Sunday, March 19, 2017

Kesempatan

Kenapa Kita Harus Mengambil Kesempatan Pertama?

Terkadang, keinginan yang diutarakan ke orang lain akan mempercepat proses pencapaiannya. Mungkin pernyataan ini sesuai dengan teori Kimia, menggunakan katalis untuk mempercepat terjadinya suatu reaksi. Dan, untuk membuktikan teori ini, tak perlu ditunjukkan contoh, tapi praktikkan dan buktikan sendiri.

            Aku teringat sebuah moment yang kualami pada Oktober 2010 silam. Itu kali pertama aku menginjakkan kaki di tanah Sibolangit, yang kemudian sampai awal tahun setelahnya aku hampir setiap bulan mengunjungi tempat itu. Ketika itu aku sedang mengikuti acara pengkaderan salah satu partai Mahasiswa di kampus. Singkat cerita, ada satu pertanyaan yang masih terngiang di telingaku, pertanyaan yang diajukan oleh salah satu instruktur acara kepada kami para peserta. Pertanyaannya, “Apa yang kalian fikirkan pertama kali tentang POLITIK?”
            Bahkan, sebelum dipersilahkan pun, ketika itu aku spontan menjawab dengan satu kata: “KOTOR”. Yah, itulah jawabanku ketika itu, bahwa politik adalah sesuatu yang kotor. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyaknya pelajaran yang kudapat, akhirnya aku dapat memandang politik sebagai sesuatu yang bisa membangkitkan jiwaku yang sewaktu-waktu dapat tertidur. Walaupun, aku masih tetap akan mengatakan politik itu sesuatu yang kotor, sehingga perlu relawan-relawan untuk membersihkannya.
            Aku memang belum pernah berorasi di depan publik, belum pernah menghasilkan karya tulis khusus mengenai pandanganku tentang politik, tapi aku sadar bahwa politik adalah bagian dari usaha menyempurnakan keimananku sebagai umat yang berpegang teguh pada tali agama Allah. Bagaimanapun, perusak citra baik politik adalah pelaku-pelaku politik tersebut. Itulah kenapa akhirnya aku sepakat, bahwa orang-orang baik harus menempati posisi-posisi penting dalam dunia perpolitikan guna membersihkan citra politik.
            Di tulisanku sebelumnya, KLIK, dapat dilihat bahwa ada kekecewaan besar yang kualami pada moment itu. Tentang tidak adanya kesempatan bagi audiens untuk bertanya. Maka pagi itu, sabtu 18 Maret 2017, ketika pertama kali membuka mata, yang ada difikiranku adalah aku akan meneruskan pertanyaan itu kepada pemateri seminar hari ini, khususnya Prof. Bismar Nasution (silsilah kita ketemu dimana ya, Prof? Ayahku yang lahir dua tahun sebelum Prof adalah Nasution, itu artinya aku boru Nasution, Udak...)
            Seminar Hukum Nasional yang diadakan atas kerja keras dari kawan-kawan dari BTM Aladdinsyah Fakultas Hukum USU ini layaknya mendapat empat jempol. Aku terbilang santai ketika sampai dilokasi satu jam dari waktu yang diinfokan panitia, dengan kondisi belum mengantongi tiket masuk. Ketika itu, yang ada difikiranku adalah pasti tiketnya sisa banyak.
            Dan, dengan modal relasi, akhirnya aku masuk dengan tiket yang tak ku tahu wujudnya seperti apa, kontribusi registrasi yang dapat harga mahasiswa, seminar kit menyusul setelah pemateri pertama hampir selesai menyampaikan makalahnya, dan sertifikat yang tak tahu apakah akan sampai ke tanganku nantinya... Gelanggang Mahasiswa USU 90 persen penuh oleh peserta. Aku yakin, jika seluruh panitia acara ikut duduk di kursi peserta, sembilan per sepuluh dari panitia akan tetap berdiri karena bangku yang tersisa tak bisa menampung semua panitia.
            Singkat cerita, tibalah sesi yang kutunggu sejak mata terbuka. Pemandu seminar mengatakan, bahwa akan dibuat dua sesi tanya jawab. Awalnya aku sudah tidak percaya, namun aku terpaksa meyakininya setelah kulirik angka penunjuk jam di HP-ku. Kepercayaanku goyah ketika di sesi pertama itu terpilih lima bahkan enam penanya, tapi aku memperkuat keyakinanku bahwa akan ada sesi kedua.
            Keyakinanku menguat? Iya. Sebab dua pemateri seminar menjawab 7 pertanyaan dari 6 penanya dengan jawaban yang singkat dan cukup jelas. Kupikir, itu karena pertanyaan mereka memang terlalu teoritis untuk orang awam seperti aku. Tapi kemudian, rasa sesal itu pun berpihak kepadaku saat akhirnya bapak Pemandu seminar meminta maaf karena harus meralat sesi kedua.
            Ah, Prof Bismar, salahkah aku jika aku hanya ingin tahu apa pandangan profesor tentang eksistensi KPK di negara kita? Aku hanya ingin menemukan jawaban dari orang yang lebih faham untuk mencintai instansi negara yang diagung-agungkan sebagian besar rakyat Indonesia untuk memberantas kejahatan menakutkan di Indonesia tercinta ini. Sebab, sejak pertama kali aku mengenal instansi tersebut, aku adalah orang yang paling merasa konyol dan bertanya-tanya kenapa negara ini mengeluarkan banyak anggaran untuk itu.
            Ah, Pak Sazali, salahkah jika aku juga jadi ingin tahu alasan paling mendasar yang menyebabkan Mahkamah Agung bekerjasama dengan KPK dalam hal pemberantasan korupsi?  Bukankah bisa jadi DPR yang seyogyanya adalah perwakilan dari suara rakyat, penguasa terbesar dalam negara demokrasi, benar terkait undang-undang yang disebut-sebut melemahkan KPK? Bukankah bisa jadi alasan terwujudnya undang-undang itu bukan melindungi anggota dewan yang menjadi pelaku kejahatan keji itu, tapi untuk membatasi gerak KPK yang eksistensinya terkesan begitu mencampuri bahkan sampai ke kehidupan paling pribadi para pejabat? Jika kita bicara HAM, bukankah itu pelanggaran?
            Tampaknya aku juga harus bertanya pada Pak Mahmud selaku pemandu, terkait pernyataan bapak tentang “Kemiskinan tidak bisa diberantas, tapi bisa dientaskan, tinggal standarisasinya saja.” Lalu, tak bisakah pernyataan ini menjadi: “Korupsi tidak bisa diberantas, tapi dientaskan, tinggal standarisasinya saja”?
            Kesempatan kedua. Kenapa harus ada kesempatan kedua bila kita berpeluang di kesempatan pertama? Kenapa harus menjadi yang kedua bila yang diingat adalah mereka yang menjadi yang pertama? Aku boleh terhibur oleh aksi solo setelah pemateri seminar meninggalkan ruangan. Tapi tetap saja aku terluka saat tiga penanya akhirnya mendapat bingkisan, sedang aku harus pulang membawa pertanyaan yang masih mengganjal.
            Ah, memang benar penyesalan selalu datang di akhir. Bukankah benar juga bila “menunggu itu pekerjaan yang paling melelahkan?”
            Jawaban dari pertanyaan itulah sebenarnya alasan kuat untuk selalu mengambil kesempatan pertama. Mencoba lalu gagal itu biasa, tapi gagal mencoba itu menyedihkan. Sedang mendapat kesempatan kedua itu hadiah yang hanya bisa didapat oleh mereka yang beruntung saja. Ingat, siapapun selalu mengingat yang pertama bukan?
            Siapa wakil presiden pertama Indonesia? kemudian sebutkan wakil presiden seterusnya. Adakah yang menjawabnya secepat menjawab “Mohammad Hatta” pada pertanyaan sebelumnya? Manusia yang sampai ke bulan pertama? Lalu adakah yang mengingat siapa-siapa yang selanjutnya sampai ke bulan setelah Niels Amstrongs?

            Bahkan saking hebatnya si PERTAMA ini, sampai-sampai di suku batak orang tua akan dinamai dengan nama anak pertamanya, bahkan dibuatkan lagu, “BORU PANGGOARAN” yang sudah menjadi lagu wajib daerah di sumatera utara. Lalu, masih mau menunggu kesempatan kedua bila masih berpeluang di kesempatan pertama? Apapun jawabannya, mari sama-sama  sejenak kita menyanyikan lagu itu. Bukan. Menyanyilah di tempat paling nyaman yang kalian punya. (siapa tahu kesempatan kedua itu masih ada)

No comments:

Post a Comment