Kenapa Kita Harus Mengambil Kesempatan Pertama?
Terkadang,
keinginan yang diutarakan ke orang lain akan mempercepat proses pencapaiannya.
Mungkin pernyataan ini sesuai dengan teori Kimia, menggunakan katalis untuk
mempercepat terjadinya suatu reaksi. Dan, untuk membuktikan teori ini, tak
perlu ditunjukkan contoh, tapi praktikkan dan buktikan sendiri.
Aku teringat sebuah moment yang kualami pada Oktober 2010
silam. Itu kali pertama aku menginjakkan kaki di tanah Sibolangit, yang
kemudian sampai awal tahun setelahnya aku hampir setiap bulan mengunjungi
tempat itu. Ketika itu aku sedang mengikuti acara pengkaderan salah satu partai
Mahasiswa di kampus. Singkat cerita, ada satu pertanyaan yang masih terngiang
di telingaku, pertanyaan yang diajukan oleh salah satu instruktur acara kepada
kami para peserta. Pertanyaannya, “Apa yang kalian fikirkan pertama kali
tentang POLITIK?”
Bahkan, sebelum dipersilahkan pun, ketika
itu aku spontan menjawab dengan satu kata: “KOTOR”. Yah, itulah jawabanku
ketika itu, bahwa politik adalah sesuatu yang kotor. Namun, seiring berjalannya
waktu, semakin banyaknya pelajaran yang kudapat, akhirnya aku dapat memandang
politik sebagai sesuatu yang bisa membangkitkan jiwaku yang sewaktu-waktu dapat
tertidur. Walaupun, aku masih tetap akan mengatakan politik itu sesuatu yang
kotor, sehingga perlu relawan-relawan untuk membersihkannya.
Aku memang belum pernah berorasi di
depan publik, belum pernah menghasilkan karya tulis khusus mengenai pandanganku
tentang politik, tapi aku sadar bahwa politik adalah bagian dari usaha
menyempurnakan keimananku sebagai umat yang berpegang teguh pada tali agama
Allah. Bagaimanapun, perusak citra baik politik adalah pelaku-pelaku politik
tersebut. Itulah kenapa akhirnya aku sepakat, bahwa orang-orang baik harus
menempati posisi-posisi penting dalam dunia perpolitikan guna membersihkan
citra politik.
Di tulisanku sebelumnya, KLIK, dapat
dilihat bahwa ada kekecewaan besar yang kualami pada moment itu. Tentang tidak
adanya kesempatan bagi audiens untuk bertanya. Maka pagi itu, sabtu 18 Maret
2017, ketika pertama kali membuka mata, yang ada difikiranku adalah aku akan
meneruskan pertanyaan itu kepada pemateri seminar hari ini, khususnya Prof.
Bismar Nasution (silsilah kita ketemu
dimana ya, Prof? Ayahku yang lahir dua tahun sebelum Prof adalah Nasution, itu
artinya aku boru Nasution, Udak...)
Seminar Hukum Nasional yang diadakan
atas kerja keras dari kawan-kawan dari BTM Aladdinsyah Fakultas Hukum USU ini
layaknya mendapat empat jempol. Aku terbilang santai ketika sampai dilokasi
satu jam dari waktu yang diinfokan panitia, dengan kondisi belum mengantongi
tiket masuk. Ketika itu, yang ada difikiranku adalah pasti tiketnya sisa
banyak.
Dan, dengan modal relasi, akhirnya
aku masuk dengan tiket yang tak ku tahu wujudnya seperti apa, kontribusi
registrasi yang dapat harga mahasiswa, seminar kit menyusul setelah pemateri
pertama hampir selesai menyampaikan makalahnya, dan sertifikat yang tak tahu
apakah akan sampai ke tanganku nantinya... Gelanggang Mahasiswa USU 90 persen
penuh oleh peserta. Aku yakin, jika seluruh panitia acara ikut duduk di kursi
peserta, sembilan per sepuluh dari panitia akan tetap berdiri karena bangku
yang tersisa tak bisa menampung semua panitia.
Singkat cerita, tibalah sesi yang
kutunggu sejak mata terbuka. Pemandu seminar mengatakan, bahwa akan dibuat dua
sesi tanya jawab. Awalnya aku sudah tidak percaya, namun aku terpaksa
meyakininya setelah kulirik angka penunjuk jam di HP-ku. Kepercayaanku goyah
ketika di sesi pertama itu terpilih lima bahkan enam penanya, tapi aku
memperkuat keyakinanku bahwa akan ada sesi kedua.
Keyakinanku menguat? Iya. Sebab dua
pemateri seminar menjawab 7 pertanyaan dari 6 penanya dengan jawaban yang
singkat dan cukup jelas. Kupikir, itu karena pertanyaan mereka memang terlalu
teoritis untuk orang awam seperti aku. Tapi kemudian, rasa sesal itu pun
berpihak kepadaku saat akhirnya bapak Pemandu seminar meminta maaf karena harus
meralat sesi kedua.
Ah, Prof Bismar, salahkah aku jika
aku hanya ingin tahu apa pandangan profesor tentang eksistensi KPK di negara
kita? Aku hanya ingin menemukan jawaban dari orang yang lebih faham untuk
mencintai instansi negara yang diagung-agungkan sebagian besar rakyat Indonesia
untuk memberantas kejahatan menakutkan di Indonesia tercinta ini. Sebab, sejak
pertama kali aku mengenal instansi tersebut, aku adalah orang yang paling
merasa konyol dan bertanya-tanya kenapa negara ini mengeluarkan banyak anggaran
untuk itu.
Ah, Pak Sazali, salahkah jika aku
juga jadi ingin tahu alasan paling mendasar yang menyebabkan Mahkamah Agung
bekerjasama dengan KPK dalam hal pemberantasan korupsi? Bukankah bisa jadi DPR yang seyogyanya adalah
perwakilan dari suara rakyat, penguasa terbesar dalam negara demokrasi, benar
terkait undang-undang yang disebut-sebut melemahkan KPK? Bukankah bisa jadi
alasan terwujudnya undang-undang itu bukan melindungi anggota dewan yang
menjadi pelaku kejahatan keji itu, tapi untuk membatasi gerak KPK yang
eksistensinya terkesan begitu mencampuri bahkan sampai ke kehidupan paling
pribadi para pejabat? Jika kita bicara HAM, bukankah itu pelanggaran?
Tampaknya aku juga harus bertanya
pada Pak Mahmud selaku pemandu, terkait pernyataan bapak tentang “Kemiskinan
tidak bisa diberantas, tapi bisa dientaskan, tinggal standarisasinya saja.”
Lalu, tak bisakah pernyataan ini menjadi: “Korupsi tidak bisa diberantas, tapi
dientaskan, tinggal standarisasinya saja”?
Kesempatan kedua. Kenapa harus ada
kesempatan kedua bila kita berpeluang di kesempatan pertama? Kenapa harus
menjadi yang kedua bila yang diingat adalah mereka yang menjadi yang pertama?
Aku boleh terhibur oleh aksi solo setelah pemateri seminar meninggalkan
ruangan. Tapi tetap saja aku terluka saat tiga penanya akhirnya mendapat
bingkisan, sedang aku harus pulang membawa pertanyaan yang masih mengganjal.
Ah, memang benar penyesalan selalu
datang di akhir. Bukankah benar juga bila “menunggu itu pekerjaan yang paling
melelahkan?”
Jawaban dari pertanyaan itulah
sebenarnya alasan kuat untuk selalu mengambil kesempatan pertama. Mencoba lalu
gagal itu biasa, tapi gagal mencoba itu menyedihkan. Sedang mendapat kesempatan
kedua itu hadiah yang hanya bisa didapat oleh mereka yang beruntung saja.
Ingat, siapapun selalu mengingat yang pertama bukan?
Siapa wakil presiden pertama
Indonesia? kemudian sebutkan wakil presiden seterusnya. Adakah yang menjawabnya
secepat menjawab “Mohammad Hatta” pada pertanyaan sebelumnya? Manusia yang
sampai ke bulan pertama? Lalu adakah yang mengingat siapa-siapa yang
selanjutnya sampai ke bulan setelah Niels Amstrongs?
Bahkan saking hebatnya si PERTAMA
ini, sampai-sampai di suku batak orang tua akan dinamai dengan nama anak
pertamanya, bahkan dibuatkan lagu, “BORU PANGGOARAN” yang sudah menjadi lagu
wajib daerah di sumatera utara. Lalu, masih mau menunggu kesempatan kedua bila
masih berpeluang di kesempatan pertama? Apapun jawabannya, mari sama-sama sejenak kita menyanyikan lagu itu. Bukan.
Menyanyilah di tempat paling nyaman yang kalian punya. (siapa tahu kesempatan kedua itu masih ada)
No comments:
Post a Comment