Friday, June 19, 2015

Telah dibukukan bersama 29 cerpen pilihan peserta lomba lainnya



Charles, Aku Keturunan Mandailing
Oleh: Ana Nasir

Namaku Nirmala. Aku dilahirkan di sebuah desa di perbatasan Sumatera Utara sebelah tenggara dengan Provinsi Riau. Sebelum tahun 2007 tanah kelahiranku masih masuk dalam daerah Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan. Dan di tahun 2007, Pemerintah pusat menerima permohonan penduduk setempat untuk memisahkan diri dari Tapanuli Selatan, menyusul Kabupaten Mandailing Natal yang telah lebih dulu memisahkan diri.
Maka terbentuklah dua kabupaten baru waktu itu untuk Provinsi Sumatera Utara, yakni Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Dan tempat tinggalku masuk dalam daerah Pemerintahan Kabupaten Padang Lawas, dengan ibukota kabupatennya Sibuhuan. Secara geografis Padang Lawas atau biasa di singkat dengan Palas ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Rokan Hulu, yang sudah termasuk bagian dari Propinsi Riau. Desaku berada kurang lebih 15 km untuk sampai ke gapura bertuliskan “Selamat Datang Di Propinsi Riau”, dialah yang oleh penduduk setempat disebut dengan desa Rotansogo. Tapi entah kenapa, di KTP dan arsip-arsip Pemerintahan nama desa kami berubah nama menjadi Sibodak Sosa Jae. Mungkin karena aku masih terlalu muda waktu itu, jadi aku tak diundang saat penisbatan nama itu.
Letak rumah keluargaku berbatasan langsung dengan daerah PT. Perkebunan Nusantara IV, atau lebih tepatnya di bawah Pabrik Kelapa Sawit yang mengolah hasil ribuan hektar kelapa sawit yang terbentang di sejauh mata memandang. Tapi jangan salah, ayahku bukan orang yang mengabdikan tenaga dan fikirannya di perkebunan yang dulunya murni milik negeri tercinta ini. Walaupun daerah tempat tinggalku cukup terkenal dengan sawitnya yang luas, kami sekeluarga justru tak memiliki sebatang sawit pun. Ayah lebih memilih sebagai wiraswasta dengan membuka grosir di depan rumah. Katanya itu lebih menjanjikan, dan sunnah Rasulullah mencari rezeki dengan berniaga. Walaupun menurutku, sungguh luar biasa tetangga yang punya kebun sawit berhektar-hektar, tinggal goyang kaki di rumah, bebas bepergian kemana pun ia mau, dan tiga kali dalam sebulan terima uang hasil panen sawit miliknya.
Ayahku sengaja menyekolahkan kami di sekolah anak-anak Perkebunan. Pasalnya, Ayah tak mau kami berubah jadi tak berpedoman pada Sumpah Pemuda yang menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Karena memang, SD yang ada di desa kami itu masih memakai bahasa ibu mereka sebagai bahasa pengantar, bahasa Mandailing dengan dialek Sosa. Perlu di jelaskan, bahasa Mandailing sendiri memang memiliki banyak sekali variasi dialek. Sebagai contoh, akan berbeda dialek orang Sosa dengan orang yang tinggal di Sibuhuan. Bahkan bahasa Mandailingnya orang Gunung Tua, Binanga, Padang Sidimpuan atau Panyabungan juga sangat berbeda. Yang membedakan bisa dialeknya saja, atau bahkan sampai ke penyempitan dan perluasan maknanya juga berbeda. Aku pun tak faham kalau harus menjelaskan sampai sejauh itu. Karena memang aku sendiri tak begitu fasih menggunakan bahasa mandailing ini. Yah, walaupun ayahku orang Mandailing bermarga Nasution tapi beliau sejak lahir dan dewasa berada di Pematang Siantar. Jodoh yang tak mengenal jaraklah yang mempertemukan Ayah dan Mamaku. Jadi kami di rumah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, walaupun tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Ada yang menarik di kampungku, atau lebih tepatnya di tanah Mandailing. Aku lebih suka menyebutnya dengan Kampung leluhur. Pasalnya nenek moyang orang-orang Mandailing itu dulunya beragama Islam. Itu cerita dari mulut ke mulut yang pernah ku dengar. Karena alasan itu pulalah, jika ada orang Mandailing yang beragama di luar dari Islam sudah pastilah ia murtad dari agama leluhurnya, begitu kata Opung yang biasa mengajariku mengaji setiap sehabis maghrib waktu kecil dulu. Dan aku cukup terkejut ketika seorang teman SMA-ku berkata pada suatu hari,” Mala, Aku pengen jumpa sama orang Kristen, aku enggak tau wajahnya orang Kristen itu seperti apa ?”.
***
            Aku terlahir sebagai anak yang cerdas, dan mampu belajar otodidak. Orang-orang Mandailing memang percaya setiap keturunan dari marga Nasution itu akan mewarisi kecerdasan nenek moyangnya si Baroar Nasakti. Setelah menyelesaikan SMA di Salah satu SMA Negeri Favorit di Padang Sidimpuan, aku di terima sebagai mahasiswa tekhnik Arsitektur di USU. Kampus Negeri bergengsi untuk daerah tempat tinggalku. Tidak ada yang spesial menurutku, tapi orang-orang di kampungku sudah sangat terkagum-kagum karena aku bisa masuk dengan jalur murni tanpa orang dalam atau sogokan sebagaimana yang biasa dilakukan anak-anak tuan tanah di kampungku. Hari-hariku semakin berbeda justru ketika aku mengenal Charles.
            Charles berusia dua tahun di atasku. Dia mahasiswa Teknik Sipil di kampus yang sama denganku. Pertemuan kami di mulai ketika waktu itu aku berjalan hujan-hujanan melampiaskan kesedihan karena laporan Praktikumku yang tidak di terima oleh asisten Laboratorium. Seseorang melintas di sampingku dengan motor Beat hitam. Entah sengaja atau tidak ban motornya menyipratkan genangan air tepat membasahi muka, jilbab, baju dan rok yang kugunakan. Dengan umpatan yang kutahan di benak, aku membersihkan cipratan itu. Walaupun aku tahu itu sia-sia. Kesedihan yang kurasakan semakin mendalam, tak sadar tangisku memecah gemuruh derasnya hujan waktu itu. Dan saat itulah, Charles tiba-tiba muncul di hadapanku.
            Entah apa yang ia katakan padaku. Aku hanya melihat kedua bibirnya komat-kamit, lalu tangannya meraih pergelangan tanganku. Mengajak berlindung ke sebuah halte dekat tempat itu. Aku menurut saja. Tangisanku semakin menjadi-jadi. Entah kapan terkahir kali aku menangis seperti itu. Mungkin dulu ketika aku masih berumur balita. Aku masih sempat melihat sosok yang berdiri di sampingku berusaha untuk meredam kesedihanku, tapi aku tak mendengar apa yang ia katakan. Suaranya dikalahkan oleh derasnya hujan dan riuhnya tangisanku. Itulah kali pertama aku bertemu dengan Charles.
            Sejak pertemuan itu aku jadi sangat dekat dengannya. Entah itu kebetulan, kos Charles tak jauh dari tempatku ngekos. Aku jadi sering bertemu Charles. Lama-lama pertemuan itu menjadi alasan kedekatan kami. Dan entah siapa yang memulai, di antara kami tumbuh benih-benih cinta yang harusnya terlarang untuk kami. Karena kami terlahir dari suku berbeda. Bukan hanya itu kami terlahir dengan keyakinan yang berbeda pula. Tapi kami seperti tak pernah peduli, bahkan sebagai tantangan tersendiri buatku untuk mempertahankan apa yang kami miliki di hadapan kedua orang tua kami. Bahkan di hadapan Tuhan yang kami sembah.
***
            Lima tahun kami lalui dengan suka dan duka. Aku sudah menyelesaikan kuliahku sejak setahun yang lalu. Aku juga sudah di terima kerja sebagai konsultan di sebuah perusahan Property dengan gaji yang menggiurkan. Sudah saatnya aku memikirkan pernikahan. Mungkin itu juga yang difikirkan oleh orang tuaku, juga orang tua kekasih hatiku Charles. Aku sudah beberapa kali bertemu dengan orang tua Charles. Pertama kali aku dikenalkan pada orang tuanya ketika ia di wisuda sebagai sarjana di akhir 2011. Kemudian dia membawaku ke kampungnya di Tarutung di tahun baru 2012 silam. Pertemuan berikutnya saat kakaknya mengikrarkan janji suci sehidup semati dengan pangeran hatinya. Dan terakhir kali ketika orang tuanya memberi kejutan ulang tahun untuk adik bungsunya. Pada saat itulah mamanya menanyakan keseriusan kami untuk sampai ke jenjang pernikahan.
            “Mala, kita tidak mungkin menikah dengan keyakinan yang berbeda. Salah satu di antara kita harus ada yang mengalah, dan aku tidak pernah memberi tau ke orang tuaku bahwa kau bukan seorang Kristen. Maukah kau menikah denganku dan mengikuti keyakinanku dan keluargaku ?” ketika itu gemuruh bergejolak di hatiku. Sebelumnya tak pernah ku dengar Charles mengatakan hal yang begitu menyakitkan seperti ini. Aku begitu mencintainya selama ini. Impian untuk hidup berdua dengannya pasti ada. Tapi aku hanya menangis. Lalu pergi meninggalkannya. Esoknya aku ambil cuti beberapa hari untuk pulang ke rumah orang tuaku.
***
            “Kau orang terpelajar Mala. Ayah sekolahkan kau dengan hasil keringat Ayah sendiri. Lalu kenapa kau tega menyakiti Ayah dengan niat meninggalkan agama leluhur kita hanya karena lelaki yang kau bilang sudah menjadi pacarmu bertahun-tahun itu ?!” hujat Ayah padaku dengan sangat berang ketika ku beranikan diri untuk mengungkapkan keinginanku menikah dengan Charles.
            “Ayah tidak akan kasih pilihan padamu Mala. Yang kau harus lakukan hanya satu, kau katakan kepada kekasih hatimu itu, Charles aku keturunan Mandailing. Titik. Kau ingat Mala, Ayah memang sudah lama meninggalkan tanah leluhur kita. Bahkan Ayah hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen di Siantar sana. Tapi di kampung kita ini, di Palas ini dan di seluruh tanah Mandailing orang Kristen dibuat daerah sendiri. Padang Urung Bao adalah desa khusus untuk orang Kristen bebas mendirikan gereja dan beribadah atau memakan apa saja yang dihalalkan agama mereka. Bahkan kau juga pasti ingat bagaimana orang-orang sehabis shalat Jumat bergerak berbondong-bondong menghancurkan gereja yang akan didirikan di Sibuhuan sana tanpa izin. Bukan kita tidak bertenggang rasa pada mereka, tapi di tanah kita mereka orang-orang minoritas dan harus tunduk dengan aturan yang di buat oleh kepala adat mandailing dan orang Islam. Itu kebijakan dari tetua adat kita, Orang Cina juga haram hukumnya bersaing dengan pengusaha-pengusaha mandailing di tanah ini. Itu yang harus kamu perjuangkan Mala. Bukan memperjuangkan cintamu dengan lelaki itu dengan mengorbankan agamamu. Haram hukumnya bagi Ayah. Apakah kamu mau Ayah haramkan seperti umat islam mengharamkan memakan daging babi dan Anjing ? Fikirkan itu.”
***
            Sepanjang perjalananku menuju kota Medan, aku hanya tertunduk dan gelisah. Merenungi setiap kalimat yang di teriakkan Ayah ke telingaku. Setengah jam lagi aku akan sampai di Medan. Charles sudah menunggu kedatanganku di loket Bus Batang Pane Baru yang ku tumpangi. Kota medan memang masih tidur sepagi ini. Itulah alasan Charles sejak dulu-dulu selalu menungguku di loket setiap aku kembali ke kota ini.
            Dia sudah berdiri gagah dengan senyumannya yang khas tepat di hadapanku ketika aku menuruni anak tangga bus. Ada yang berbeda pada pertemuan kali ini. Biasanya aku membalas senyumannya dengan senyuman terbaikku. Kali ini ku hampiri dia dengan wajah yang masih sembab. Ketika tepat di hadapannya, kubisikkan pesan Ayah tepat di telinganya, “Charles, aku keturunan Mandailing.” Lalu, kuhampiri seorang tukang becak, dan kutinggalkan Charles dengan jutaan tanda tanya di fikirannya.
***
Selesai

Penulis adalah seorang Mahasiswi Fisika Universitas Sumatera Utara yang lebih suka menyebut dirinya Sastrawan Fisika.

No comments:

Post a Comment