Akhirnya Ia Menambatkan Separuh Hidupnya pada Penulis
Sebenarnya sedikit berat untuk
menuliskan ini, karena sangat khawatir yang terekam justru rasa kekecewaan aku
saat menyaksikan film bertajuk Islami yang sebenarnya mengangkat tajuk
keromantisan bersama Al-Qur’an ini. Tapi harap dimaklumi, bisa jadi hal itu
karena aku akhir-akhir ini ketemu sama orang-orang yang pernah berkecimpung di
jalan dakwah (read: Tarbiyah), lalu kecewa.
Faktanya kita (read: aktivis dakwah)
emang suka gitu, ya? Suka nanggung kalo ngerjain sesuatu. Yang penting program
selesai, tanpa berfikir apa yang akan dilakukan sebagai follow up-nya. (Sorry,
efek mengalami sendiri dan baper setelah diamini oleh si pecurhat-curhat korban
perasaan aktivis).
Untungnya walaupun sempat
bercita-cita menjadi penulis, jalan takdir tidak menggariskan aku sebagai
penimba ilmu sastra dan estetika. Tapi seenggaknya aku fahamlah tentang alur,
penokohan, dan latar. Berulangkali dapat materi kepenulisan, yang terpenting
dalam sebuah cerita itu adalah tokoh cerita.
Kalau dulu di sekolah mungkin kita
taunya tokoh protagonis dan antagonis, tokoh utama dan pembantu. Jujur, hampir 2
jam menyabarkan diri menikmati alur film, aku kok enggak menemukan penokohan
yang kuat, ya? Kalau dikatakan ini sebuah deskontruksi cerita dengan mengangkat
tiga tokoh sekaligus (Elfan, Rien, dan Aska) maka alasan alur akan memperkuat
kekecewaanku lagi. Idenya terlalu biasa (bahasa ekstrimnya), tapi aku lebih
suka menyebut pesan utama yang disampaikan justru kurang greget (read: romantisme
bersama Al-Qur’an).
Pembuka awal aku acungi dua jempol. Entah
karena pengalaman pribadi dan kemungkinan dilema besar setiap aktivis, tapi
kerenlah. Terlepas dari akting pemain yang buat penikmat film action terbengong-bengong
karena terlalu dramatis. Kegalauan seorang da’iah saat berdakwah di keluarga. Terlebih
saat mentadabburi QS. At tahrim 66: 6, dijamin untuk yang stok sabarnya H2C
(Harap-harap cemas), akan galau berat. Tapi pas masih hitungan belasan menit si
Kak Elfa-nya meninggal, aku heran? (Hah, kok gitu?)
Terlalu banyak pemain, terlalu
banyak sponsor yang berkepentingan, bahkan peran orang-orang yang nyeletuk
mencegah kebosanan penonton (read: khususnya pecinta film action dan bukan
pecinta film Indonesia) bisa jadi alasan mendasar kenapa akhirnya pesan utama
film ini kurang tersampaikan.
Si Jailani dan ikhwan dengan tanda
kutip yang menggoda si Rien menghilang begitu saja. Ikhwan pembawa bendera JOSH
(JOmblo Sampai Halal) cuma nampang sebentar saat Aska dan kawan-kawannya lagi
sambung-sambungan ayat. Akhwat teman kerjanya Aska dan seorang rekan kerjanya
yang berperan antagonis?
Hmmm…
Biar ku narasikan, Elfan seorang
konseptor hebat, muda dan kaya. Ia punya kakak seorang aktivis dakwah bernama
Elfa. Tapi dia kecewa karena kakaknya enggak berhasil dakwah di keluarga,
ibunya yang dia anggap sholehah meninggal lebih dulu, ayahnya malah memilih
pergi dengan pilihannya. Sejak ibunya meninggal Elfan sering bertengkar dengan
kakaknya, dan baru tau kakaknya mengidap sakit parah, dan akhirnya kakaknya pun
meninggal juga.
Kekecewaan Elfan tentang kasih sayang
Allah semakin menjadi-jadi. Di waktu yang sama ia bertemu dengan Rien, seorang
mahasiswi cerdas berbakat konseptor pula. Di saat hampir bersamaan ia bertemu
dengan Aska, seorang arsitektur muda yang menjadi tim dalam proyek pelaksaan
ide proyek dari Rien.
Singkat cerita Elfan terkagum-kagum
dengan Rien, bersamaan dengan itu ia mendapat hidayah melalui Aska. Elfan memberanikan
diri melamar Rien melalui ustadzahnya, bersamaan dengan itu Aska tertimpa
musibah yang menyebabkan ia kehilangan penglihatannya. Klimaksnya Rien menolak
lamaran Elfan setelah mendapat jawaban istikharahnya, Aska semakin down karena
bersamaan dengan itu ibunya koma.
Ayah Rien tampak kecewa dengan
keputusan Rien menolak Elfan, Elfan bertemu dengan seorang penulis bernama
Avian. Dirundung kecewanya Elfan baru menyadari hilangnya Aska. Tapi bukan Elfan
yang akhirnya membangkitkan Aska dari keputusasaan, justru dihadirkan pemeran
baru bernama Fatih. Ayah Rien sempat mencari-cari Aska untuk dijodohkan dengan
putrinya, tapi di akhir cerita ia malah memilih seorang penulis yang bukunya
sering dibaca oleh Rien.
Bayangkan sendiri terlukanya Elfan
saat adiknya Rien mengabari kakaknya akan menikah dengan seorang teman baru
Elfan, Avian seorang penulis muda yang sempat mengaku berkeinginan kuat untuk
menikah, tapi masih memilih fokus merawat ayahnya yang sudah lama
sakit-sakitan. Bagaimana kesudahan Elfan dan Aska?
Biar kuberi tahu, karena aku tau
rasanya penasaran maka akan kuobati rasa penasaran siapapun yang belum
berkesempatan untuk menonton.
Akhirnya, Aska memilih menyelesaikan
hafalannya sampai 30 juz, Elfan secara tersirat digambarkan berdamai dengan
Ayahnya. Dan Rien … akhirnya ia memilih menambatkan separuh hidupnya kepada
seorang penulis.
Finally, good karena berhasil
mengecewakan penonton yang menduga-duga kalau Rien pasti akan memilih satu di
antara dua, Aska atau Elfan. Tapi cerita jadi absurd kalau aku bilang karena dikemas
dengan pemain yang membuat penonton seperti aku bertanya-tanya. (Hah, kok gitu?
Hah, itu siapa kok datang cuma numpang lewat aja? Hah, kok banyak kali yang
lewat? Hah, pesan romantisme dengan Al-Qur’annya mana? Hah, kok isi tausiyahnya
cuma penggalan-penggalan quote aja? Dan hah hah yang lain.)
Dan kuperingatkan kembali, buat temen-temen
yang punya hobby nonton film action, atau film romantik, atau film laga, film
horor atau bahkan film komedi, aku saranin jangan coba-coba nonton film ini.
karena ekspresi setelah selesai udah ketebak, satu kata yang cukup menjelaskan
semua makna, “Lebay”.
Aku seorang penikmat film Indonesia,
dan sebagai aktivis yang tertarbiyah, tentunya aku mendukung dunia perfilman
Indonesia diwarnai dengan warna film Islami seperti yang banyak tayang
akhir-akhir ini di bioskop-bioskop kita. Dan dengan berat hati harus kukatakan,
film ini tema utamanya kurang greget penyampaiannya. Pemain utama dalam filmnya
masih kurang kuat, terlalu mendramatisir. Bisa dibilang ini bukan film islami
pertama, karena sebelumnya sudah ada KCB 1 dan 2 yang pemeran utamanya
diseleksi sendiri oleh penulis novelnya. Film sebelumnya AAC, walau banyak
mendapat kritik keras dari pembaca novelnya sudah tampil cukup berani. Bahkan Hijrah
Cinta, Assalamualaikum Beijing, Surga yang tak dirindukan, dan 99 cahaya di langit
Eropa 1 dan 2 cukup tampil membius penonton dengan aktor dan aktris yang sudah
teruji kemampuan aktingnya.
Justru karena film ini sudah
disiapkan jauh-jauh hari, 2 tahun sebelumnya kalau tak salah, makanya film ini
harusnya tidak boleh tampil nanggung. Terlepas sebelumnya sudah ada yang
membuka gerbang tayangnya film-film Islami ke panggung-panggung bioskop
Indonesia. Alasan lain, masuknya lahan dakwah kita ke media bukan untuk
mengajak pelaku dakwah untuk meramaikan biskop, tapi bagaimana objek dakwah
yang punya hobi nonton tercerahkan oleh konten dakwah (read: film) yang kita
buat.
Setuju sekali...sebaiknya para promotor yg punya andil kuat dlm pembuatan film jgn sampai kehilangan poin utama yg ingin disampaikan. N jgn trlalu tergiur dgn sponsor smpai2 mencederai estetika ceritanya sendiri n juga membuat penikmat filmnya menaikkan sebelah alis matanya. Waduh bahasanya ya :)
ReplyDeleteSetuju sekali...sebaiknya para promotor yg punya andil kuat dlm pembuatan film jgn sampai kehilangan poin utama yg ingin disampaikan. N jgn trlalu tergiur dgn sponsor smpai2 mencederai estetika ceritanya sendiri n juga membuat penikmat filmnya menaikkan sebelah alis matanya. Waduh bahasanya ya :)
ReplyDeletereviewnya keren, kak sana :D
ReplyDelete:D Yang mau baca lebih keren lagi
ReplyDelete