Sebanyak
258 anak dari 21 TK/TPA/SD di kota Medan mengikuti acara Silaturahmi Akbar Santri
TPQ Nusantara III di gedung Jabal Noor, Asrama Haji, Medan 25 Desember 2015.
Kegiatan Silaturahim ini merupakan sebuah program kreatif yang digelar oleh
Relawan RZ (Rumah Zakat) Medan bekerjasama dengan LPPTKA-BKPRMI (Lembaga
Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak Al-Qur’an- Badan Komunikasi Pemuda
Remaja Mesjid Indonesia) Cabang Medan dan Sumatera Utara serta di sponsori oleh
HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia). Selain di Medan, acara yang dikemas
dalam agenda Indonesia Mendongeng III ini juga diadakan serentak di 14 kota
besar dan terdapat di 38 titik di seluruh Indonesia.
Kenapa anak-anak?
Kenapa
mendongeng?
Dan
kenapa 25 Desember?
Tiga
pertanyaan di atas merupakan fokus
bahasan kita dalam tulisan ini.
Pertama,
kenapa anak-anak? Maka alasan yang mendasar sekali kita kembalikan pada
Al-Qur’an, tepatnya surat Annisa 4: 9.
“Dan hendaklah takut (kepada Allah)
orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang
mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata
yang benar.” (QS. Annisa 4: 9)
Menurut
tafsir Imam Ibnu Katsir, ayat di atas turun berkaitan dengan seorang sahabat
Rasul SAW bernama Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiallahu anhu- saat sedang
menjelang ajalnya. Ketika itu Rasulullah datang menjenguknya, beliau
radhiallahu anhu berwasiat yang memudharatkan untuk ahli warisnya, yakni
menyedekahkan dua pertiga hartanya. Kemudian Rasulullah melarang, dan
membenarkan saat beliau radhiallahu anhu menyedekahkan sepertiga hartanya dan
mewariskan dua pertiganya untuk anaknya. Jadi, ayat ini turun berhubungan
dengan meninggalkan generasi yang miskin harta.
Namun,
dalam ayat-nya Allah berfirman Dzurriyatan
Dhi’aafan (generasi yang lemah) bukan Dzurriyatal
fuqara’ (generasi yang miskin). Sebab pengertian ‘lemah’ jauh lebih luas
dibanding ‘miskin’. Seseorang dikatakan lemah bukan hanya karena tidak mampu
mengangkat sesuatu yang berat, tapi ketika dikatakan miskin maka sudah identik
dengan miskin harta. Bisa saja seseorang menjadi lemah karena tidak makan, ia
tidak makan karena ia tidak punya uang untuk membeli makan. Bisa saja seseorang
lemah karena tak punya ilmu, ia tak punya ilmu karena tak didukung oleh harta
untuk menuntut ilmu. Jadi lemah adalah akibatnya, sedang harta adalah penyebab
dasarnya.
Dari
penjabaran di atas bisa disimpulkan bahwa kegiatan ini merupakan upaya kecil
sebagai bentuk ketakutan kepada Allah meninggalkan generasi muslim yang lemah.
Dan silaturahmi adalah sebuah upaya penguatan yang terbaik yang pernah Islam
ajarkan.
Kedua,
kenapa mendongeng?
Ibu
Sakinah, salah satu orang tua peserta Indonesia Mendongeng III berkomentar,
“Ini adalah acara yang baik, dan anak saya sangat menyukai cerita-cerita
dongeng yang disajikan. Semoga ke depan RZ terus mengadakan acara seperti ini.”
Anak
Ibu Sakinah tersebut cukup mewakili psikologis anak-anak, bahwa secara umum
anak-anak memang menyukai dongeng. Selain disukai anak-anak karena bentuk
ceritanya yang penuh imajinatif, dongeng selalu meninggalkan pesan dibalik
ceritanya. Seperti dongeng yang diceritakan Leni, siswi kelas V SD Juara binaan
RZ Medan, tentang seorang anak laki-laki yang menemukan teko yang ternyata saat
diusap keluarlah seorang jin yang siap mengabulkan permintaannya. Berbeda
dengan cerita Aladin yang pernah kita dengar sebelumnya, anak ini malah tidak
meminta apa-apa dari Jin tersebut karena ia ingat pesan ibunya, tidak boleh
mengambil sesuatu yang bukan hak kita dan meminta sesuatu kepada Jin termasuk
berbuatan syirik yang merusak akidah.
Berbeda dengan Leni, Farah yang juga
siswi Kelas V SD Juara bercerita tentang dua anak laki-laki. Adalah Badu si
anak orang kaya yang sombong memamerkan sepeda barunya kepada tetangganya yang
miskin sambil mengolok-olok. Tapi ternyata, diperjalanan si Badu terjatuh. Saat
tidak ada yang mau menolong, ternyata anak tetangga yang tadi diolok-oloknya
justru menolongnya.
Pesan yang hampir serupa tersirat
dalam dongeng yang diceritakan oleh pendongeng utama, yaitu Kak Indri dari
komunitas Kampung Dongeng yang berjudul “Monod dan Bedu”. Si Monod adalah anak
yatim piatu yang pincang kakinya, bungkuk badannya serta rewot rumahnya. Satu
kali saat ia mencari kayu bakar ia menemukan sebuah buku. Buku itu kemudian ia
bawa pulang untuk dipelajari. Tapi ternyata buku itu harus dibuka dengan kata
sandi, dan kata sandi itu adalah jawaban dari sebuah pertanyaan “Siapakah Tuhan
yang patut disembah?”. Maka berlomba-lombalah anak-anak yang mendengar dongeng
kak Indri menjawab: “Allah”.
Walau
sedikit bertentangan dengan pesan yang disampaikan Leni sebelumnya, si Monod
ternyata membebaskan seorang jin dalam buku itu malah meminta kepada jin agar
diberi rumah yang bagus dan tubuh yang sehat seperti orang normal. Kemudian
datanglah Bedu yang iri dengan keadaan Monod itu, ia pun selalu berusaha untuk
mencuri buku si Monod. Tapi jin tidak tinggal diam, jin itu mengutuk Bedu
menjadi sakit parah. Di akhir cerita, Monod malah meminta jin mencabut
kutukannya dari si Bedu meskipun ia harus kembali menjadi pincang, bungkuk dan
memiliki rumah rewot.
Menarik bukan? Dongeng cukup apik
mengajarkan kepada anak-anak akhlak yang Islami dengan cara yang ia sukai.
Dengan membuka cakrawala berfikir anak berimijinasi dengan luas tanpa merasa
digurui.
Terakhir, kenapa 25 Desember?
Nah, untuk menjawab pertanyaan ini
ada baiknya kita melihat kalender kita masing-masing. Dan yang terlihat adalah
setiap kalender kita tanggalnya berwarna merah. Itu artinya hari libur umum
untuk semua kegiatan. Karena alasan awal kita adalah bentuk ketakutan kepada
Allah meninggalkan generasi lemah, maka kita pasti tidak mau anak-anak kita di
saat liburan diisi dengan kegiatan malas-malasan, bukan?
Tujuh puluh persen anak mengangkat
tangan dengan antusias saat MC acara, Rudang Mayang Sari Manik bertanya, “Siapa
yang suka main PS (read, Play Station)?”
dan 98 persennya adalah anak laki-laki. Kita tentunya sangat miris
dengan kenyataan ini, mereka yang kita harap bisa menjadi pengganti kita
mewarisi negeri malah menghabiskan berjam-jam waktunya bermain PS, matanya di
rusak oleh monitor, sehingga syarafnya tak bekerja sebagaimana mestinya. Sedang
akalnya terkena candu untuk bermain lagi, bermain lagi dan bermain lagi. Ia
hampir tidak punya waktu untuk melukiskan cita-citanya.
Sebagai penutup, Indonesia
Mendongeng yang merupakan agenda tahunan KRN (Komunitas Relawan Nusantara)
Rumah Zakat ini adalah contoh kecil sebagai bentuk kepedulian kita kepada anak-anak, khususnya generasi
Muslim. Seperti yang disampaikan BM Rumah Zakat Medan, bapak Budi Syahputra
dalam kata sambutannya, “Kegiatan mendongeng ini sebagai bentuk perwujudan
kepedulian pada perkembangan anak. Saat sekarang ini anak TPQ dan TK jarang
sekali mendengarkan cerita-cerita dongeng. Namun yang paling penting adalah
apapun yang kita lakukan tetaplah menjadi manusia yang beriman.”
Acara yang dimeriahkan dengan tari
tor-tor “Anak Medan” dari Sanggar Rumah Ceria dan diselingi dengan doorprise
menarik, ditambah setiap anak di oleh-olehi dengan sebuah buku dongeng ini,
kita harap tidak hanya berhenti sampai di sini. Tapi terus terlaksana di
tahun-tahun yang akan datang. Apresiasi pada Relawan Rumah Zakat Medan, tetap
semangat seperti jargonnya “Relawan, tetap semangat bahagiakan umat”. Di luar
sana banyak yang peduli dengan anak-anak, tapi yang peduli dengan perkembangan
dan akidahnya?
note: tulisan ini juga bisa dibaca di: http://www.bersamaislam.com/2015/12/memupuk-akhlak-islami-anak-lewat-dongeng.html
note: tulisan ini juga bisa dibaca di: http://www.bersamaislam.com/2015/12/memupuk-akhlak-islami-anak-lewat-dongeng.html
love this
ReplyDelete