Bismillahirrahmanirrahim...
Segala
puji bagi Allah, tak henti-hentinya kita panjatkan atas nikmat kesempatan,
kesempatan untuk senantiasa menuntut ilmu. Sebab nikmat kesempatan ketika
dilebur dan dikombinasikan, inilah yang kita sebut dengan iman. Sebelum
Rasulullah dan tentaranya berangkat ke Badar, beliau besabda: “Ikhwah, apabila
engkau melihat musuh, itulah bidadari.”
Salah
satu diantara mereka adalah Husain bin Hudhair, seorang sahabat yang ketika ia
membaca Al-Qur’an, para malaikat turun ke bumi untuk mendengarkannya. Ketika
itu badannya dipenuhi luka dari Uhud, tapi ketika panggilan untuk segera ke
mesjid Nabawi, ia berdiri dan berkata, “Sami’na wa atho’na.” Pertanyaanya,
apakah yang menggerakkan ini?
Yang
menggerakkan mereka adalah apa yang kita sebut dengan iman.
Seorang
intel Rasulullah, dialah Hudzaifah bin Yaman, pernah berpesan: “Jangan sampai
kalian shalat seperti shalatnya orang munafik.” Seseorang bertanya, ”Seperti
apakah shalatnya orang munafik itu?” Kemudian jelas Hudzaifah, “Mereka ketika
shalat seperti tegaknya pohon kayu, tapi hatinya tidak sedikitpun mengingat
Allah.”
Maka,
cukuplah kematian Kazman menjadi pelajaran bagi kita. Saat panggilan untuk
berperang di Khaibar datang dan ia enggan untuk ikut serta. Hingga seorang
sahabiyah berkata padanya: “Wahai, Kazman, jika engkau tidak pergi berperang.
Lebih baik engkau kenakan saja pakaian wanita.”
Ketika
itu Kazman tersulut, segera ia kenakan baju besinya, ia menghunus pedang dan
menunggangi kudanya. Ia kelilingi kota Madinah dan berteriak, “Penduduk
Madinah, saksikanlah, Kazman berangkat ke Khaibar!!”
Kazman
menemui ajalnya di Khaibar, tapi Rasulullah berkata, “Sesungguhnya Kazman di
neraka.”
Ada
apa gerangan? Kemudian Rasulullah bersabda, “Kazman terkena pedang musuh, namun
ia tidak sanggup menahan sakitnya. Ia pergi ke balik tenda dan menusuk lehernya
dengan pedangnya sendiri.”
Inilah
anomali nikmat kesempatan, seringkali kita diberi nikmat kesempatan, tapi
ternyata iman kita belum mampu untuk menggerakkan kesempatan itu menjadi nikmat
yang begitu manis.
Rasulullah
telah mengajarkan kita tentang sabar, shalawat dan salam tak bosannya membasahi
bibir kita untuk beliau saw. Dia yang bergelar ulul azmi, seperti pendahulunya
Ibrahim as., Nuh as., dan Ayyub as.
Kita
percaya sabar itu tidak ada batasnya. Jika kita ingat tentang Ayyub as. Seorang
Rasul Allah yang ketika ia berumur 30 tahun menikah dengan perempuan yang
cantik. Yang memberikannya 12 orang anak laki-laki sampai pernikahan mereka
yang ke-20 tahun. Maka betapa lengkapnya kenikmatan yang karuniakan Allah kepada
Ayyub as. Ia seorang nabi yang tampan, beristri cantik, memiliki 12 orang anak
laki-laki yang tampan-tampan pula, serta kekayaan yang berlimpah.
Iblis
ingin memperdaya Ayyub as. Maka iblis memohon kepada Allah agar menimpakan
bencana kepada Ayyub as., jika memang benar Ayyub as. adalah Rasul-Nya.
Allah mengabulkan
permohonan iblis. Di hari pertama Ayyub as. tertimpa penyakit yang belum pernah
diderita oleh siapapun. Tubuhnya bernanah dan menimbulkan bau yang sangat
busuk. Esoknya, Allah mengambil kembali ke-12 anaknya, dan di hari ketiga Allah
mengambil kembali semua hewan ternak dan kebun-kebunnya.
Tidak
ada lagi yang dimiliki Ayyub as. Selama 17 tahun ia mengasingkan diri bersama
istrinya. Sampai-sampai istrinya meminta belas kasih orang untuk menghidupi
diri dan suaminya. Hingga iblis menemui istrinya, dan memintanya untuk
meninggalkan Ayyub yang sudah tidak bisa apa-apa. Istrinya hampir saja
terperdaya. Ia berkata kepada suaminya, “Wahai Ayyub, mintalah kepada Allah
agar Allah memberi kita kelapangan.”
Apakah
jawaban Ayyub?
“Istriku,
sudah berapa lamakah Allah memberi kita kenikmatan?” Istrinya menjawab, “20
tahun.” Lalu Ayyub kembali bertanya, “Sudah berapa lamakah kita ditimpa
kesengsaraan?” Jawab istrinya, “17 tahun.” Lalu sahut Ayyub as., “Allah telah
memberi kita kenikmatan selama 20 tahun, aku malu meminta sesuatu pada Allah,
sedang kita baru merasakan kesengsaraan selama 17 tahun.”
Begitulah.
Sabarnya manusia tidak berbatas, tapi kesabaran Allah berbatas. Setelah 20
tahun Allah menguji Ayyub as., istrinya meminta Ayyub as. untuk berdoa kepada
Allah. Ayyub as. pun berdoa, “Ya Allah berilah kami kelapangan.”
Hanya
kelapangan yang diminta Ayyub as., tapi Allah mengembalikan kesehatannya
seperti sediakala. Istrinya kembali hamil dan mereka kembali dikaruniakam 24
orang anak laki-laki yang tak kalah tampan. Allah kembalikan hewan ternak dan
kebun-kebun Ayyub as. Dialah Ayyub as. yang mengajarkan kepada kita untuk
memahami batas antara seorang hamba dan Tuhannya, batas antara manusia dan
takdirnya.
Bahasan
utama kita adalah tentang shalat. Maka pertanyaan pertama, kapankah pertama
kali shalat diwajibkan? Atau bagaimanakah sejarah shalat?
Kita
akan diingatkan dengan peristiwa isra’ mi’raj Nabi Saw. Inilah asal mula
datangnya perintah shalat. Rasulullah bertemu Ibrahim as., tapi Ibrahim tidak
berkomentar ketika Allah memerintahkan shalat 50 kali dalam sehari semalam.
Nabi saw. bertemu Musa as., kemudian atas pertimbangan Musa-lah akhirnya
Rasulullah berulangkali naik untuk bertemu Allah sampai yang tersisa untuk kita
umatnya adalah kewajiban shalat lima waktu.
Ketika
itu Musa as. Masih memberikan pertimbangan bahwa lima waktu itu masih terlalu
berat. Dan benarlah Musa as. Karena kenyataannya hari ini, lima waktu itu
memang sangat berat untuk dilaksanakan.
Andai
saja, waktu itu kita berada di sisi Rasulullah saw., apakah kita termasuk orang
yang mengimani beliau saw.?
Semoga
Allah senantiasa merahmati Abu Bakar Assiddiq ra., sahabat yang senantiasa
membenarkan Nabi saw. ketika Abu Jahal dan pengikutnya menertawakan Muhammad
saw., saat beliau berkisah tentang perjalanannya selama satu malam dari Mekkah
ke Palestina, kemudian dilanjutkan ke sidratul muntaha, bertemu Malaikat,
bertemu nabi-nabi terdahulu dan bertemu Allah swt. Padahal saat itu perjalanan
Mekah ke Palestina ditempuh dalam waktu tiga bulan. Dan naik ke atas langit diibaratkan
dongeng sebelum tidur yang tidak pasti kebenarannya.
Dialah
Abu Bakar assiddiq ra. yang berkata kepada Abu Jahal: “Wahai Abu Jahal,
seandainya Muhammad mengatakan tenda berwarna putih di depan sana itu adalah
hitam. Maka akan aku kaburkan penglihatanku dan kukatakan bahwa benar tenda itu
berwarna hitam.” Dengan itu selamatlah keimanan para sahabat yang sempat goyah
karena cibiran Abu Jahal dan kaumnya terhadap Nabi saw.
Begitulah
perintah shalat sampai kepada kita hari ini. Sebuah ibadah yang wajib
pelaksanaannya. Kita diperintahkan untuk senantiasa melaksanakannya
bagaimanapun keadaannya. Ketika tidak sanggup berdiri, diberi keringanan untuk
duduk. Ketika duduk pun tidak bisa, diberi keringanan untuk berbaring, bahkan saat
semua anggota tubuh tidak lagi mampu digerakkan, tetap laksanakanlah shalat
meskipun dengan isyarat.
Kualitas
kekhusyukan shalat itu berbanding lurus dengan akhlak seseorang. Sampai-sampai
laki-laki munafik dapat dinilai dari kebiasaannya untuk ikut serta shalat subuh
berjamaah di mesjid. Lantas apakah urgensi shalat khusuk?
Pertama:
shalat itu cerminan perilaku seseorang saat di luar shalat.
Maka untuk menjadi
sosok yang diteladani, jagalah kekhusyukan kita.
Kedua: kekuatan
iman.
Shalat adalah
esensi dari keimanan. Sebab ketika kita shalat tidak khusyuk, maka setanlah
yang membersamai shalat kita.
Jangan pernah heran,
ketika ada orang shalat tapi masih melakukan perbuatan yang tidak baik. Lantas
bagaimanakah shalat khusyuk itu? “Shalatlah
seakan-akan engkau melihat Allah, jika tidak mampu, shalatlah seakan-akan Allah
melihatmu.”
Tapi
ingat, meski shalat mencerminkan perilaku seseorang jangan pula men-judge orang yang berlaku tidak baik itu karena
shalatnya tidak khusyuk. Tapi senantiasalah berdoa: “Ya Allah, aku berlindung
dari ilmu yang tidak bermanaat dan shalat yang tidak khusyuk.”
Ibnu Qoyyim pernah
berpesan: “Jangan sampai orang yang shalat tahajjud menyepelekan orang-orang
yang tidur, karena bisa jadi mereka lebih baik.”
Hal
ini karena kita seringkali ketika melihat keburukan orang, lantas kita bersu’uzhan.
Jika hal ini terjadi periksa hati dan shalat kita. Belajarlah pada Usamah bin
Zaid.
Ketika itu ujung
pedang Usamah telah siap menebas leher seorang musuh. Lantas orang itu
bersyahadat, tapi Usamah tetap membunuhnya. Sahabat yang melihat itu
mengadukannya kepada Rasulullah saw. Usamah pun membela dirinya, “Ya
Rasulullah, aku berfikir seolah-olah ia ingin menyelamatkan dirinya.”
Rasulullah
bertanya: “Usamah, sudahkah kau membelah dadanya?” Pertanyaan itu diulang-ulang
oleh Rasulullah dengan suara yang semakin meninggi. Usamah berkata: “Sampai-sampai
aku berfikir lebih baik aku menemui ajalku karena mendengar suara Rasulullah.”
Jadi, jangan berprasangka, bahkan sekalipun itu prasangka baik sebelum kita
temukan informasi yang membenarkannya.
Kita
teringat tentang Utsman bin Affan, ketika ia pingsan dalam shalatnya.
Sampai-sampai, Utsman yang saat itu menjabat sebagai khalifah disangka telah
meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat. Ketika ia sadar ia berkata: “Aku
pingsan karena aku membaca surah At-takatsur.”
Seseorang
berkata: “Wahai Utsman, bukankah Rasulullah telah menjamin engkau masuk
surga?”. Apa jawab Utsman? “Benar, Rasul telah menjamin aku masuk surga, tapi
tidak di alam kubur. Aku takut, aku lebih dulu disiksa di alam kubur sebelum
Allah memasukkanku ke dalam surga.”
Lalu,
bagaimana caranya agar kita senantiasa khusyuk dalam shalat?
Pertama: siapkan
batin.
Perbanyaklah
istighfar sebelum shalat. Pahami apa makna shalat. Untuk memahaminya bisa
dengan belajar dari sejarahnya.
Kedua: persiapkan
kondisi ruhiyah.
Perhatikanlah
adab-adab untuk bertemu Allah. Harus dalam keadaan bersih, menjaga shalat tepat
waktu dan sebagainya.
Akhirnya,
semoga ini bermanfaat meski kebanyakan isinya hampir tidak sesuai dengan tema
utama. Allahu a’lam bish-shawab.
Tulisan ini berdasarkan penyampaian dari Muhammad
Yusuf Syahril dalam Kajian Rumah Peradaban I.
Pada Kamis, 10 November 2016 di Rumah Peradaban Akhwat Garuda Muda Madani, Jl. Sei Asahan no. 34 Medan Selayang, Medan.
Pada Kamis, 10 November 2016 di Rumah Peradaban Akhwat Garuda Muda Madani, Jl. Sei Asahan no. 34 Medan Selayang, Medan.
No comments:
Post a Comment