Monday, October 17, 2016

Orang Paling Ganteng di Kampung Bawah, katanya.

         Rasanya memang agak-agak mau muntah gitu kalau baca judul di atas. Apalagi kalau sudah melihat langsung orangnya, bisa jadi ada yang berkomentar, “Hah, gini ganteng?”, atau “kalau gantengnya kayak gini, jeleknya kayak mana lagi?”. Tapi ya sudahlah, dari pada dosa kita bertambah karena menghina ciptaan Tuhan, lebih baik kita cari sisi lain beliau yang bisa membuat aku dan kamu sama-sama mengambil pelajaran darinya.

Orang-orang sekampung memanggilnya dengan sapaan Ustadz Arkan. Yah, memang tujuan kedatangannya ke kampung kami menjadi guru spiritual orang-orang sekampung. Dia tetangga sebelah rumah, tapi karena keadaan mengharuskan aku berada di kota yang jauh dari kampung, aku baru bertemu beliau di masa liburan lebaran Idul Fitri lalu. Walaupun cerita tentang beliau sudah sering kudengar dari cerita mama saat menelponnya.

Gambar 1. Ustadz Arkan
Setahun terakhir beliau menjadi tranding topik di kampung kami. Banyak orang yang membicarakannya, tentu karena banyak yang merasa lebih baik setelah kedatangannya, walaupun satu dua tetangga masih ada yang usil dengan keberadaan beliau. Kampung kami yang dihuni oleh sekitar 50 KK memang mayoritas penganut agama Islam, karena cuma ada 3 keluarga yang beragama Kristen. Kehidupan di kampung kami sebelumnya bisa dibilang kacau. Kalau kita ibaratkan sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”, maka di kampung kami pun ada banyak duplikat Haji Muhidin yang tidak pernah senang tetangganya hidup damai.
Kalau kacamata pribadiku menilai sih, ini terjadi karena memang, meski 95% warga kampung beragama Islam, tapi pada kenyataannya sebagian besarnya adalah ISi aLAM, alias tidak menjalankan syari’at agama dengan baik. Bisa jadi karena tidak pernah belajar, atau pernah belajar tapi tidak mau tau.  Tidak heran, kalau mesjid kampung yang cuma berukuran 6 x 8 meter persegi itu masih sangat luas karena terbiasa diisi oleh seorang imam dan makmum di waktu-waktu shalat.
Seorang Ibu yang masih kerabat dekat dengan kami sempat bercerita pada anaknya yang sudah bekerja dengan gaji yang lumayan, “Ustadz itu setiap bulannya cuma bergaji 1,5 juta. Manalah cukup itu untuk biaya dia, istri dan anaknya yang sekolah.” Dan anaknya yang pernah nyantri itu cuma berkomentar, “Itulah mak disebut uang yang berkah. Jadi walaupun kita fikir-fikir tidak cukup, tapi karena Allah berkahi jadilah ia cukup.”
Dan aku, yah aku memang harus mengamini komentar dari seorang sepupuku itu. Bahkan aku sedang berusaha menjelaskan kenapa beliau memang pantas disebut orang paling ganteng di Kampung kami. Yah, walaupun buat para pembaca yang jadi baper karena akhirnya menganggap dia ganteng juga harus patah hati, karena beliau sudah menikah dan beranak satu. Hehehe...
Sebenarnya, jauh sebelum beliau datang ke kampung kami. Di kampung kami sempat di buat aktifitas pengajian ibu-ibu, namun berakhir dan tak berlanjut karena masalah yang bisa dibilang sepele. Beberapa waktu setelah itu pun dibuat pengajian untuk bapak-bapak, inipun hampir dihentikan karena masalah yang sepele juga. Namun si hero Ustadz Arkan datang sebelum pengajian itu benar-benar diakhiri.
Yang paling miris itu, di kampung kami banyak anak-anak usia remaja. Tapi semua sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Misalnya seperti remaja ketuaan seperti aku, sibuk kuliah di luar kota. Yang lebih miris itu remaja yang masih menetap di kampung tapi lebih banyak melakukan aktifitas-aktifitas yang negatif, bahkan sampai ada yang menjadi pengguna dan pengedar narkoba.
Dan lagi-lagi, heronya datang. Karena kebetulan ustadznya masih muda. Sangat muda pun, karena beliau memang lebih muda dua tahun dari aku. Tolong jangan memperkirakan umurku berapa sekarang, tapi berfikirlah berapa usia ustadz itu menikah sampai-sampai sekarang sudah punya anak kelas 2 SD. Nah, jiwa muda beliau pun masih sangat diterima oleh anak-anak tetangga yang berusia remaja itu.
Entah bagaimana prosesnya, tapi beliau sudah membuat kumpulan Remaja Mesjid yang juga punya kajian setiap minggunya. Melakukan aktifitas sosial, seperti bersih-bersih mesjid, membersihkan pemakaman umum sampai membentuk grup nasyid untuk mereka yang punya atau belum berbakat di bidang kesenian Islami. Jadi bukan hanya sedikit, tapi banyak kegiatan remaja di Kampung kami akhirnya mengarah ke hal-hal yang positif.
Beliau punya trik sendiri dalam menarik simpati masyarakat. Seperti misalnya, pernah satu kali saat pemilihan ketua pengajian Bapak-bapak. Ada sekelompok orang yang menolak calon yang sudah terpilih, lalu mengancam tidak ikut dalam agenda rutin masyarakat sekampung itu. Beliau cuma berkata, “Jangan gitulah, Pak. Bapak itu kan sudah terpilih dari sebagian besar suara, kalau ada yang tidak terima pun, kenapa harus bapak yang tidak terima ini yang keluar? Harusnya saya yang keluar, toh orang bapak kan orang asli sini. Saya yang orang pendatang.” Akhirnya mereka pun menerima keputusan itu.
Sekarang ini pengajian bapak-bapak sekampung  yang belum genap setahun itu bahkan sudah memiliki peralatan yang bisa dipakai bersama dari hasil uang iuran per bulan, seperti pengeras suara, tikar, tenda dan sebagainya. Mesjid kami pun sudah terasa semakin sempit, maka tak berlebihanlah akhirnya masjid dilengkapi dengan kipas angin agar jamaah lebih nyaman saat shalat.
Pemandangan yang paling menyenangkan lagi, kalau dulu anak-anak usia SD itu menjelang maghrib masih berkeliaran dan belum mandi. Tapi sekarang di jam 6 sore sudah ganteng-ganteng dan cantik-cantik dan beramai-ramai ke mesjid untuk ikut jamaah shalat maghrib dan belajar mengaji al-Qur’an setelahnya.
Bahkan, di Ramadhan tahun ini ada kisah seorang tetangga yang sangat membuat banyak orang terharu. Pasalnya, ternyata bapak yang sudah dikaruniai 5 orang anak ini seumur hidupnya belum pernah berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Belum pernah secara rutin mengikuti ibadah shalat Tarawih selama sebulan penuh, dan belum pernah shalat wajibnya lengkap lima kali sehari. Dan tahun ini di usianya yang sudah memasuki kepala empat, untuk pertama kalinya semua itu terjadi.
Sebagian Jamaah shalat Idul Fitri yang secara kebetulan ikut shalat karena sedang pulang kampung menjadi terheran dengan apa yang terjadi, saat mendapati si Bapak menangis meraung sejadi-jadinya memeluk si Ustadz setelah shalat selesai. Aku termasuk yang sangat terharu, terlebih aku tahu jelas masa kelam bapak yang masih ada hubungan kerabat dengan kami itu.
Sebagai penduduk kampung yang hanya pulang pada saat liburan, aku yang juga punya keresahan dengan tetangga-tetangga sekitar yang dulu, tentunya merasa penasaran dengan si Ustadz. Akhirnya aku berkesempatan dua kali menjadi makmum shalat tawarih bersama beliau. Dan, alangkah terkejutnya aku saat tahu. Bahwa ternyata begitu banyak keterbatasan yang kudapati dari beliau. Termasuk caranya menyampaikan kajian yang masih biasa, terlebih bahasa Indonesianya yang bercampur dengan logat khas Mandailingnya.
Tapi justru di sini sisi kegantengan beliau menurutku. Kenapa? Karena jujur saja, aku yang berkesempatan menimba ilmu lebih tinggi dari beliau secara formal bisa jauh lebih baik menyampaikan kajian dari yang beliau sampaikan. Baik itu dari segi isi maupun bentuk penyampaian. Tapi rupanya itu adalah sisi sombongku, karena kenyataannya meski aku juga melakukan aktifitas mengisi pengajian di kota orang, aku tidak pernah bahkan enggan melakukannya di kampung tempat kelahiranku sendiri.
Justru, orang seperti dia, yang pada pertemuanku pertama dengannya cukup membuat terkejut, berhasil membalikkan hati warga kampung untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Mengajak warga melakukan aktifitas-aktifitas yang lebih bermanfaat, dan mempersiapkan generasi muda untuk tidak membuang waktunya dengan hal-hal yang tidak berguna.
Memasuki minggu terakhir aku berlibur, beliau menghadirkan kawannya mondok dulu  yang berkesempatan kuliah di Makkah selama beberapa tahun terakhir. Kegiatan terbaru yang kudengar ia mempeloporinya, karena aku sudah harus meninggalkan kampung, adalah torehan sejarah pertama untuk kampung kami dalam rangka kegiatan Perayaan Peringatan HUT RI ke-71.
Kegiatan 17-an seperti panjat pinang, makan kerupuk, tarik tambang dan sejenisnya mungkin kegiatan yang biasa dilakukan. Tapi di kampung kami, setidaknya seumur hidupku belum pernah melakukan kegiatan ini. Maka pada HUT RI ke-71 kali ini merupakan sejarah pertama untuk kampung kami. Terlebih dalam dokumentasinya kegiatan ini didukung oleh anggota IPK (Ikatan Pemuda Karya) dan salah seorang anggota DPRD. Bisa jadi ada kesan pencitraan, tapi untuk sejarah pertama, beliau adalah orang paling ganteng yang punya andil besar dalam menoreh sejarah ini.

Gambar 2. Remaja Mesjid Kampung Bawah berpose bersama Ustadz Arkan dan Seorang Anggota DPRD setelah acara Peringatan HUT RI ke-71
Berjarak puluhan kilometer dari kampung, aku selalu menunggu kabar kegiatan-kegiatan positif yang beliau buat untuk kampung kami. Karena sebagai penduduk asli yang pernah punya perasaan resah dengan kampung kami, tapi dengan sombongnya tak pernah berbuat apa-apa pun yang bermanfaat untuk perubahan yang lebih baik, tentulah aku sangat berterima kasih pada orang seperti beliau.
Beliau yang penyampaiannya pun masih sangat terbata-bata, tapi mampu menjadi perantara, pemersatu, dan pahlawan moral dan spiritual untuk kampung kami. Beliau yang dengan narsisnya mengaku paling ganteng sekampung, yang membuat pendengarnya lebih betah berada di kamar mandi seharian ketika mendengarnya, memang dengan berat hati harus diakui ganteng. Mungkin bukan ganteng secara fisik seperti gambaran sosok artis Korea versi anak alay, tapi ia ganteng dari sisi lainnya, sisi yang dengan keterbatasannya bisa mengajak orang yang tak terarah kembali ke jalan yang benar.

Jadi kesimpulannya, kalau beliau menjadi tetangga paling ganteng di kampung kami, ya memang seperti itu kenyataannya jika dilihat dari ujung sedotan, eh, dari kacamata kebaikan maksudnya. Karena laki-laki ganteng banyak, tapi yang bisa mengajak berbuat baik cuma dia. Kayak jargon iklan obat nyamuk, ya? Tapi tetap, walaupun ganteng beliau suami orang.

No comments:

Post a Comment