Monday, October 24, 2016

Ya Allah, aku iri...

Musa, Al-Hafidz.

Seorang anak luar biasa yang telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya di usianya yang ke-5 tahun lebih 8 bulan. Maka tak berlebihanlah jika ia memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Republik Indonesia) sebagai penghafal Al-Qur’an termuda di Indonesia. Selain menjadi Juara 1 dari
program “Hafidz Qur’an Indonesia”, yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV Swasta beliau juga telah mendapat nilai Mumtaz (cumlaude) dalam ajang perlombaan Hafal Qur’an tingkat anak-anak di Saudi Arabia, serta masuk dalam peringkat 16 besar yang seluruhnya diraih oleh anak-anak keturunan Arab. Selain itu, Musa juga telah meraih juara 3 dalam Hafidz Qur’an cilik tingkat dunia yang diadakan di Mesir, dengan rival anak-anak yang sudah terbiasa berbahasa Arab di kesehariannya.
            Siapa yang tak menangis haru saat melihat anak ini? Seorang anak yang masih berlarian ke sana ke mari saat dibiarkan, seorang anak yang dengan kejahilannya menikmati setiap tempat dan keadaan sebagai tempat bermain yang menggembirakan. Siapa yang tak ingin mencium tangan anak yang kelihatannya sama saja dengan anak lain ini, saat mendengarnya melantunkan kalam Ilahi secara muftih. Sebab meski hanya anak-anak, Rasulullah telah menjamin dalam sabdanya:
            “Yang terbaik diantara kamu adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Al-Hadits)
            Abu Musa, kapan pertama kali Musa diperkenalkan dengan Al-Qur’an?
            Begitulah pertanyaan pertama yang ditanyakan kepada ayahnya. “Ibunya sudah memperdengarkan Al-Qur’an sejak Musa masih di dalam kandungan.”
            Hohoho...
            Mendengar jawaban ini jangan coba-coba menyalahkan ibu kita, ya. Karena bukan salah ibu mengandung juga, jika sampai hari ini kita-kita yang sudah berusia lebih banyak dari jumlah jari masih punya hafalan surah-surah pendek saja. Bukankah Allah telah memberi manusia kebebasan untuk memilih jalan hidupnya dengan batasan, Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu mengubah keadaannya sendiri?
            “Saya memperdengarkan Al-Qur’an kepada Musa secara lisan. Bisa dengan bersenandung untuk memancing responnya. Saya juga mengajarkan adab-adab Al-Qur’an. Untuk adab-adab ibunya lebih banyak mengenalkan. Seperti pada saat Musa akan menyusu dibacakan bismillah, menjelang tidur dibacakan doa dan seterusnya.”
            Bagaimana dengan guru yang membimbing anak-anak untuk menghafal Al-Qur’an? Membimbing anak-anak untuk giat menghafal Al-Qur’an memang bukanlah tugas yang mudah. Seringkali kita temukan anak-anak menciptakan seribu tipu muslihat untuk mengecoh kita. Maka untuk keadaan ini Abu Musa berpendapat:
            “Membimbing anak atau menjadi guru anak yang akan menghafal Al-Qur’an itu modalnya adalah sabar dan terus menerus. Selain itu, tetap peran serta orang tua yang lebih besar dalam membimbing anak. Karena selayaknya waktu anak memang lebih banyak dihabiskan bersama orang tuanya. Saya pun seringkali mendapati Musa malas untuk diajarin. Jika hal demikian terjadi, saya marah juga. Biasanya jika marah saya masuk ke kamar dan murajaah hafalan saya sendiri. Itu ketika sudah sangat marah. Dalam membimbing anak untuk menghafal Al-Qur’an, kita diharuskan banyak bercerita dengan anak. Bercerita tentang kaum yang tidak taat kepada Allah misalnya seperti Fir’aun. Dengan begitu anak-anak akan merasa takut, tapi dibalik rasa takutnya itu ia bersemangat untuk terus menghafal. Temani anak-anak kita, tanamkan nilai-nilai ibadah dan akidah. Jika kesabaran terasa semakin menipis, hibur diri kita tentang kisah keutamaan Rasul Ulul Azmi, mereka semua lebih diutamakan karena kesabarannya selama berdakwah. Maka jika kita ingin menjadi orang yang diutamakan Allah, perkokoh kembali kesabaran kita.”
            Salah satu tipu muslihat anak malas ketika diajak menghafal bisa jadi adalah merajuk. Ketika ditanya bagaimana Abu Musa mengatasi Musa saat merajuk, beliau menjawab:
            “Sebenarnya anak merajuk itu karena ada alasannya. Bisa karena ngantuk, lapar dan seterusnya. Jadi solusi untuk mengatasi alasan-alasan ini adalah dengan memenuhi hak anak, seperti istirahat dan makannya. Jangan dibiarkan anak bermain sepuasnya, karena ini bisa membuatnya lalai. Kalau nantinya jadi ngambek, yah biarin aja sampai dia bosen. Menuruti semua kemauan anak bukan bentuk dari kasih sayang. Biarkan mereka belajar juga tentang makna sabar dan faedah aturan hidup yang Islami.”
            Sungguh luar biasa Abu Musa mempersiapkan Musa menjadi seorang Hafidz. Yang lagi-lagi bagi kita yang tidak berkesempatan lahir dan dididik oleh orang tua yang demikian merasa begitu iri. Terlebih sekarang ini kita dapati anak sudah banyak yang bergantung pada gadget, mungkin mereka adalah adik kita, keponakan kita, anak tetangga kita atau bahkan kita sendiri. Fenomena ini pasti membuat kita terheran-heran. Anak balita sudah bisa menemukan aplikasi permainan serta memainkannya, atau bahkan sudah ada yang bisa nonton video sendiri dari youtube. Hal seperti ini meski mengherankan tapi bukan lagi hal yang tabu, kita pun menganggap sah-sah saja ketika tahu ternyata orang tuanya memang sudah memperkenalkan tab, smartphone, komputer dan sejenisnya pada saat anak masih sangat-sangat kecil.
            Pertanyaannya, bisakah anak seperti ini diperkenalkan dengan Al-Qur’an?
            Meski rasa khawatir itu boleh ada, tapi kita harus ingat bahwa jaminan Al-Qur’an itu dimudahkan bagi orang yang berniat mempelajari dan menghafalkannya adalah dari Allah. Maka jangan putus asa. Demikian pula bagi yang merasa sudah terlambat untuk memulai menghafal. Atau merasa malu untuk memulai karena usia yang sudah tak lagi muda. Cukuplah hadits berikut menjadi motivator terbaik:
            “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajari, menghafalkan dan mengamalkannya kelak ia akan dipakaikan mahkota yang berkilauan dan orang tuanya akan dipakaikan pakaian kebesaran yang tidak ada tandingannya di dunia.” (Al-Hadits)
            Abu Musa berpesan terkait anak yang sudah terlanjur memiliki ketergantungan dengan gadget: “Orang tua harus yakin dulu bahwa walaupun menggunakan gadget itu boleh tapi bisa juga bahaya. Nah, bahaya inilah yang harus kita hindarkan dari anak. Langkah paling mudah untuk menjauhkan anak yang sudah terlanjur bergantung adalah dengan cara cerita. Banyak-banyaklah cerita sama anak, tapi ingat jangan cerita bohong. Ingat dulu, ketika orang tua banyak yang nakut-nakutin anaknya dengan polisi, akhirnya sampai besar anaknya takut pada polisi. Ini bentuk cerita yang membohongi anak. Sambil cerita, sambil dijelasin ke anak kita. Kalau anaknya bisa dilepas dengan cara paling cepat itu lebih baik, tapi jika tidak yah pelan-pelan. Sibukkan anak dengan hal-hal yang lebih positif, misalnya berikan PR, ajak bermain bola dan sebagainya yang membuat dia berlelah-lelah dalam hal positif sehingga tidak punya tenaga untuk berleha-leha dengan gadget. Ini tidak mudah tentunya, kita butuh kesabaran dan kesungguhan untuk mengalihkan perhatian si anak.”
            Seperti kebanyakan anak, ketika dibiarkan Musa pun bisa berubah menjadi anak ajaib yang tak punya rasa lelah berlari ke sana ke mari saat dibiarkan. Bahkan, di sela-sela diskusi beliau membentuk kedua tangannya menjadi tembak-tembakan, lalu membidik setiap orang yang ada di depannya sambil menirukan suara ledakan dari mulutnya. Ketika mic mengalami gangguan ia pun merasa mendapat mainan baru dengan ikut-ikutan mengetes mic agar kembali normal. Melihat kenyataan itu pastilah akan timbul pertanyaan dibenak kita, bagaimana Abu Musa mengontrol Musa agar tetap menjadi bocah generasi Qur’ani?
            “Jika di rumah saya menjadi teman Musa, saya suka bercerita dengan Musa. Jika di luar rumah, saya begitu memperhatikan interaksi dan lingkungan. Saya suka membawa Musa ke tempat ta’lim. Saya suka cerita ke Musa tentang hal-hal yang boleh dan tak boleh dilakukan. Yang harus dijaga adalah jangan membohongi anak dalam bercerita. Antarkan anak kita ke komunitas yang baik, karena Rasulullah bersabda: seseorang dinilai dari siapa temannya.
            Kalimat-kalimat toyyibah terus mengalir dari setiap lisan ketika mendengar bagaimana jerih payah Abu Musa menempah Musa hingga seperti sekarang. Wajar saja, sebab Musa sudah dipersiapkan sejak dalam kandungan, dibimbing sejak anak-anak lain masih belajar merangkak, duduk atau berdiri. Bukan hanya itu, Abu Musa ternyata juga sangat memperhatikan lingkungan dan interaksi Musa saat di dalam terlebih di luar rumah.
            Selanjutnya timbul pertanyaan baru, “Abu Musa, anak-anak itu terlahir dengan IQ dan tipikal yang berbeda-beda?”
            Maka laki-laki bersahaja itu bertutur, “tentulah berbeda cara mendidik anak yang satu dengan yang lain. Perempuan dan laki-laki misalnya. Tapi saya percaya setiap anak itu pintar, hanya saja tipikal anak pintar ini ada dua macam. Pertama pintar karena tabiat, yang kedua pintar karena hasil usaha. Rata-rata anak ada di kelompok kedua, termasuk Musa. Mulanya mengajarkan Musa ini susah luar biasa. Saya mulai dengan gerakan bibir untuk memancing responnya. Cara yang paling efektif untuk menghasilkan anak pintar karena usaha ini adalah dengan mengenali tipikal anak, apakah ia anak visual, audio atau kinetik. Namun, ada baiknya kita menggunakan ketika tipikal ini untuk menciptakan kepintaran majemuk anak. Untuk Musa, saya mulai dengan gerakan bibir yang kemudian ia tirukan. Pernah saya gunakan media dinding untuk memperkenalkan Musa dengan huruf yang sulit untuk ia bedakan, kemudian dengan gerakan juga.”
            Sangat boleh jika ingin bertasbih, iri terhadap perjuangan Abu Musa juga boleh sebab beliau sudah termasuk orang yang dimaksudkan Rasulullah boleh kita merasa iri padanya. Yang tidak boleh adalah terbersit di fikiran kita pengakuan wajar sebab Musa terlahir di lingkungan keluarga yang demikian sedang kita sangat jauh dari keadaan seperi itu. Ketahuilah ketika fikiran seperti itu terlintas, itu adalah bisikan setan akibat kemalasan kita, padahal seperti penuturan Abu Musa tidak ada anak yang terlahir dalam keadaan benar-benar bodoh, semuanya bisa diupayakan menjadi pintar, tergantung kesungguhan dan kesabaran kita.
            Kalau kita sempat terheran-heran dengan anak generasi gadget di usia balita, maka kita harus lebih terheran-heran lagi mendengar pengakuan Abu Musa bahwa Musa telah bisa membaca latin dan Al-Qur’an di usianya yang keempat tahun. Musa mulai diperdengarkan Al-Qur’an sejak usia dua tahun dan menyelesaikannya di usia lima tahun lebih satu bulan. Musa terbiasa memurajaah 3 juz hafalannya sejak ba’da shubuh hingga jam 9 pagi. Sembari itu adik perempuannya belajar. Jadi bukan hanya Musa yang sudah baca latin Al-Qur’an di usia empat tahun, tapi adiknya juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya.
            Kita mungkin sering mendapati buku-buku yang mengajarkan metode-metode untuk menghafal Al-Qur’an. Maka ketika ditanya metode apa yang digunakan Abu Musa dalam mengajarkan Al-Qur’an pada putra sulungnya itu, ia pun berbagi cerita:
            “Sedikit tapi rutin. Sebelum subuh kami muraja’ah. Ba’da subuh Musa menambah hafalan baru dan disetor jam sembilan. Setelah setoran, muraja’ah lagi sampai jam sebelas. Jam sebelas Musa tidur sampai zuhur. Ba’da zuhur kembali muraja’ah, dan ba’da asar tambah hafalan baru sekaligus merangkum hafalan selama satu hari. Metode ini terus saya lakukan saat hafalan Musa belum sampai tiga juz. Ketika sudah lebih dari tiga juz, saya sisihkan satu hari tanpa hafalan baru untuk muraja’ah.”
            Wow, subhanallah sekali ya Abu Musa ini. Sebenarnya kita yang belum hafal Al-Qur’an 30 juz dan punya niat untuk menghafalkannya, modal yang perlu kita miliki adalah komitmen dan target selesai. Silahkan jika target itu setelah 30 tahun hafidz, 20 tahun, 10 tahun, 5 tahun dan seterusnya. Yang penting komitmen dan ingat jaminan dari Allah untuk dimudahkan.
            Nah, jika kita selidik cerita Abu Musa tadi, akan timbul satu pertanyaan lagi yang paling membuat penasaran. Kapan Abu Musa bekerja untuk menafkahi keluarganya?
            “Pertama kita harus percaya pada jaminan rezeki dari Allah. Dulu sebelum Musa lahir saya punya kedai yang tidak ramai dan penghasilannya tidak banyak. Karena tidak ramai saya memutuskan untuk bekerja di bawah pohon karet. Mencari getah karet ini pekerjaan yang tidak boleh kesiangan, jika matahari sudah tinggi maka getah karet sudah kering. Maka waktu yang tepat untuk mencari getah karet adalah sehabis subuh. Tapi saya melihat, Musa lebih cepat menghafal sehabis subuh. Dia bisa menambah hafalan sampai tiga perempat halaman. Dari situ saya putuskan untuk berhenti mencari getah karet. Saya jualan. Saya jualan hanya dari jam sebelas sampai zuhur, waktu saat Musa sedang tidur.”
            Luar biasa sekali, ya?
            Sangat-sangat wajar sekali. Iri sekali rasanya. Kenapa bukan kita yang terlahir sebagai anak dari Abu dan Ummi-nya Musa. Tapi lagi-lagi jangan salahkan takdir ketika Allah tidak menitipkan kita pada orang tua yang demikian. Jangan salahkan orang tua kita ketika dulu tidak mempersiapkan kita sebagaimana Orang tua Musa mempersiapkannya. Tapi lihatlah diri sendiri, ketika rasa iri itu tidak menjalar dan menyetrum setiap syaraf kita untuk terus berbenah. Lihatlah diri kita ketika bertemu dengan orang seperti ini tidak menggugah niat dan motivasi untuk menjadi Ahli-nya Allah di kehidupan yang kemudian.

            Tulisan ini dibuat berdasarkan penuturan langsung dari Abu Musa saat liputan bersama Rasyaad TV di Mesjid Aljihad, Medan pada 10 Oktober 2016.

No comments:

Post a Comment