Wednesday, August 5, 2015

Review film "Surga yang tak dirindukan"

Dongeng dari surga di Istanaku.



Beginilah perempuan menanggapi poligami. Itulah yang saya fikirkan ketika menyaksikan film gubahan MD Entertaiment yang diangkat dari novel berjudul sama karya Asma Nadia, Surga yang tak dirindukan. Dari judulnya sebenarnya sudah sangat mengundang tanda tanya, bagaimana mungkin ada surga yang tak dirindukan ?
Kacamata saya melihat bahwa ada kesamaan latar belakang di karya ini dengan karya sebelumnya yang sukses meramaikan industri perfilman di awal 2015 silam, Assalamualaikum Beijing. Mungkin yang sudah baca novel atau nonton filmnya atau kedua-duanya akan tau bahwa Asma nadia telah mengemas legenda Patung Ashima menjadi kisah cinta antara Asmara dan Ching Huan atau Chung-Chung. Asma Nadia sendiri mengakui bahwa Assalamualaikum Beijing adalah novel teromantis yang pernah ia buat. Dan saya pun mengakuinya.
“Surga yang tak dirindukan” juga telah mengangkat sebuah dongeng Madaniah Citra Arini (Laudya Cintya Bella) menjadi hidup dalam cita-citanya membangun rumah tangga mawaddah bersama Prasetya (Fedi Nuril). Dongeng madaniyah versi Nadia, buah cinta mereka pun, kemudian menjadi bumerang  untuk mengangkat tema utama cerita, poligami. Tentang kepergian raja negeri Madaniyah untuk mengusir peri jahat, yang kemudian kembali ke negerinya membawa si peri jahat ditengah-tengah ketentaraman istananya.
Sebuah cerita yang diangkat dari dongeng, yang saya komentari dengan satu kalimat, dongeng dari surga di istanaku. Meirose (Ruline Shah) adalah bagian dari impian Pras untuk tak mengulang kisah tragis masa kecilnya pada bayi yang dilahirkannya. Meirose adalah peri jahat yang kemudian menjadi peri baik yang dibawa raja madaniyah ke istana, versi dongeng Nadia. Dan di mata Arini, Meirose seperti kalimat yang dilontarkannya, “Kamu sudah berhasil menghancurkan dongeng saya hanya untuk menghidupkan dongeng kamu.”
Tidak bisa menerima adalah sesuatu yang pasti akan terjadi pada seorang perempuan yang mendapati laki-laki yang telah berikrar saat menjabat tangan walinya dalam akad, akhirnya menghadirkan perempuan lain di antara mereka. Sebab saat ikhlas itu datang, maka jauh dibalik itu semua, pengorbanan adalah hal terbesar yang tak boleh dilupakan saat harus berbagi suami dengan perempuan lain. Meski pintu surga dibukaan untuk perempuan yang ikhlas menerima perempuan lain dikehidupan rumah tangganya, namun surga itu tidak pernah dirindukan oleh perempuan manapun.
Sekali lagi, Dongeng dari surga di istanaku, adalah kalimat saya untuk mengomentari film ini. Klimaks perjalanan membangun sakinah dalam sebuah bahtera rumah tangga. Lewat cerita ini kacamata saya melihat bahwa untuk kedua kalinya Asma Nadia mengingatkan kita untuk tidak berhenti bermimpi. Jika di “Assalamualaikum Beijing” mimpi Chung Huan untuk menghidupkan legenda patung Ashima dalam kisah cintanya, maka “Surga yang tak dirindukan” telah menghidupkan dongeng Arini, Nadia dan mimpi Pras dalam romantika cinta mereka.
Terlepas dari kritikan orang-orang terhadap film ini sejak mulai digarap. Mulai dari poster Fedi Nuril yang berpelukan dengan Bella sampai masih didapatinya adegan sentuh fisik bahkan sampai berpelukan dalam filmnya. Saya fikir ini adalah karya anak negeri yang harus kita banggakan. Terkhusus kita harus mendukung ramainya industry perfilman kita dengan cerita yang mendidik bukan hanya sekedar hiburan atau malah merusak moral bangsa. Kritikan di sana sini adalah PR kita untuk terus memperbaikinya sampai kita dapat menilai sempurna dengan standarisasi  kita masing-masing. Seperti sebuah tweet dari Hanung Bramantio, “besok aja nonton film itu, nonton film Indonesia juga banyak yang bagus kok.”

Kalau surga bisa berdongeng di istana Arini dan Pras, kenapa kita tidak menghidupkan dongeng kita masing-masing untuk mensejahterakan negeri yang kita banggakan ini ?

1 comment:

  1. yukk mampir ke website kita, ada banyak informasi tentang Smartphone hehe :)

    DEMAK KENDAL SEMARANG UNGARAN

    ReplyDelete