tentu kaya, belum tentu sholeh dan belum tentu
menerimaku apa adanya)
Finally, sudah pasti novel ini sangat bagus untuk beberapa
golongan. (Novel ini pertama kali terbit
tahun 1992 dan versi terjemahan Indonesianya pada 2007). Tapi sebagai
muslimah, yang merindukan ketenangan hidup layaknya Allah dan Rasul-Nya telah
memuliakan kami, aku berharap novel ini tidak lagi dibaca. Sebab bukan hanya
mencoreng citra Kerajaan Arab Saudi tapi juga menyebar pemahaman Islam yang
sangat dangkal.
No comments:
Post a Comment