Seorang anak
luar biasa yang telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya di usianya yang ke-5
tahun lebih 8 bulan. Maka tak berlebihanlah jika ia memecahkan rekor MURI
(Museum Rekor Republik Indonesia) sebagai penghafal Al-Qur’an termuda di Indonesia.
Selain menjadi Juara 1 dari
program “Hafidz Qur’an Indonesia”, yang ditayangkan
oleh salah satu stasiun TV Swasta beliau juga telah mendapat nilai Mumtaz (cumlaude) dalam ajang perlombaan Hafal
Qur’an tingkat anak-anak di Saudi Arabia, serta masuk dalam peringkat 16 besar
yang seluruhnya diraih oleh anak-anak keturunan Arab. Selain itu, Musa juga
telah meraih juara 3 dalam Hafidz Qur’an cilik tingkat dunia yang diadakan di
Mesir, dengan rival anak-anak yang sudah terbiasa berbahasa Arab di kesehariannya.
Siapa yang tak menangis haru saat melihat anak ini?
Seorang anak yang masih berlarian ke sana ke mari saat dibiarkan, seorang anak
yang dengan kejahilannya menikmati setiap tempat dan keadaan sebagai tempat
bermain yang menggembirakan. Siapa yang tak ingin mencium tangan anak yang
kelihatannya sama saja dengan anak lain ini, saat mendengarnya melantunkan
kalam Ilahi secara muftih. Sebab meski hanya anak-anak, Rasulullah telah
menjamin dalam sabdanya:
“Yang terbaik diantara kamu adalah yang mempelajari
Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Al-Hadits)
Abu Musa, kapan pertama kali Musa diperkenalkan dengan
Al-Qur’an?
Begitulah pertanyaan pertama yang ditanyakan kepada
ayahnya. “Ibunya sudah memperdengarkan Al-Qur’an sejak Musa masih di dalam
kandungan.”
Hohoho...
Mendengar jawaban ini jangan coba-coba menyalahkan ibu
kita, ya. Karena bukan salah ibu mengandung juga, jika sampai hari ini
kita-kita yang sudah berusia lebih banyak dari jumlah jari masih punya hafalan
surah-surah pendek saja. Bukankah Allah telah memberi manusia kebebasan untuk
memilih jalan hidupnya dengan batasan, Dia tidak akan mengubah keadaan suatu
kaum sampai kaum itu mengubah keadaannya sendiri?
“Saya memperdengarkan Al-Qur’an kepada Musa secara lisan.
Bisa dengan bersenandung untuk memancing responnya. Saya juga mengajarkan
adab-adab Al-Qur’an. Untuk adab-adab ibunya lebih banyak mengenalkan. Seperti
pada saat Musa akan menyusu dibacakan bismillah, menjelang tidur dibacakan doa
dan seterusnya.”
Bagaimana dengan guru yang membimbing anak-anak untuk
menghafal Al-Qur’an? Membimbing anak-anak untuk giat menghafal Al-Qur’an memang
bukanlah tugas yang mudah. Seringkali kita temukan anak-anak menciptakan seribu
tipu muslihat untuk mengecoh kita. Maka untuk keadaan ini Abu Musa berpendapat:
“Membimbing anak atau menjadi guru anak yang akan
menghafal Al-Qur’an itu modalnya adalah sabar dan terus menerus. Selain itu,
tetap peran serta orang tua yang lebih besar dalam membimbing anak. Karena
selayaknya waktu anak memang lebih banyak dihabiskan bersama orang tuanya. Saya
pun seringkali mendapati Musa malas untuk diajarin. Jika hal demikian terjadi,
saya marah juga. Biasanya jika marah saya masuk ke kamar dan murajaah hafalan
saya sendiri. Itu ketika sudah sangat marah. Dalam membimbing anak untuk
menghafal Al-Qur’an, kita diharuskan banyak bercerita dengan anak. Bercerita
tentang kaum yang tidak taat kepada Allah misalnya seperti Fir’aun. Dengan
begitu anak-anak akan merasa takut, tapi dibalik rasa takutnya itu ia
bersemangat untuk terus menghafal. Temani anak-anak kita, tanamkan nilai-nilai
ibadah dan akidah. Jika kesabaran terasa semakin menipis, hibur diri kita
tentang kisah keutamaan Rasul Ulul Azmi, mereka semua lebih diutamakan karena
kesabarannya selama berdakwah. Maka jika kita ingin menjadi orang yang
diutamakan Allah, perkokoh kembali kesabaran kita.”
Salah satu tipu muslihat anak malas ketika diajak
menghafal bisa jadi adalah merajuk. Ketika ditanya bagaimana Abu Musa mengatasi
Musa saat merajuk, beliau menjawab:
“Sebenarnya anak merajuk itu karena ada alasannya. Bisa
karena ngantuk, lapar dan seterusnya. Jadi solusi untuk mengatasi alasan-alasan
ini adalah dengan memenuhi hak anak, seperti istirahat dan makannya. Jangan
dibiarkan anak bermain sepuasnya, karena ini bisa membuatnya lalai. Kalau
nantinya jadi ngambek, yah biarin aja
sampai dia bosen. Menuruti semua
kemauan anak bukan bentuk dari kasih sayang. Biarkan mereka belajar juga
tentang makna sabar dan faedah aturan hidup yang Islami.”
Sungguh luar biasa Abu Musa mempersiapkan Musa menjadi
seorang Hafidz. Yang lagi-lagi bagi kita yang tidak berkesempatan lahir dan
dididik oleh orang tua yang demikian merasa begitu iri. Terlebih sekarang ini
kita dapati anak sudah banyak yang bergantung pada gadget, mungkin mereka
adalah adik kita, keponakan kita, anak tetangga kita atau bahkan kita sendiri.
Fenomena ini pasti membuat kita terheran-heran. Anak balita sudah bisa
menemukan aplikasi permainan serta memainkannya, atau bahkan sudah ada yang
bisa nonton video sendiri dari youtube. Hal seperti ini meski mengherankan tapi
bukan lagi hal yang tabu, kita pun menganggap sah-sah saja ketika tahu ternyata
orang tuanya memang sudah memperkenalkan tab, smartphone, komputer dan
sejenisnya pada saat anak masih sangat-sangat kecil.
Pertanyaannya, bisakah anak seperti ini diperkenalkan
dengan Al-Qur’an?
Meski rasa khawatir itu boleh ada, tapi kita harus ingat
bahwa jaminan Al-Qur’an itu dimudahkan bagi orang yang berniat mempelajari dan
menghafalkannya adalah dari Allah. Maka jangan putus asa. Demikian pula bagi
yang merasa sudah terlambat untuk memulai menghafal. Atau merasa malu untuk
memulai karena usia yang sudah tak lagi muda. Cukuplah hadits berikut menjadi
motivator terbaik:
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajari,
menghafalkan dan mengamalkannya kelak ia akan dipakaikan mahkota yang
berkilauan dan orang tuanya akan dipakaikan pakaian kebesaran yang tidak ada
tandingannya di dunia.” (Al-Hadits)
Abu Musa berpesan terkait anak yang sudah terlanjur
memiliki ketergantungan dengan gadget: “Orang tua harus yakin dulu bahwa
walaupun menggunakan gadget itu boleh tapi bisa juga bahaya. Nah, bahaya inilah
yang harus kita hindarkan dari anak. Langkah paling mudah untuk menjauhkan anak
yang sudah terlanjur bergantung adalah dengan cara cerita. Banyak-banyaklah
cerita sama anak, tapi ingat jangan cerita bohong. Ingat dulu, ketika orang tua
banyak yang nakut-nakutin anaknya dengan polisi, akhirnya sampai besar anaknya
takut pada polisi. Ini bentuk cerita yang membohongi anak. Sambil cerita,
sambil dijelasin ke anak kita. Kalau anaknya bisa dilepas dengan cara paling
cepat itu lebih baik, tapi jika tidak yah pelan-pelan. Sibukkan anak dengan
hal-hal yang lebih positif, misalnya berikan PR, ajak bermain bola dan
sebagainya yang membuat dia berlelah-lelah dalam hal positif sehingga tidak
punya tenaga untuk berleha-leha dengan gadget. Ini tidak mudah tentunya, kita
butuh kesabaran dan kesungguhan untuk mengalihkan perhatian si anak.”
Seperti kebanyakan anak, ketika dibiarkan Musa pun bisa
berubah menjadi anak ajaib yang tak punya rasa lelah berlari ke sana ke mari
saat dibiarkan. Bahkan, di sela-sela diskusi beliau membentuk kedua tangannya
menjadi tembak-tembakan, lalu membidik setiap orang yang ada di depannya sambil
menirukan suara ledakan dari mulutnya. Ketika mic mengalami gangguan ia pun merasa mendapat mainan baru dengan
ikut-ikutan mengetes mic agar kembali
normal. Melihat kenyataan itu pastilah akan timbul pertanyaan dibenak kita,
bagaimana Abu Musa mengontrol Musa agar tetap menjadi bocah generasi Qur’ani?
“Jika di rumah saya menjadi teman Musa, saya suka
bercerita dengan Musa. Jika di luar rumah, saya begitu memperhatikan interaksi
dan lingkungan. Saya suka membawa Musa ke tempat ta’lim. Saya suka cerita ke Musa tentang hal-hal yang boleh dan tak
boleh dilakukan. Yang harus dijaga adalah jangan membohongi anak dalam
bercerita. Antarkan anak kita ke komunitas yang baik, karena Rasulullah
bersabda: seseorang dinilai dari siapa temannya.”
Kalimat-kalimat toyyibah
terus mengalir dari setiap lisan ketika mendengar bagaimana jerih payah Abu
Musa menempah Musa hingga seperti sekarang. Wajar saja, sebab Musa sudah
dipersiapkan sejak dalam kandungan, dibimbing sejak anak-anak lain masih
belajar merangkak, duduk atau berdiri. Bukan hanya itu, Abu Musa ternyata juga
sangat memperhatikan lingkungan dan interaksi Musa saat di dalam terlebih di
luar rumah.
Selanjutnya timbul pertanyaan baru, “Abu Musa, anak-anak
itu terlahir dengan IQ dan tipikal yang berbeda-beda?”
Maka laki-laki bersahaja itu bertutur, “tentulah berbeda
cara mendidik anak yang satu dengan yang lain. Perempuan dan laki-laki
misalnya. Tapi saya percaya setiap anak itu pintar, hanya saja tipikal anak
pintar ini ada dua macam. Pertama pintar karena tabiat, yang kedua pintar
karena hasil usaha. Rata-rata anak ada di kelompok kedua, termasuk Musa.
Mulanya mengajarkan Musa ini susah luar biasa. Saya mulai dengan gerakan bibir
untuk memancing responnya. Cara yang paling efektif untuk menghasilkan anak
pintar karena usaha ini adalah dengan mengenali tipikal anak, apakah ia anak
visual, audio atau kinetik. Namun, ada baiknya kita menggunakan ketika tipikal
ini untuk menciptakan kepintaran majemuk anak. Untuk Musa, saya mulai dengan gerakan
bibir yang kemudian ia tirukan. Pernah saya gunakan media dinding untuk
memperkenalkan Musa dengan huruf yang sulit untuk ia bedakan, kemudian dengan
gerakan juga.”
Sangat boleh jika ingin bertasbih, iri terhadap
perjuangan Abu Musa juga boleh sebab beliau sudah termasuk orang yang dimaksudkan
Rasulullah boleh kita merasa iri padanya. Yang tidak boleh adalah terbersit di fikiran
kita pengakuan wajar sebab Musa terlahir di lingkungan keluarga yang demikian
sedang kita sangat jauh dari keadaan seperi itu. Ketahuilah ketika fikiran
seperti itu terlintas, itu adalah bisikan setan akibat kemalasan kita, padahal
seperti penuturan Abu Musa tidak ada anak yang terlahir dalam keadaan
benar-benar bodoh, semuanya bisa diupayakan menjadi pintar, tergantung
kesungguhan dan kesabaran kita.
Kalau kita sempat terheran-heran dengan anak generasi
gadget di usia balita, maka kita harus lebih terheran-heran lagi mendengar
pengakuan Abu Musa bahwa Musa telah bisa membaca latin dan Al-Qur’an di usianya
yang keempat tahun. Musa mulai diperdengarkan Al-Qur’an sejak usia dua tahun
dan menyelesaikannya di usia lima tahun lebih satu bulan. Musa terbiasa
memurajaah 3 juz hafalannya sejak ba’da shubuh hingga jam 9 pagi. Sembari itu
adik perempuannya belajar. Jadi bukan hanya Musa yang sudah baca latin
Al-Qur’an di usia empat tahun, tapi adiknya juga dengan bimbingan langsung dari
ayahnya.
Kita mungkin sering mendapati buku-buku yang mengajarkan
metode-metode untuk menghafal Al-Qur’an. Maka ketika ditanya metode apa yang
digunakan Abu Musa dalam mengajarkan Al-Qur’an pada putra sulungnya itu, ia pun
berbagi cerita:
“Sedikit tapi rutin. Sebelum subuh kami muraja’ah. Ba’da
subuh Musa menambah hafalan baru dan disetor jam sembilan. Setelah setoran,
muraja’ah lagi sampai jam sebelas. Jam sebelas Musa tidur sampai zuhur. Ba’da
zuhur kembali muraja’ah, dan ba’da asar tambah hafalan baru sekaligus merangkum
hafalan selama satu hari. Metode ini terus saya lakukan saat hafalan Musa belum
sampai tiga juz. Ketika sudah lebih dari tiga juz, saya sisihkan satu hari
tanpa hafalan baru untuk muraja’ah.”
Wow, subhanallah sekali ya Abu Musa ini. Sebenarnya kita
yang belum hafal Al-Qur’an 30 juz dan punya niat untuk menghafalkannya, modal
yang perlu kita miliki adalah komitmen dan target selesai. Silahkan jika target
itu setelah 30 tahun hafidz, 20 tahun, 10 tahun, 5 tahun dan seterusnya. Yang
penting komitmen dan ingat jaminan dari Allah untuk dimudahkan.
Nah, jika kita selidik cerita Abu Musa tadi, akan timbul
satu pertanyaan lagi yang paling membuat penasaran. Kapan Abu Musa bekerja
untuk menafkahi keluarganya?
“Pertama kita harus percaya pada jaminan rezeki dari Allah.
Dulu sebelum Musa lahir saya punya kedai yang tidak ramai dan penghasilannya
tidak banyak. Karena tidak ramai saya memutuskan untuk bekerja di bawah pohon
karet. Mencari getah karet ini pekerjaan yang tidak boleh kesiangan, jika
matahari sudah tinggi maka getah karet sudah kering. Maka waktu yang tepat
untuk mencari getah karet adalah sehabis subuh. Tapi saya melihat, Musa lebih
cepat menghafal sehabis subuh. Dia bisa menambah hafalan sampai tiga perempat
halaman. Dari situ saya putuskan untuk berhenti mencari getah karet. Saya
jualan. Saya jualan hanya dari jam sebelas sampai zuhur, waktu saat Musa sedang
tidur.”
Luar biasa sekali, ya?
Sangat-sangat wajar sekali. Iri sekali rasanya. Kenapa
bukan kita yang terlahir sebagai anak dari Abu dan Ummi-nya Musa. Tapi
lagi-lagi jangan salahkan takdir ketika Allah tidak menitipkan kita pada orang
tua yang demikian. Jangan salahkan orang tua kita ketika dulu tidak
mempersiapkan kita sebagaimana Orang tua Musa mempersiapkannya. Tapi lihatlah
diri sendiri, ketika rasa iri itu tidak menjalar dan menyetrum setiap syaraf
kita untuk terus berbenah. Lihatlah diri kita ketika bertemu dengan orang
seperti ini tidak menggugah niat dan motivasi untuk menjadi Ahli-nya Allah di
kehidupan yang kemudian.
Tulisan ini dibuat berdasarkan penuturan langsung dari
Abu Musa saat liputan bersama Rasyaad TV di Mesjid Aljihad, Medan pada 10
Oktober 2016.
No comments:
Post a Comment