Monday, November 2, 2015

Dan Dukun itu Menenangkanku

Hari ini ulang tahunku yang ke-22.
Sebagaimana kebanyakan orang, aku merasa bahagia. Terlebih aku memiliki banyak sahabat yang berlomba-lomba memberi selamat dan kado terbaiknya untukku. Termasuk Riyan, laki-laki yang ku tahu mati-matian berusaha untuk menaklukan hatiku.
            Sebuah i-phone yang kuidamkan seharga di atas 5 juta itu kini syah menjadi milikku. Mati-matian aku bekerja dan menyisihkan gajiku untuk memiliki i-phone itu, tapi hari ini aku bisa memilikinya dengan cuma-cuma. Entah bagaimana aku harus mengucap terima kasih pada pemuda keturunan Tionghoa itu. Akhirnya kuputuskan untuk menerimanya menjadi pacarku.
            Hari ketiga setelah ulang tahunku, aku memenuhi ajakan Riyan jalan-jalan ke Berastagi. Dengan berat hati kutinggalkan adikku di kamar kosku. Andini, baru datang dari kampung untuk melihat calon kampus barunya. Sebagai bujukan, kutinggalkan i-phone baruku menemaninya selama di kos. Ani yang menjadi kawan sekamarku baru pulang sore nanti, aku tidak tega meninggalkannya terlalu kesepian.
            Keesokan pagi aku kembali. Kudapati Andini menangis penuh iba. Dengan takut-takut, di dalam dekapanku ia berucap bahwa i-phone itu hilang. Aku yang mulanya tegar, menjadi berang. Kulayangkan sebuah tamparan ke pipi Andini, sumpah serapah mengalir dari bibirku. Dia mengiba kepadaku, mencoba meyakinkanku bahwa ia telah menjaganya dengan baik.
            Mendengar kegaduhan kami di kamar, ibu kos datang. Aku enggan menatapnya. Dihatiku terselip kebencian, seakan ini juga bagian dari kesalahannya karena sudah menyewakan kos-kosan yang tidak aman. Bukan sekali dua kali aku kehilangan barang. Tapi entah kenapa, kuikuti sarannya. “Dina, coba kamu temui dukun yang kemaren. Ada yang tidak wajar dengan hilangnya barang-barangmu.”
            Persis seperti yang diduga oleh siibu kos. Si dukun itu mengatakan ciri-ciri pencuri yang sama persis. Ani. Bagaimana mungkin ? beberapa kali aku kehilangan barang berharga, dan sebanyak itulah aku mendatangi dukun ini. Dan setiap kali itu pula ku dapati ia menuturkan ciri-ciri yang sama. Ah, haruskah aku menghukumnya. Meski ini sebuah pengkhiatan atas kepercayaanku kepadanya, tapi tidak seharusnya aku menghukumnya.
            Ini adalah ceritaku. Yang senantiasa mendapat ketenangan dari petunjuk dukun. Bagiku dukun itu selalu bisa membuatku tenang, meski aku menjadi korban pengkhiatan sahabatku sendiri.


Kepada pembaca budiman…

Ini adalah sebuah kisah nyata yang yang pernah terjadi dekat dengan  penulis. Semoga usaha saya untuk memberi kesan fiktif dalam cerita ini tidak terlalu buruk demi menjaga kehormatan para tokoh. Saya hanya ingin mengabarkan fenomena kecil dari sekian banyak penyimpangan di negeri berpenduduk Muslim terbanyak ini. Bagaimana si tokoh aku dalam cerita, selalu mendapat ketenangan dari petunjuk dukun. Terlepas dari kesetiaannya pada sahabatnya yang dicirikan sebagai pelaku kejahatan.            
Bisa jadi era telah berkembang, masa modern telah berlalu dan perusak akidah berserakan dimana-dimana. Liberarisme dengan pemikirannya, syiah dengan fitnahnya serta pelaku makar kejahatan lainnya. Tanpa kita sadari kebodohan kitalah yang menyebabkan para pembuat makar kejahatan ini terus berkembang. Sebab gerakan mereka telah didukung oleh umat yang tidak kokoh akidahnya. Semoga keampunan itu masih terbuka untuk kita dan Allah kuatkan pundak mereka para pejuang agama Allah. Aamiin.

No comments:

Post a Comment