Sunday, September 20, 2015

Air Mata Ibrahim as

Air Mata Ibrahim as.



Ibrahim as. adalah seorang utusan Allah yang sangat ia kasihi, bahkan ia memanggilnya sebagai khilalnya. Namanya berulang kali disebut-sebut dalam kalamullah sebagai suatu pembelajaran yang sangat berharga ketika kita menghayati kesabaran dan keteguhannya.
Ibrahim as. lahir di suatu masa yang ketika itu dikuasai oleh seorang raja yang zhalim. Hingga suatu malam bermimpilah raja itu bahwa akan lahir seorang anak laki-laki yang akan menentang kekuasaannya. Mimpi itu tak hanya datang sekali, tapi berkali-kali. Hingga nyatalah bahwa itu bukanlah sekedar bunga tidur, melainkan peringatan baginya. Tapi si raja zhalim itu bukan menyadari kekhilafannya, malah berencana menolak takdir peringatan itu.            

Maka ia perintahkan kepada pengawal kerajaanya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir pada masa itu. Dan pada saat itulah ibunya Ibrahim yang sedang mengandungnya begitu cemas, kalau-kalau bayi yang lahir dari rahimnya adalah anak laki-laki. Dengan keberanian ibunya, menjelang kelahirannya si ibu pergi ke hutan. Ia berencana melahirkan di hutan, kalau-kalau anaknya laki-laki maka akan ia tinggalkan di hutan dan kalau perempuan maka ia akan merawatnya dirumahnya.            

Tapi malangnya, bayi yang lahir itu adalah seorang bayi laki-laki. Dengan berat hati ia tinggalkan bayi itu di tengah hutan untuk ia jenguk sesekali. Maka tinggallah bayi malang itu sendirian di tengah hutan.            

Seperti perkataan Allah : jika kamu makan, sesungguhnya yang kamu makan itu datangnya dari Allah. Begitulah Ibrahim kecil, Allah utus baginya seekor domba. Maka ketika Ibrahim kelaparan, domba itu datang untuk menyusuinya. Lagi-lagi ketika Allah berkehendak sesuatu, maka ia cukup mengatakan “Jadilah”, maka jadilah sesuatu itu. Demikian dengan Ibrahim, setiap kali ia menyusu pada domba tersebut, tubuhnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.            

Maka ketika ibunya datang menjenguknya, si Ibu begitu terkejut. Bayinya yang baru berumur seminggu tapi tubuhnya sudah seperti anak yang berumur 4 atau 5 bulan. Bercampur bahagia ibunya membawanya pulang ke rumah.            

Begitulah, semua bayi laki-laki yang lahir pada masa itu telah dibunuh oleh pengawal kerajaan atas perintah raja mereka yang zhalim. Tapi berita tentang keberadaan Ibrahim kecil sampai pula ke telinga pengawal itu. Maka datanglah mereka menemui ibu Ibrahim dengan maksud melaksanakan perintah raja mereka.            

Dengan keberaniannya, ibu Ibrahim berkata: “Lihatlah bayiku, dia sudah besar. Dia sudah lahir sebelum raja bermimpi. Jadi dia tidak termasuk bayi yang harus dibunuh,” jelas ibunya. Demi mendapati tubuh Ibrahim yang saat itu sudah semakin besar, pengawal itu mempercayainya dan mengurungkan niat untuk membunuh Ibrahim as.            

Allah memilihnya. Seiring bertambah dewasanya Ibrahim, ia sering pergi untuk menyendiri ke hutan. Hatinya sudah menimbulkan keresahan melihat kaumnya yang menyembah patung. Semakin resah pula sebab patung-patung yang disembah oleh kaumnya itu adalah patung hasil pahatan ayahnya sendiri.            

Di suatu malam ia melihat bulan purnama yang bersinar. Terfikir olehnya bahwa itulah Tuhan yang patut disembah. Rupanya di pagi harinya bulan itu tenggelam. Maka ia dapati matahari menyinari bumi dalam bentuk yang jauh lebih besar dibanding bulan. Terfikir pulalah olehnya bahwa itulah Tuhan yang patut disembah. Namun keadaannya sama, seiring datangnya senja, matahari itu tenggelam. Hingga sampailah pada suatu malam yang tidak ada bulan bersinar sama sekali. Tapi pada saat itu banyak bintang-bintang bertaburan menghiasi langit. Kembali terfikir olehnya bahwa itulah Tuhan yang patut disembah. Kembali pula ia mendapati keesokan harinya bintang-bintang itu menghilang.            

Terbersit difikirannya, Tuhan yang patut disembah itu pastilah tidak pernah tidur. Dia Maha Pencipta. Dia Maha Kuasa. Yang Menciptakan bulan, matahari dan bintang-bintang. Ketika ia menyadari itu, malaikat Jibril pun datang menyampaikan wahyu kepadanya untuk membenarkan apa yang terlintas difikirannya.            

Maka dengan penuh keyakinan ia temui Ayahnya yang berprofesi sebagai pemahat patung. “Wahai Ayah, apakah patung-patung ini bisa berbicara ?”, tanyanya. Terang saja ayahnya tertawa, seraya menganggap anaknya dalam keadaan kurang waras. “Ibrahim, tidakkah kau lihat patung-patung ini memang punya mulut, tapi dia tidak akan bisa berbicara,” jawab Ayahnya.            

“Kalau begitu ayah, kenapa kita harus menyembah patung yang tidak bisa bicara. Bagaimana bisa patung yang tidak bisa bicara akan bisa menolong kita hamba-hambanya ?” mendengar itu ayahnya mulai mengerti arah pembicaraan Ibrahim. Dengan wajah yang merah padam ia berkata kepada Ibrahim, “Ibrahim, sadarkah kau apa yang telah kau katakan ? Kau telah menghina sesembahan nenek moyang kita.” Tapi Ibrahim tetap tenang, lantas berkata, “Duhai Ayah, bukankah seharusnya yang kita sembah itu adalah dzat yang telah menciptakan kita ? Bagaimana mungkin kita menyembah sesuatu yang justru kita sendiri yang menciptakannya ?”           

 Ketika itu hati Ayahnya yang bernama Azar ini membenarkan, tetapi kesombongan dan rasa takutnya kehilangan pekerjaannya lebih ia turuti. Azar berang dan mengusir Ibrahim as. maka jadilah Ibrahim yang malang terusir dari rumahnya sendiri.           

 Sampai suatu ketika tiba masa pesta berburu. Seluruh penduduk pergi berburu. Masa itulah yang di nanti-nanti Ibrahim as untuk menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya. Maka ia ambil sebuah kapak dan pergi ke tempat kaumnya biasa menyembah patung. Ia hancurkan patung-patung itu kecuali satu, yaitu patung yang paling besar. Kemudian ia gantungkan kapak yang gunakan di leher patung yang besar itu.            

Ketika kaumnya pulang, betapa terkejutnya mereka mendapati patung-patung sembahan mereka telah hancur kecuali satu. Semua orang langsung yakin bahwa yang melakukan itu semua pastilah Ibrahim as. Maka dipanggillah Ibrahim as untuk mempertanggungawabkan perbuatannya. Dengan tenang Ibrahim as berkata, “Wahai tuan, adakah tuan-tuan sekalian melihat bahwa saya yang telah menghancurkan patung-patung itu ?”            

Maka jawab mereka, “Kami memang tidak melihat engkau menghancurkannya. Tapi hanya engkaulah orang yang tidak suka dengan kebiasaan kami menyembah patung, selain itu engkau tidak ikut beserta kami.” Dengan tenang Ibrahim as. menyahut, “Tidakkah tuan-tuan melihat ada satu patung yang tidak hancur dan ada kapak di leher patung itu ? mungkin saja yang menghancurkan patung-patung itu adalah patung yang besar itu sebab ia tidak suka disekutukan dengan patung-patung yang lebih kecil darinya.”            

Mendengar jawaban Ibrahim kaumnya yang tersesat itu semakin berang. Lalu seseorang diantaranya berkata, “Hei Ibrahim, kau benar-benar sudah tidak waras. Bagaimana mungkin patung yang tidak bisa berbuat apa-apa itu bisa menghancurkan patung-patung di sekitarnya ?”. mendengar itu Ibrahim pun ikut tertawa, “Tuan, sebenarnya siapa yang sedang dalam keadaan tidak waras ? Tuan-tuan sekalian tahu kalau patung-patung itu tidak bisa berbuat apa-apa, lalu kenapa tuan-tuan masih saja menyembah patung-patung yang tidak bisa berbuat apa-apa itu ?”            

Semakin maraklah kemarahan orang-orang saat itu. Mereka merasa Ibrahim telah menghina Tuhan mereka. Entah siapa yang mendului, mereka semua kemudian sama-sama berteriak dan bersepakat untuk membakar Ibrahim as. hidup-hidup. Kemudian dengan segera mereka menggali lobang dan mengumpulkan kayu untuk membakar Ibrahim as.            

Ketika lubang dan kayu-kayu telah terkumpul, maka masuklah Ibrahim as. ke dalam lubang untuk dibakar. Begitulah, Allah mencintai kekasihnya. Api yang kita tahu panas, tapi sampai kayu-kayu itu habis terbakar, Ibrahim as tidak merasakan panasnya api. Ia merasakan bahwa api yang membara itu sangat sejuk. Maka ketika kayunya telah habis, ia keluar dengan tiada kurang sesuatu apapun.            Orang-orang yang menyaksikan begitu tercengang. Sebagian dari mereka ketika itu membenarkan dakwah yang disampaikan Ibrahim untuk kembali menyembah Allah swt. Tapi ketakutan mereka kepada raja yang zhalim dan keangkuhan yang mendarah daging pada diri mereka tetap membangkang. Akhirnya mereka sepakat untuk mengusir Ibrahim dari negeri itu.            

Untuk kedua kalinya Ibrahim as. di usir.            

Maka pergilah Ibrahim berjalan sampai menemukan negeri yang mau menerima dakwahnya. Allah titipkan baginya seorang wanita sebagai pendampingnya bernama Siti Sarah. Ibrahim tengah merasakan kesempurnaan hidupnya. Berdakwah di tengah-tengah umat yang mau mendengarkan ajarannya dan hidup bersama belahan jiwa yang menyejukkan matanya.            

Tapi rupanya kerundungan masih menyelimuti Siti Sarah, sebab bertahun-tahun hidup bersama Ibrahim as. Allah belum juga menitipkan seorang anakpun ke rahimnya. Terlebih usianya sudah mulai beranjak tua. Maka pada suatu hari Siti Sarah meminta Ibrahim menikahi budak mereka yang bernama Siti Hajar. Terfikir dibenak Siti Sarah ketika itu, Siti Hajar hanyalah seorang budak, perawakannya juga tidak semenarik dirinya. Jadi tidak akan mungkin ia akan merasakan cemburu karena suaminya akan berpaling darinya.            

Rupanya, Siti Sarah wanita biasa. Ia merasa sangat terluka ketika akhirnya Allah menitipkan seorang bayi di rahim Siti Hajar. Terlebih ketika bayi laki-laki itu lahir, perhatian Ibrahim as. terfokus pada bayi dan ibunya itu. Sempat timbul niatan jahat di benak Siti Sarah. Tapi kemudian datang perintah Allah untuk mengantarkan bayinya yang diberi nama Ismail itu ke suatu tempat yang sangat tandus dan gersang.           

 Sebab ketaatannya pada Allah, tanpa berbicara apapun. Ibrahim as. mengantarkan Siti hajar dan bayinya ke tempat yang dimaksud. Betapa malangnya bayi itu. Bayi yang bertahun-tahun dirindukan kehadirannya ke dunia, kemudian harus ditinggalkan di tempat yang tidak ada penghidupan bahkan oleh Ayah yang selama ini merindukannya.           

 Tak sanggup Ibrahim as. menatap wajah istri dan bayinya. Sebab itulah ia bergegas hendak kembali tanpa berpesan apapun. Kemudian suara Siti Hajar menghentikan langkahnya, “Wahai suamiku, sungguh tempat ini sangat kejam. Sangat tega orang yang meninggalkan manusia tidak berdaya dengan bayinya di tempat yang seperti ini. Maka katakanlah bahwa ini adalah perintah Allah. Sebab jika ini perintah Allah, aku percaya bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”            

Dengan menahan air matanya, Ibrahim as memalingkan tubuhnya kembali lalu berkata, “Iya istriku, sesungguhnya ini adalah perintah Allah. Kamu benar bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya.” Dan Siti Hajar tersenyum. “Kalau demikian, tenanglah hatiku, pergilah suamiku jika ini adalah perintah Allah.”            

Dan seperti kita tahu, bagaimana Siti Hajar panik ketika Ismail menangis kehausan sedang air susunya tak mengalir. Ia berlari-lari sebanyak tujuh kali untuk mencari air, tapi yang ia dapati hanyalah fatamorgana akibat panasnya matahari yang menyinari padang pasir. Dan diujung keputusasaannya, Ia melihat Ismail menghentak-hentakkan kakinya. Atas kuasa Allah, dari bekas hentakan kaki Ismail itu keluarlah mata air yang hingga hari ini airnya tak berhenti mengalir, itulah oase air zam-zam yang barakah.            

Seiring berjalannya waktu, tempat gersang itu mulai ramai dilewati kafilah-kafilah. Kemudian sebagian dari mereka mulai menetap di tempat itu. Jadilah Ismail dan ibunya tidak lagi kesepian tinggal di tempat gersang yang menyedihkan itu.            

Dan Ibrahim as., sekembalinya ia pada Siti Sarah ia dapati kabar bahwa istrinya itu sedang mengandung. Raut tidak percaya terlukis diwajahnya. Bagaimana mungkin Siti Sarah yang sudah tua bisa mengandung bayi. Tapi tidak ada yang tidak mungkin di sisi Allah. Hingga tiba waktunya lahirlah dari kandungan Siti Sarah itu seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Ishaq as. Duka Ibrahim as. seakan terobati dengan kehadiran Ishaq, sedang Siti Sarah merasa sempurna dengan kehadiran Ishaq di antara mereka. Tapi kerinduan Ibrahim as. kepada Ismail masih belum terlupa.            

Sampai suatu ketika Ibrahim as. bermimpi, datang perintah Allah untuk menyembelih putranya yang talah ia buang itu. Sampai mimpi itu membungai tidurnya tiga kali, barulah ia benar-benar meyakinkan diri bahwa mimpi itu datangnya dari Allah. Wahai, bagaimanakah duka yang dirasakan Ibrahim ketika itu, ketika Allah obati kerinduannya kepada seorang anak, Allah perintahkan agar anak itu dibuang ke suatu tempat yang tidak berpenghuni dan tidak ada sumber kehidupan di sana. Belum lagi ia membayar rasa bersalahnya karena membuang anak itu, Allah kembali perintahkan anak itu untuk ia sembelih.            

Dengan berat hati, berangkatlah Ibrahim as. untuk menemui istri dan anaknya. Betapa bahagianya Siti Hajar dan Ismail menyambut kedatangan Ibrahim as. Tapi tidak demikian dengan Ibrahim as., sebab ia harus menggores luka di wajah yang dirundung bahagia itu.            

Rupanya Ismail yang shaleh dapat membaca keresahan Ayahnya. Maka dengan ragu, ayahnya menceritakan tentang mimpi yang datang padanya sebanyak tiga kali itu. Tahukah apa yang terucap dari kedua bibir anak Sholeh itu, “Duhai ayah, kenapa engkau harus ragu. Jika itu perintah dari Allah, maka laksanakanlah. Insyaa Allah engkau akan mendapati aku sebagai anak yang sholeh.”            Masyaa Allah, anak mana yang hari ini akan mampu berkata demikian. Bahkan ketika disuruh melaksanakan shalat saja seringkali kita temukan anak yang suaranya jauh lebih keras dari suara orang tuanya. Tapi Ismail yang telah dibuang ayahnya, dan ketika datang ayahnya malah hendak menyembelihnya mampu berkata demikian.           

 Inilah bayaran tak terkira dari air mata Ibrahim as. Ketika proses penyembelihan itu dilangsungkan, Allah menggantinya dengan seekor qibas. Sungguh Allah telah menjadikan ketaatan Ibrahim as. yang sampai hari ini masih kita lihat akibatnya.            

Ibrahim as. yang sejak lahirnya saja sudah tidak diterima oleh kaumnya, kemudian di usir oleh Ayahnya. Untuk kedua kalinya di usir oleh kaumnya. Tapi baru sebentar menikmati ketenangan sudah kembali diuji dengan kecemburuan wanita yang dalam pengawasannya, justru disaat kerinduannya pada kehadiran seorang anak terbayar. Dan ketika ia diberi kesempatan untuk melihat anaknya, Allah malah perintahkan ia untuk menyembelih anak yang dirindukannya itu.            

Tapi Allah tidak pernah menyia-nyiakan ketaatan Ibrahim as. Allah mengabulkan doa-doa Ibrahim as. Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih yang dicintainya. Lihatlah bagaimana Allah mengebulkan do’a Ibrahim untuk dikaruniakan keturunan yang taat. Tidak tanggung-tanggung Allah karuniakan padanya dua putra yang keduanya kemudian Allah utus sebagai Rasul. Dan dari keturunan keduanya kemudian di utus menjadi Rasul pula, seperti Daud as memiliki anak Ya’kub as dan anaknya Yusuf as. Sedang dari Ismail as. akan sampai pada garis lahirnya seorang tokoh revolusioner pertama di dunia, dialah Muhammad saw.            

Bukan hanya itu, Allah abadikan keteguhan Siti Hajar dan Ismail, dengan mata air zam-zam yang airnya sudah di minum oleh orang-orang dari segala penjuru dunia, tapi air itu masih mengalir sampai hari ini. Allah abadikan lari-larinya Siti Hajar sebanyak tujuh kali dari bukit Safa ke bukit Marwa untuk mencari air sebagai bagian dari rukun haji. Diabadikan Ibrahim as. melempar Iblis yang menggodanya saat akan menyembelih Ismail as. sebagai rukun haji, melempar jumroh. Dan ada kebaikan yang sangat besar bagi kita ketika mengorbankan binatang ternak di hari musim haji yang mendasarinya adalah peristiwa penyembelihan Ismail as. yang kemudian Allah gantikan dengan seekor qibas.            

Bukan hanya itu, tempat tandus, gersang dan tidak ada sumber kehidupan, disanalah kemudian Allah jadikan tempat bertemunya begitu banyak manusia dari segala penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji. Tempat itulah yang kemudian Allah pilih sebagai tempat didirikannya ka’bah, yang keberadaannya sempat menaruh rasa marah Raja Abraham dan bermaksud menghancurkannya dengan membawa tentaranya yang mengendarai gajah.            

Dialah Ibrahim as. yang air matanya barakah karena ketaatannya kepada penciptanya. Dialah Ibrahim as. yang air matanya mengabadi hingga ke akhir zaman. Lalu masihkah kita akan menangisi sesuatu yang bukan berdasarkan ketaatan kita pada Allah ? Tidak inginkah kita Allah memberi kebaikan dari air mata yang keluar tak terbendung itu ? Maka berhentilah menangisi apa-apa yang bukan berdasarkan ketaatan kita kepada Allah. Allahu a’lam bis shawab..

No comments:

Post a Comment