Saturday, April 8, 2017

Pudarnya Pesona Pangeran Arab



Novel
Judul Buku      : Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi
Pengarang       : Jean P. Sasson
Penerbit           : Ramala Books
ISBN               : 979-1238-36-7


Laki-laki tampan, kaya dan sholeh. Tak bisa dinyana, setiap perempuan pasti mendambakan memiliki pasangan hidup yang demikian. Setidaknya untuk orang awam sepertiku itulah gambaran umum tentang Pangeran Arab. Yah, Arab Saudi, sebuah negara monarki sangat kaya dengan dua kota suci Islam terdapat didalamnya.
Sebagai muslimah yang hidup di negara dengan sistem demokrasi dan kebebasan perempuan yang setara dengan laki-laki, seringkali aku iri pada muslimah-muslimah yang ada di Arab. Pergi kemana-mana dengan surat izin resmi dari walinya, tak boleh berkeliaran di depan umum tanpa abaaya dan cadar, dan aturan-aturan lain sebagaimana layaknya Islam memperlakukan perempuan. Setidaknya perasaan ini muncul saat aku sedang berada di luar sendirian, diganggu laki-laki iseng, atau risih melihat perempuan-perempuan negeriku yang seringkali berperilaku jauh dari citra perempuan-perempuan Timur seharusnya.
Jijik, marah, tapi penuh rasa ingin tahu. Itulah gambaran perasaanku saat menikmati setiap untaian kata dalam Novel biografi berjudul Princess, buah tangan dari Jean P. Sasson ini. Sebuah karya yang mengangkat pengakuan dari salah satu putri kerajaan Arab Saudi. “Sangat menarik, padat, berani, kaya akan detail...” komentar dari publisher Weekly. Pasti, begitu pulalah komentar dari para Islamphobia atau para aktifis Feminisme.
Beberapa waktu yang lalu, aku mendengar salah seorang Profesor Hukum Universitas Sumatera Utara mengungkapkan bahwa: ‘untuk mengungkap kejahatan terselubung, kita membutuhkan pengakuan sukarelawan yang terlibat dalam selubung kejahatan tersebut.’ Sebenarnya ini bukan hal yang baru, bahkan orang sangat awam pun bisa dengan mudah mempercayai argumen ini. Dan novel ini, secara tidak langsung telah menghadirkan sukarelawan tersebut untuk memperkuat argumen penganut Feminisme anti Islam.
Adalah Putri Sultana, nama yang direka penulis untuk menggambarkan tokoh dalam novelnya. Seorang Putri yang masih dekat kekerabatannya dengan Sultan Abdul Aziz,  keponakan dari Raja Faisal, seorang Putra Mahkota yang diangkat menjadi Raja setelah saudaranya Pangeran Saud bin Abdul Aziz diputuskan untuk menanggalkan jabatan dan diasingkan dari Riyadh karena kelemahannya selama memimpin. Seorang Putri bungsu yang merindukan kasih sayang sang Ayah yang dianggapnya hanya mementingkan anak laki-lakinya.
Lahir dan dibesarkan dalam istana yang terbilang sederhana untuk ukuran keluarga kerajaan di Saudi, padahal Ayahnya memiliki empat istri, empat istana yang keempatnya diisi dengan isi yang sama persis, berlibur ke Eropa yang jaraknyanya seperti dari Tembung ke Medan, rupanya tak membuat Sultana merasa puas. Sejak kecil ia merasa bahwa ada banyak tradisi kerajaan yang sangat tidak adil untuk perempuan. Terlebih saat dia tahu bahwa ketidakadilan yang lebih parah justru dialami oleh mereka yang bukan keluarga kerajaan dan banyak perempuan lain di Luar Arab Saudi.
Benarkah demikian?
Di akhir bab, Sultana bercerita bahwa Perang Teluk yang melibatkan Irak, Kuwait, Arab Saudi dan Paman Amerika Serikat berhasil meningkatkan keshalehan orang-orang Arab. Namun, perang penuh dilema yang mengharuskan Islam satu harus membunuh Islam lainnya itu, rupanya malah menjadi kesempatan bagi perempuan Arab untuk maju dan berjuang menyuarakan hak bicara mereka, makhluk yang selama ini selalu dianggap tidak ada di negeri Arab.
“... mereka telah diselamatkan dari ancaman tentara yang menginvasi dan perempuan yang merdeka. Siapa yang bisa menjawab: ancaman mana yang lebih menakutkan mereka? Perang atau perempuan yang merdeka?” (Halaman 305)
Silsilah Bani Saud yang merupakan penguasa Kerajaan Arab Saudi memang berakar dari Arab Badui, yang di Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. banyak diceritakan tentang budaya barbarnya orang-orang Arab Badui ini. Kita pun akan terngiang dengan tangisan Umar bin Khattab ra. saat mengingat di masa jahiliyahnya ia pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena budaya Arab menganggap anak perempuan tidak membawa keberuntungan bagi ayahnya. Dan di banyak tulisan anti Islam seringkali menimbulkan pertanyaan perenungan bagi pembacanya untuk membayangkan seorang laki-laki berusia 50 tahunan, mengaku sebagai utusan Allah lantas menikahi seorang anak kecil yang baru berusia 6 tahun.
Aku seringkali tidak percaya dengan rumor Pangeran-pangeran Arab bepergian ke Eropa dan Amerika atau Filipina, Thailand bahkan Indonesia untuk kemudian melakukan pesta dengan sajian alkohol, narkoba dan perempuan-perempuan cantik. Karena akhirnya aku menemukan jawaban lain, bahwa dibalik label “Malas” yang disematkan pada orang-orang Arab Saudi yang dianugrahkan kekayaan melimpah ruah yang seakan tak pernah habis itu, banyak aktifitas kebaikan mereka yang membuat kita merasa memaklumi: Allah senantiasa menganugrahkan rizki yang banyak untuk orang-orang Arab. Mungkin karena itu pula aku merasa jijik saat Putri Sultana dengan gamblang mengungkapkan kebenaran rumor yang dilakukan oleh ayah dan saudara-saudara laki-lakinya itu. (oh, Pangeran Arab rusaklah citramu dimataku)
Pesona Pangeran Arab seketika memudar, tapi sebagai seorang perempuan aku justru merasa sangat malu dan marah atas pengakuan Putri Sultana ini. Bagaimana tidak, novel ini telah banyak dialihbahasakan dan menjadi rujukan kaum Feminisme untuk mengecam Islam sebagai agama yang telah memenjara hak merdeka perempuan. Satu sisi bisa jadi benar, bahwa Putri Sultana iri terhadap saudara laki-lakinya yang lebih diutamakan oleh ayahnya. Bagaimanapun, bagi setiap anak perempuan, Ayah adalah laki-laki pertama yang dicintainya. Tapi tidak lantas kerinduannya akan kasih sayang ayah yang dia rasa tidak adil membuatnya begitu berani mengungkapkannya ke khalayak, dimana khalayak malah menganggap bahwa ketidakadilan yang ia rasakan adalah ketidakadilan yang diajarkan Islam.
sumber: google image

Sangat menarik...
Tentu saja novel ini menjadi sangat menarik sebab setiap untaian paragrafnya adalah informasi yang dibutuhkan para anti Islam untuk mencari celah menjatuhkan Islam.
Padat..
Bisa jadi tulisan ini memang sengaja dibuat padat, agar setiap pembaca bisa dengan segera menuntaskannya. (Aku menyelesaikannya tidak sampai satu hari satu malam)
Berani...
Meski di awal dan akhir novel terdapat catatan penulis yang menyatakan bahwa ia berkali-kali meyakinkan Putri Sultana dan dirinya sendiri untuk menyelesaikan dan mempublikasikan tulisan ini. Tetap saja orang-orang akan menganggap bahwa baik Jean si penulis, maupun Putri Sultana si sukarelawan adalah dua orang yang begitu berani mengungkap apa yang kemudian mereka sebut dengan ‘Tragis’. Sebagai Penutup Jean mengungkapkan bahwa, demi menolak suaminya menikah lagi, Putri Sultana membiarkan suaminya melakukan kencan terlarang dengan pelacur-pelacur hingga mereka berdua mengidap penyakit kelamin yang mengerikan. Padahal, Islam dan budaya Arab sudah memberikan solusi halal untuk mengatasi wabah mengerikan itu.
            Aku pun jadi teringat dengan pengakuan seorang istri pejabat tanpa inisial di negeriku, “Aku lebih rela suamiku jajan diluar daripada aku tau dia punya istri lagi.” What do you think?
            Asma Nadia, yang dikecam sebagai aktifis feminisme bernafaskan Islam, dalam novelnya ‘Surga yang tak dirindukan’, melalui Arini menuturkan bahwa “Surga yang digambarkan (surga bagi seorang istri yang membiarkan suaminya menikah lagi) memang indah, tapi bukan surga itu yang aku rindukan.” Yah, aku sebagai perempuan pun membenarkan bahwa perempuan mana yang rela harus berbagi orang terkasih dengan perempuan lain. Tidak ada, bahkan Aisyah ra. satu-satunya istri Rasul saw. yang masih perawan pun tetap cemburu ketika Rasul menyebut-nyebut nama ibunda Khadijah ra. di depannya. Bisa jadi sama saja jika dianalogikan dengan seorang anak yang harus berbagi mainan dengan temannya atau saudara kandungnya, kelihatannya rela tapi tetap saja ada rasa dongkol yang memperlambat prosesnya menjadi ikhlas.
            Tapi haruskah kita atau kami (perempuan) membuat gerakan anti poligami dan seterusnya padahal apa yang ditentang adalah perintah Allah? Lalu apa yang akan didapat perempuan yang dianggap berani oleh sebagian orang ini kelak sebab membiarkan suaminya melakukan kemaksiatan yang dibenci Allah? Ah, Putri Sultana pun sudah mengajarkan kepada kita bahwa ia telah mendapat akibatnya di dunia, menderita penyakit kelamin mengerikan akibat ulah suaminya di luar rumah. Bahkan (astaghfirullah) aku juga mensyukuri jika akhirnya pihak istana Arab mengetahui identitasnya, lalu ia dihukum dan dipermalukan di negerinya sebab ulahnya yang bukan hanya mencoreng nama baik keluarga Kerajaan Arab Saudi, tapi juga mencoreng Islam oleh ketidaktahuannya.
Kaya akan Detail...
Kaya, tulisan ini memang kaya sebagus ia menggambarkan kekayaan keluarga Kerajaan Arab. Bahkan tanpa malu-malu Putri Sultana mengungkapkan kelakuan-kelakuan amoral perempuan-perempuan Arab yang merasa terkungkung oleh aturan yang ditetapkan Arab Saudi untuk perempuan.
            Tak taukah ia bagaimana kami di Indonesia begitu susahnya mengkampanyekan larangan pacaran yang banyak merusak generasi muda? Dengan detailnya ia malah menyuarakan bahwa aktifitas ini harusnya dilakukan anak-anak muda Arab sebelum menikah. Tak tahukah ia bagaimana kami di Indonesia, bahkan negara-negara Industri seperti Jepang dan banyak negara Eropa mendorong pemudanya untuk menikah, bahkan sedini mungkin, bukan hanya untuk tujuan memperbanyak keturunan dan perihal kebutuhan saja, tapi membangun kesadaran bahwa inilah satu-satunya cara mensyukuri karunia Allah, mensyukuri kesehatan dan menyempurnakan keimanan.
            Ah, bisa jadi apa yang terjadi sekarang juga sebab si Putri Sultana. Aku pun kehilangan pesona dari Pangeran-pangeran Arab yang tampan, kaya dan kemungkinan sholeh sebab dibesarkan di negeri tempat Islam pertama kali diajarkan. Apalagi sisi aku yang begitu mengidolakan sains dan tegnologi, mungkin saja akan memilih berkecimpung di dunia ini ketimbang harus berbagi hidup dengan laki-laki serba belum tentu. (belum tentu tampan, belum tentu kaya, belum tentu sholeh dan belum tentu menerimaku apa adanya)

            Finally, sudah pasti novel ini sangat bagus untuk beberapa golongan. (Novel ini pertama kali terbit tahun 1992 dan versi terjemahan Indonesianya pada 2007). Tapi sebagai muslimah, yang merindukan ketenangan hidup layaknya Allah dan Rasul-Nya telah memuliakan kami, aku berharap novel ini tidak lagi dibaca. Sebab bukan hanya mencoreng citra Kerajaan Arab Saudi tapi juga menyebar pemahaman Islam yang sangat dangkal.

No comments:

Post a Comment