Monday, December 28, 2015

Memupuk akhlak lewat dongeng



Sebanyak 258 anak dari 21 TK/TPA/SD di kota Medan mengikuti acara Silaturahmi Akbar Santri TPQ Nusantara III di gedung Jabal Noor, Asrama Haji, Medan 25 Desember 2015. Kegiatan Silaturahim ini merupakan sebuah program kreatif yang digelar oleh Relawan RZ (Rumah Zakat) Medan bekerjasama dengan LPPTKA-BKPRMI (Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak Al-Qur’an- Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia) Cabang Medan dan Sumatera Utara serta di sponsori oleh HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia). Selain di Medan, acara yang dikemas dalam agenda Indonesia Mendongeng III ini juga diadakan serentak di 14 kota besar dan terdapat di 38 titik di seluruh Indonesia.
            Kenapa anak-anak?
Kenapa mendongeng?
Dan kenapa 25 Desember?
Tiga pertanyaan di atas merupakan fokus  bahasan kita dalam tulisan ini.
Pertama, kenapa anak-anak? Maka alasan yang mendasar sekali kita kembalikan pada Al-Qur’an, tepatnya surat Annisa 4: 9.
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. Annisa 4: 9)
Menurut tafsir Imam Ibnu Katsir, ayat di atas turun berkaitan dengan seorang sahabat Rasul SAW bernama Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiallahu anhu- saat sedang menjelang ajalnya. Ketika itu Rasulullah datang menjenguknya, beliau radhiallahu anhu berwasiat yang memudharatkan untuk ahli warisnya, yakni menyedekahkan dua pertiga hartanya. Kemudian Rasulullah melarang, dan membenarkan saat beliau radhiallahu anhu menyedekahkan sepertiga hartanya dan mewariskan dua pertiganya untuk anaknya. Jadi, ayat ini turun berhubungan dengan meninggalkan generasi yang miskin harta.
Namun, dalam ayat-nya Allah berfirman Dzurriyatan Dhi’aafan (generasi yang lemah) bukan Dzurriyatal fuqara’ (generasi yang miskin). Sebab pengertian ‘lemah’ jauh lebih luas dibanding ‘miskin’. Seseorang dikatakan lemah bukan hanya karena tidak mampu mengangkat sesuatu yang berat, tapi ketika dikatakan miskin maka sudah identik dengan miskin harta. Bisa saja seseorang menjadi lemah karena tidak makan, ia tidak makan karena ia tidak punya uang untuk membeli makan. Bisa saja seseorang lemah karena tak punya ilmu, ia tak punya ilmu karena tak didukung oleh harta untuk menuntut ilmu. Jadi lemah adalah akibatnya, sedang harta adalah penyebab dasarnya.
Dari penjabaran di atas bisa disimpulkan bahwa kegiatan ini merupakan upaya kecil sebagai bentuk ketakutan kepada Allah meninggalkan generasi muslim yang lemah. Dan silaturahmi adalah sebuah upaya penguatan yang terbaik yang pernah Islam ajarkan.
Kedua, kenapa mendongeng?
Ibu Sakinah, salah satu orang tua peserta Indonesia Mendongeng III berkomentar, “Ini adalah acara yang baik, dan anak saya sangat menyukai cerita-cerita dongeng yang disajikan. Semoga ke depan RZ terus mengadakan acara seperti ini.”
Anak Ibu Sakinah tersebut cukup mewakili psikologis anak-anak, bahwa secara umum anak-anak memang menyukai dongeng. Selain disukai anak-anak karena bentuk ceritanya yang penuh imajinatif, dongeng selalu meninggalkan pesan dibalik ceritanya. Seperti dongeng yang diceritakan Leni, siswi kelas V SD Juara binaan RZ Medan, tentang seorang anak laki-laki yang menemukan teko yang ternyata saat diusap keluarlah seorang jin yang siap mengabulkan permintaannya. Berbeda dengan cerita Aladin yang pernah kita dengar sebelumnya, anak ini malah tidak meminta apa-apa dari Jin tersebut karena ia ingat pesan ibunya, tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak kita dan meminta sesuatu kepada Jin termasuk berbuatan syirik yang merusak akidah.
            Berbeda dengan Leni, Farah yang juga siswi Kelas V SD Juara bercerita tentang dua anak laki-laki. Adalah Badu si anak orang kaya yang sombong memamerkan sepeda barunya kepada tetangganya yang miskin sambil mengolok-olok. Tapi ternyata, diperjalanan si Badu terjatuh. Saat tidak ada yang mau menolong, ternyata anak tetangga yang tadi diolok-oloknya justru menolongnya.
            Pesan yang hampir serupa tersirat dalam dongeng yang diceritakan oleh pendongeng utama, yaitu Kak Indri dari komunitas Kampung Dongeng yang berjudul “Monod dan Bedu”. Si Monod adalah anak yatim piatu yang pincang kakinya, bungkuk badannya serta rewot rumahnya. Satu kali saat ia mencari kayu bakar ia menemukan sebuah buku. Buku itu kemudian ia bawa pulang untuk dipelajari. Tapi ternyata buku itu harus dibuka dengan kata sandi, dan kata sandi itu adalah jawaban dari sebuah pertanyaan “Siapakah Tuhan yang patut disembah?”. Maka berlomba-lombalah anak-anak yang mendengar dongeng kak Indri menjawab: “Allah”.

Walau sedikit bertentangan dengan pesan yang disampaikan Leni sebelumnya, si Monod ternyata membebaskan seorang jin dalam buku itu malah meminta kepada jin agar diberi rumah yang bagus dan tubuh yang sehat seperti orang normal. Kemudian datanglah Bedu yang iri dengan keadaan Monod itu, ia pun selalu berusaha untuk mencuri buku si Monod. Tapi jin tidak tinggal diam, jin itu mengutuk Bedu menjadi sakit parah. Di akhir cerita, Monod malah meminta jin mencabut kutukannya dari si Bedu meskipun ia harus kembali menjadi pincang, bungkuk dan memiliki rumah rewot.
            Menarik bukan? Dongeng cukup apik mengajarkan kepada anak-anak akhlak yang Islami dengan cara yang ia sukai. Dengan membuka cakrawala berfikir anak berimijinasi dengan luas tanpa merasa digurui.
            Terakhir, kenapa 25 Desember?
            Nah, untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat kalender kita masing-masing. Dan yang terlihat adalah setiap kalender kita tanggalnya berwarna merah. Itu artinya hari libur umum untuk semua kegiatan. Karena alasan awal kita adalah bentuk ketakutan kepada Allah meninggalkan generasi lemah, maka kita pasti tidak mau anak-anak kita di saat liburan diisi dengan kegiatan malas-malasan, bukan?
            Tujuh puluh persen anak mengangkat tangan dengan antusias saat MC acara, Rudang Mayang Sari Manik bertanya, “Siapa yang suka main PS (read, Play Station)?”  dan 98 persennya adalah anak laki-laki. Kita tentunya sangat miris dengan kenyataan ini, mereka yang kita harap bisa menjadi pengganti kita mewarisi negeri malah menghabiskan berjam-jam waktunya bermain PS, matanya di rusak oleh monitor, sehingga syarafnya tak bekerja sebagaimana mestinya. Sedang akalnya terkena candu untuk bermain lagi, bermain lagi dan bermain lagi. Ia hampir tidak punya waktu untuk melukiskan cita-citanya.
            Sebagai penutup, Indonesia Mendongeng yang merupakan agenda tahunan KRN (Komunitas Relawan Nusantara) Rumah Zakat ini adalah contoh kecil sebagai bentuk kepedulian  kita kepada anak-anak, khususnya generasi Muslim. Seperti yang disampaikan BM Rumah Zakat Medan, bapak Budi Syahputra dalam kata sambutannya, “Kegiatan mendongeng ini sebagai bentuk perwujudan kepedulian pada perkembangan anak. Saat sekarang ini anak TPQ dan TK jarang sekali mendengarkan cerita-cerita dongeng. Namun yang paling penting adalah apapun yang kita lakukan tetaplah menjadi manusia yang beriman.”

            Acara yang dimeriahkan dengan tari tor-tor “Anak Medan” dari Sanggar Rumah Ceria dan diselingi dengan doorprise menarik, ditambah setiap anak di oleh-olehi dengan sebuah buku dongeng ini, kita harap tidak hanya berhenti sampai di sini. Tapi terus terlaksana di tahun-tahun yang akan datang. Apresiasi pada Relawan Rumah Zakat Medan, tetap semangat seperti jargonnya “Relawan, tetap semangat bahagiakan umat”. Di luar sana banyak yang peduli dengan anak-anak, tapi yang peduli dengan perkembangan dan akidahnya?


note: tulisan ini juga bisa dibaca di: http://www.bersamaislam.com/2015/12/memupuk-akhlak-islami-anak-lewat-dongeng.html

1 comment: