Friday, November 11, 2016

Nikmatnya Shalat

Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji bagi Allah, tak henti-hentinya kita panjatkan atas nikmat kesempatan, kesempatan untuk senantiasa menuntut ilmu. Sebab nikmat kesempatan ketika dilebur dan dikombinasikan, inilah yang kita sebut dengan iman. Sebelum Rasulullah dan tentaranya berangkat ke Badar, beliau besabda: “Ikhwah, apabila engkau melihat musuh, itulah bidadari.”
Ini sebuah anomali, kenapa akhirnya ketika Rasulullah saw. berkata “A”, sahabat hanya menjawab “Sami’na wa atho’na.” Kita teringat saat perang Uhud, tentang penyebab kalahnya Rasulullah saw. dan tentaranya di Uhud. Akhirnya alumni perang Uhud yang tersisa kembali mempertebal imannya di Khaibar, hingga tidak ada lagi terdengar kata, “Afwan.” Yang ada hanyalah, “Sami’na wa atho’na.”
Salah satu diantara mereka adalah Husain bin Hudhair, seorang sahabat yang ketika ia membaca Al-Qur’an, para malaikat turun ke bumi untuk mendengarkannya. Ketika itu badannya dipenuhi luka dari Uhud, tapi ketika panggilan untuk segera ke mesjid Nabawi, ia berdiri dan berkata, “Sami’na wa atho’na.” Pertanyaanya, apakah yang menggerakkan ini?
Yang menggerakkan mereka adalah apa yang kita sebut dengan iman.
Seorang intel Rasulullah, dialah Hudzaifah bin Yaman, pernah berpesan: “Jangan sampai kalian shalat seperti shalatnya orang munafik.” Seseorang bertanya, ”Seperti apakah shalatnya orang munafik itu?” Kemudian jelas Hudzaifah, “Mereka ketika shalat seperti tegaknya pohon kayu, tapi hatinya tidak sedikitpun mengingat Allah.”
Maka, cukuplah kematian Kazman menjadi pelajaran bagi kita. Saat panggilan untuk berperang di Khaibar datang dan ia enggan untuk ikut serta. Hingga seorang sahabiyah berkata padanya: “Wahai, Kazman, jika engkau tidak pergi berperang. Lebih baik engkau kenakan saja pakaian wanita.”
Ketika itu Kazman tersulut, segera ia kenakan baju besinya, ia menghunus pedang dan menunggangi kudanya. Ia kelilingi kota Madinah dan berteriak, “Penduduk Madinah, saksikanlah, Kazman berangkat ke Khaibar!!”
Kazman menemui ajalnya di Khaibar, tapi Rasulullah berkata, “Sesungguhnya Kazman di neraka.”
Ada apa gerangan? Kemudian Rasulullah bersabda, “Kazman terkena pedang musuh, namun ia tidak sanggup menahan sakitnya. Ia pergi ke balik tenda dan menusuk lehernya dengan pedangnya sendiri.”
Inilah anomali nikmat kesempatan, seringkali kita diberi nikmat kesempatan, tapi ternyata iman kita belum mampu untuk menggerakkan kesempatan itu menjadi nikmat yang begitu manis.
Rasulullah telah mengajarkan kita tentang sabar, shalawat dan salam tak bosannya membasahi bibir kita untuk beliau saw. Dia yang bergelar ulul azmi, seperti pendahulunya Ibrahim as., Nuh as., dan Ayyub as.
Kita percaya sabar itu tidak ada batasnya. Jika kita ingat tentang Ayyub as. Seorang Rasul Allah yang ketika ia berumur 30 tahun menikah dengan perempuan yang cantik. Yang memberikannya 12 orang anak laki-laki sampai pernikahan mereka yang ke-20 tahun. Maka betapa lengkapnya kenikmatan yang karuniakan Allah kepada Ayyub as. Ia seorang nabi yang tampan, beristri cantik, memiliki 12 orang anak laki-laki yang tampan-tampan pula, serta kekayaan yang berlimpah.
Iblis ingin memperdaya Ayyub as. Maka iblis memohon kepada Allah agar menimpakan bencana kepada Ayyub as., jika memang benar Ayyub as. adalah Rasul-Nya.
Allah mengabulkan permohonan iblis. Di hari pertama Ayyub as. tertimpa penyakit yang belum pernah diderita oleh siapapun. Tubuhnya bernanah dan menimbulkan bau yang sangat busuk. Esoknya, Allah mengambil kembali ke-12 anaknya, dan di hari ketiga Allah mengambil kembali semua hewan ternak dan kebun-kebunnya.
Tidak ada lagi yang dimiliki Ayyub as. Selama 17 tahun ia mengasingkan diri bersama istrinya. Sampai-sampai istrinya meminta belas kasih orang untuk menghidupi diri dan suaminya. Hingga iblis menemui istrinya, dan memintanya untuk meninggalkan Ayyub yang sudah tidak bisa apa-apa. Istrinya hampir saja terperdaya. Ia berkata kepada suaminya, “Wahai Ayyub, mintalah kepada Allah agar Allah memberi kita kelapangan.”
Apakah jawaban Ayyub?
“Istriku, sudah berapa lamakah Allah memberi kita kenikmatan?” Istrinya menjawab, “20 tahun.” Lalu Ayyub kembali bertanya, “Sudah berapa lamakah kita ditimpa kesengsaraan?” Jawab istrinya, “17 tahun.” Lalu sahut Ayyub as., “Allah telah memberi kita kenikmatan selama 20 tahun, aku malu meminta sesuatu pada Allah, sedang kita baru merasakan kesengsaraan selama 17 tahun.”
Begitulah. Sabarnya manusia tidak berbatas, tapi kesabaran Allah berbatas. Setelah 20 tahun Allah menguji Ayyub as., istrinya meminta Ayyub as. untuk berdoa kepada Allah. Ayyub as. pun berdoa, “Ya Allah berilah kami kelapangan.”
Hanya kelapangan yang diminta Ayyub as., tapi Allah mengembalikan kesehatannya seperti sediakala. Istrinya kembali hamil dan mereka kembali dikaruniakam 24 orang anak laki-laki yang tak kalah tampan. Allah kembalikan hewan ternak dan kebun-kebun Ayyub as. Dialah Ayyub as. yang mengajarkan kepada kita untuk memahami batas antara seorang hamba dan Tuhannya, batas antara manusia dan takdirnya.

Bahasan utama kita adalah tentang shalat. Maka pertanyaan pertama, kapankah pertama kali shalat diwajibkan? Atau bagaimanakah sejarah shalat?
Kita akan diingatkan dengan peristiwa isra’ mi’raj Nabi Saw. Inilah asal mula datangnya perintah shalat. Rasulullah bertemu Ibrahim as., tapi Ibrahim tidak berkomentar ketika Allah memerintahkan shalat 50 kali dalam sehari semalam. Nabi saw. bertemu Musa as., kemudian atas pertimbangan Musa-lah akhirnya Rasulullah berulangkali naik untuk bertemu Allah sampai yang tersisa untuk kita umatnya adalah kewajiban shalat lima waktu.
Ketika itu Musa as. Masih memberikan pertimbangan bahwa lima waktu itu masih terlalu berat. Dan benarlah Musa as. Karena kenyataannya hari ini, lima waktu itu memang sangat berat untuk dilaksanakan.
Andai saja, waktu itu kita berada di sisi Rasulullah saw., apakah kita termasuk orang yang mengimani beliau saw.?
Semoga Allah senantiasa merahmati Abu Bakar Assiddiq ra., sahabat yang senantiasa membenarkan Nabi saw. ketika Abu Jahal dan pengikutnya menertawakan Muhammad saw., saat beliau berkisah tentang perjalanannya selama satu malam dari Mekkah ke Palestina, kemudian dilanjutkan ke sidratul muntaha, bertemu Malaikat, bertemu nabi-nabi terdahulu dan bertemu Allah swt. Padahal saat itu perjalanan Mekah ke Palestina ditempuh dalam waktu tiga bulan. Dan naik ke atas langit diibaratkan dongeng sebelum tidur yang tidak pasti kebenarannya.
Dialah Abu Bakar assiddiq ra. yang berkata kepada Abu Jahal: “Wahai Abu Jahal, seandainya Muhammad mengatakan tenda berwarna putih di depan sana itu adalah hitam. Maka akan aku kaburkan penglihatanku dan kukatakan bahwa benar tenda itu berwarna hitam.” Dengan itu selamatlah keimanan para sahabat yang sempat goyah karena cibiran Abu Jahal dan kaumnya terhadap Nabi saw.
Begitulah perintah shalat sampai kepada kita hari ini. Sebuah ibadah yang wajib pelaksanaannya. Kita diperintahkan untuk senantiasa melaksanakannya bagaimanapun keadaannya. Ketika tidak sanggup berdiri, diberi keringanan untuk duduk. Ketika duduk pun tidak bisa, diberi keringanan untuk berbaring, bahkan saat semua anggota tubuh tidak lagi mampu digerakkan, tetap laksanakanlah shalat meskipun dengan isyarat.
Kualitas kekhusyukan shalat itu berbanding lurus dengan akhlak seseorang. Sampai-sampai laki-laki munafik dapat dinilai dari kebiasaannya untuk ikut serta shalat subuh berjamaah di mesjid. Lantas apakah urgensi shalat khusuk?
Pertama: shalat itu cerminan perilaku seseorang saat di luar shalat.
Maka untuk menjadi sosok yang diteladani, jagalah kekhusyukan kita.
Kedua: kekuatan iman.
Shalat adalah esensi dari keimanan. Sebab ketika kita shalat tidak khusyuk, maka setanlah yang membersamai shalat kita.
Jangan pernah heran, ketika ada orang shalat tapi masih melakukan perbuatan yang tidak baik. Lantas bagaimanakah shalat khusyuk itu? “Shalatlah seakan-akan engkau melihat Allah, jika tidak mampu, shalatlah seakan-akan Allah melihatmu.”
Tapi ingat, meski shalat mencerminkan perilaku seseorang jangan pula men-judge orang yang berlaku tidak baik itu karena shalatnya tidak khusyuk. Tapi senantiasalah berdoa: “Ya Allah, aku berlindung dari ilmu yang tidak bermanaat dan shalat yang tidak khusyuk.”
Ibnu Qoyyim pernah berpesan: “Jangan sampai orang yang shalat tahajjud menyepelekan orang-orang yang tidur, karena bisa jadi mereka lebih baik.”
Hal ini karena kita seringkali ketika melihat keburukan orang, lantas kita bersu’uzhan. Jika hal ini terjadi periksa hati dan shalat kita. Belajarlah pada Usamah bin Zaid.
Ketika itu ujung pedang Usamah telah siap menebas leher seorang musuh. Lantas orang itu bersyahadat, tapi Usamah tetap membunuhnya. Sahabat yang melihat itu mengadukannya kepada Rasulullah saw. Usamah pun membela dirinya, “Ya Rasulullah, aku berfikir seolah-olah ia ingin menyelamatkan dirinya.”
Rasulullah bertanya: “Usamah, sudahkah kau membelah dadanya?” Pertanyaan itu diulang-ulang oleh Rasulullah dengan suara yang semakin meninggi. Usamah berkata: “Sampai-sampai aku berfikir lebih baik aku menemui ajalku karena mendengar suara Rasulullah.” Jadi, jangan berprasangka, bahkan sekalipun itu prasangka baik sebelum kita temukan informasi yang membenarkannya.
Kita teringat tentang Utsman bin Affan, ketika ia pingsan dalam shalatnya. Sampai-sampai, Utsman yang saat itu menjabat sebagai khalifah disangka telah meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat. Ketika ia sadar ia berkata: “Aku pingsan karena aku membaca surah At-takatsur.”
Seseorang berkata: “Wahai Utsman, bukankah Rasulullah telah menjamin engkau masuk surga?”. Apa jawab Utsman? “Benar, Rasul telah menjamin aku masuk surga, tapi tidak di alam kubur. Aku takut, aku lebih dulu disiksa di alam kubur sebelum Allah memasukkanku ke dalam surga.”
Lalu, bagaimana caranya agar kita senantiasa khusyuk dalam shalat?
Pertama: siapkan batin.
Perbanyaklah istighfar sebelum shalat. Pahami apa makna shalat. Untuk memahaminya bisa dengan belajar dari sejarahnya.
Kedua: persiapkan kondisi ruhiyah.
Perhatikanlah adab-adab untuk bertemu Allah. Harus dalam keadaan bersih, menjaga shalat tepat waktu dan sebagainya.
Akhirnya, semoga ini bermanfaat meski kebanyakan isinya hampir tidak sesuai dengan tema utama. Allahu a’lam bish-shawab.


Tulisan ini berdasarkan penyampaian dari Muhammad Yusuf Syahril dalam Kajian Rumah Peradaban I.
Pada Kamis, 10 November 2016 di Rumah Peradaban Akhwat Garuda Muda Madani, Jl. Sei Asahan no. 34 Medan Selayang, Medan.

No comments:

Post a Comment