Sunday, December 27, 2015

Riview film Tausiyah Cinta

Akhirnya Ia Menambatkan Separuh Hidupnya pada Penulis


Buat temen-temen yang punya hobby nonton film action, atau film romantic, atau film laga, film horor atau bahkan film komedi, aku saranin jangan coba-coba nonton film ini. Karena ekspresi setelah selesai udah ketebak, satu kata yang cukup menjelaskan semua makna, “Lebay”.
            Sebenarnya sedikit berat untuk menuliskan ini, karena sangat khawatir yang terekam justru rasa kekecewaan aku saat menyaksikan film bertajuk Islami yang sebenarnya mengangkat tajuk keromantisan bersama Al-Qur’an ini. Tapi harap dimaklumi, bisa jadi hal itu karena aku akhir-akhir ini ketemu sama orang-orang yang pernah berkecimpung di jalan dakwah (read: Tarbiyah), lalu kecewa.
            Faktanya kita (read: aktivis dakwah) emang suka gitu, ya? Suka nanggung kalo ngerjain sesuatu. Yang penting program selesai, tanpa berfikir apa yang akan dilakukan sebagai follow up-nya. (Sorry, efek mengalami sendiri dan baper setelah diamini oleh si pecurhat-curhat korban perasaan aktivis).
            Untungnya walaupun sempat bercita-cita menjadi penulis, jalan takdir tidak menggariskan aku sebagai penimba ilmu sastra dan estetika. Tapi seenggaknya aku fahamlah tentang alur, penokohan, dan latar. Berulangkali dapat materi kepenulisan, yang terpenting dalam sebuah cerita itu adalah tokoh cerita.
            Kalau dulu di sekolah mungkin kita taunya tokoh protagonis dan antagonis, tokoh utama dan pembantu. Jujur, hampir 2 jam menyabarkan diri menikmati alur film, aku kok enggak menemukan penokohan yang kuat, ya? Kalau dikatakan ini sebuah deskontruksi cerita dengan mengangkat tiga tokoh sekaligus (Elfan, Rien, dan Aska) maka alasan alur akan memperkuat kekecewaanku lagi. Idenya terlalu biasa (bahasa ekstrimnya), tapi aku lebih suka menyebut pesan utama yang disampaikan justru kurang greget (read: romantisme bersama Al-Qur’an).
            Pembuka awal aku acungi dua jempol. Entah karena pengalaman pribadi dan kemungkinan dilema besar setiap aktivis, tapi kerenlah. Terlepas dari akting pemain yang buat penikmat film action terbengong-bengong karena terlalu dramatis. Kegalauan seorang da’iah saat berdakwah di keluarga. Terlebih saat mentadabburi QS. At tahrim 66: 6, dijamin untuk yang stok sabarnya H2C (Harap-harap cemas), akan galau berat. Tapi pas masih hitungan belasan menit si Kak Elfa-nya meninggal, aku heran? (Hah, kok gitu?)
            Terlalu banyak pemain, terlalu banyak sponsor yang berkepentingan, bahkan peran orang-orang yang nyeletuk mencegah kebosanan penonton (read: khususnya pecinta film action dan bukan pecinta film Indonesia) bisa jadi alasan mendasar kenapa akhirnya pesan utama film ini kurang tersampaikan.
            Si Jailani dan ikhwan dengan tanda kutip yang menggoda si Rien menghilang begitu saja. Ikhwan pembawa bendera JOSH (JOmblo Sampai Halal) cuma nampang sebentar saat Aska dan kawan-kawannya lagi sambung-sambungan ayat. Akhwat teman kerjanya Aska dan seorang rekan kerjanya yang berperan antagonis?
            Hmmm…
            Biar ku narasikan, Elfan seorang konseptor hebat, muda dan kaya. Ia punya kakak seorang aktivis dakwah bernama Elfa. Tapi dia kecewa karena kakaknya enggak berhasil dakwah di keluarga, ibunya yang dia anggap sholehah meninggal lebih dulu, ayahnya malah memilih pergi dengan pilihannya. Sejak ibunya meninggal Elfan sering bertengkar dengan kakaknya, dan baru tau kakaknya mengidap sakit parah, dan akhirnya kakaknya pun meninggal juga.
            Kekecewaan Elfan tentang kasih sayang Allah semakin menjadi-jadi. Di waktu yang sama ia bertemu dengan Rien, seorang mahasiswi cerdas berbakat konseptor pula. Di saat hampir bersamaan ia bertemu dengan Aska, seorang arsitektur muda yang menjadi tim dalam proyek pelaksaan ide proyek dari Rien.
            Singkat cerita Elfan terkagum-kagum dengan Rien, bersamaan dengan itu ia mendapat hidayah melalui Aska. Elfan memberanikan diri melamar Rien melalui ustadzahnya, bersamaan dengan itu Aska tertimpa musibah yang menyebabkan ia kehilangan penglihatannya. Klimaksnya Rien menolak lamaran Elfan setelah mendapat jawaban istikharahnya, Aska semakin down karena bersamaan dengan itu ibunya koma.
            Ayah Rien tampak kecewa dengan keputusan Rien menolak Elfan, Elfan bertemu dengan seorang penulis bernama Avian. Dirundung kecewanya Elfan baru menyadari hilangnya Aska. Tapi bukan Elfan yang akhirnya membangkitkan Aska dari keputusasaan, justru dihadirkan pemeran baru bernama Fatih. Ayah Rien sempat mencari-cari Aska untuk dijodohkan dengan putrinya, tapi di akhir cerita ia malah memilih seorang penulis yang bukunya sering dibaca oleh Rien.
            Bayangkan sendiri terlukanya Elfan saat adiknya Rien mengabari kakaknya akan menikah dengan seorang teman baru Elfan, Avian seorang penulis muda yang sempat mengaku berkeinginan kuat untuk menikah, tapi masih memilih fokus merawat ayahnya yang sudah lama sakit-sakitan. Bagaimana kesudahan Elfan dan Aska?
            Biar kuberi tahu, karena aku tau rasanya penasaran maka akan kuobati rasa penasaran siapapun yang belum berkesempatan untuk menonton.
            Akhirnya, Aska memilih menyelesaikan hafalannya sampai 30 juz, Elfan secara tersirat digambarkan berdamai dengan Ayahnya. Dan Rien … akhirnya ia memilih menambatkan separuh hidupnya kepada seorang penulis.
            Finally, good karena berhasil mengecewakan penonton yang menduga-duga kalau Rien pasti akan memilih satu di antara dua, Aska atau Elfan. Tapi cerita jadi absurd kalau aku bilang karena dikemas dengan pemain yang membuat penonton seperti aku bertanya-tanya. (Hah, kok gitu? Hah, itu siapa kok datang cuma numpang lewat aja? Hah, kok banyak kali yang lewat? Hah, pesan romantisme dengan Al-Qur’annya mana? Hah, kok isi tausiyahnya cuma penggalan-penggalan quote aja? Dan hah hah yang lain.)
            Dan kuperingatkan kembali, buat temen-temen yang punya hobby nonton film action, atau film romantik, atau film laga, film horor atau bahkan film komedi, aku saranin jangan coba-coba nonton film ini. karena ekspresi setelah selesai udah ketebak, satu kata yang cukup menjelaskan semua makna, “Lebay”.
            Aku seorang penikmat film Indonesia, dan sebagai aktivis yang tertarbiyah, tentunya aku mendukung dunia perfilman Indonesia diwarnai dengan warna film Islami seperti yang banyak tayang akhir-akhir ini di bioskop-bioskop kita. Dan dengan berat hati harus kukatakan, film ini tema utamanya kurang greget penyampaiannya. Pemain utama dalam filmnya masih kurang kuat, terlalu mendramatisir. Bisa dibilang ini bukan film islami pertama, karena sebelumnya sudah ada KCB 1 dan 2 yang pemeran utamanya diseleksi sendiri oleh penulis novelnya. Film sebelumnya AAC, walau banyak mendapat kritik keras dari pembaca novelnya sudah tampil cukup berani. Bahkan Hijrah Cinta, Assalamualaikum Beijing, Surga yang tak dirindukan, dan 99 cahaya di langit Eropa 1 dan 2 cukup tampil membius penonton dengan aktor dan aktris yang sudah teruji kemampuan aktingnya.

            Justru karena film ini sudah disiapkan jauh-jauh hari, 2 tahun sebelumnya kalau tak salah, makanya film ini harusnya tidak boleh tampil nanggung. Terlepas sebelumnya sudah ada yang membuka gerbang tayangnya film-film Islami ke panggung-panggung bioskop Indonesia. Alasan lain, masuknya lahan dakwah kita ke media bukan untuk mengajak pelaku dakwah untuk meramaikan biskop, tapi bagaimana objek dakwah yang punya hobi nonton tercerahkan oleh konten dakwah (read: film) yang kita buat.

4 comments:

  1. Setuju sekali...sebaiknya para promotor yg punya andil kuat dlm pembuatan film jgn sampai kehilangan poin utama yg ingin disampaikan. N jgn trlalu tergiur dgn sponsor smpai2 mencederai estetika ceritanya sendiri n juga membuat penikmat filmnya menaikkan sebelah alis matanya. Waduh bahasanya ya :)

    ReplyDelete
  2. Setuju sekali...sebaiknya para promotor yg punya andil kuat dlm pembuatan film jgn sampai kehilangan poin utama yg ingin disampaikan. N jgn trlalu tergiur dgn sponsor smpai2 mencederai estetika ceritanya sendiri n juga membuat penikmat filmnya menaikkan sebelah alis matanya. Waduh bahasanya ya :)

    ReplyDelete