Charles, Aku Keturunan Mandailing
Oleh: Ana Nasir
Namaku Nirmala. Aku dilahirkan di sebuah
desa di perbatasan Sumatera Utara sebelah tenggara dengan Provinsi Riau.
Sebelum tahun 2007 tanah kelahiranku masih masuk dalam daerah Pemerintahan
Kabupaten Tapanuli Selatan. Dan di tahun 2007, Pemerintah pusat menerima
permohonan penduduk setempat untuk memisahkan diri dari Tapanuli Selatan,
menyusul Kabupaten Mandailing Natal yang telah lebih dulu memisahkan diri.
Maka terbentuklah dua kabupaten baru waktu itu untuk Provinsi Sumatera Utara, yakni Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Dan tempat tinggalku masuk dalam daerah Pemerintahan Kabupaten Padang Lawas, dengan ibukota kabupatennya Sibuhuan. Secara geografis Padang Lawas atau biasa di singkat dengan Palas ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Rokan Hulu, yang sudah termasuk bagian dari Propinsi Riau. Desaku berada kurang lebih 15 km untuk sampai ke gapura bertuliskan “Selamat Datang Di Propinsi Riau”, dialah yang oleh penduduk setempat disebut dengan desa Rotansogo. Tapi entah kenapa, di KTP dan arsip-arsip Pemerintahan nama desa kami berubah nama menjadi Sibodak Sosa Jae. Mungkin karena aku masih terlalu muda waktu itu, jadi aku tak diundang saat penisbatan nama itu.
Maka terbentuklah dua kabupaten baru waktu itu untuk Provinsi Sumatera Utara, yakni Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Dan tempat tinggalku masuk dalam daerah Pemerintahan Kabupaten Padang Lawas, dengan ibukota kabupatennya Sibuhuan. Secara geografis Padang Lawas atau biasa di singkat dengan Palas ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Rokan Hulu, yang sudah termasuk bagian dari Propinsi Riau. Desaku berada kurang lebih 15 km untuk sampai ke gapura bertuliskan “Selamat Datang Di Propinsi Riau”, dialah yang oleh penduduk setempat disebut dengan desa Rotansogo. Tapi entah kenapa, di KTP dan arsip-arsip Pemerintahan nama desa kami berubah nama menjadi Sibodak Sosa Jae. Mungkin karena aku masih terlalu muda waktu itu, jadi aku tak diundang saat penisbatan nama itu.
Letak rumah keluargaku berbatasan langsung
dengan daerah PT. Perkebunan Nusantara IV, atau lebih tepatnya di bawah Pabrik
Kelapa Sawit yang mengolah hasil ribuan hektar kelapa sawit yang terbentang di
sejauh mata memandang. Tapi jangan salah, ayahku bukan orang yang mengabdikan
tenaga dan fikirannya di perkebunan yang dulunya murni milik negeri tercinta
ini. Walaupun daerah tempat tinggalku cukup terkenal dengan sawitnya yang luas,
kami sekeluarga justru tak memiliki sebatang sawit pun. Ayah lebih memilih
sebagai wiraswasta dengan membuka grosir di depan rumah. Katanya itu lebih
menjanjikan, dan sunnah Rasulullah mencari rezeki dengan berniaga. Walaupun
menurutku, sungguh luar biasa tetangga yang punya kebun sawit berhektar-hektar,
tinggal goyang kaki di rumah, bebas bepergian kemana pun ia mau, dan tiga kali
dalam sebulan terima uang hasil panen sawit miliknya.
Ayahku sengaja menyekolahkan kami di
sekolah anak-anak Perkebunan. Pasalnya, Ayah tak mau kami berubah jadi tak
berpedoman pada Sumpah Pemuda yang menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Karena memang, SD yang ada di desa kami itu masih memakai bahasa ibu mereka
sebagai bahasa pengantar, bahasa Mandailing dengan dialek Sosa. Perlu di
jelaskan, bahasa Mandailing sendiri memang memiliki banyak sekali variasi
dialek. Sebagai contoh, akan berbeda dialek orang Sosa dengan orang yang
tinggal di Sibuhuan. Bahkan bahasa Mandailingnya orang Gunung Tua, Binanga, Padang
Sidimpuan atau Panyabungan juga sangat berbeda. Yang membedakan bisa dialeknya
saja, atau bahkan sampai ke penyempitan dan perluasan maknanya juga berbeda.
Aku pun tak faham kalau harus menjelaskan sampai sejauh itu. Karena memang aku
sendiri tak begitu fasih menggunakan bahasa mandailing ini. Yah, walaupun
ayahku orang Mandailing bermarga Nasution tapi beliau sejak lahir dan dewasa
berada di Pematang Siantar. Jodoh yang tak mengenal jaraklah yang mempertemukan
Ayah dan Mamaku. Jadi kami di rumah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia,
walaupun tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Ada yang menarik di kampungku, atau
lebih tepatnya di tanah Mandailing. Aku lebih suka menyebutnya dengan Kampung
leluhur. Pasalnya nenek moyang orang-orang Mandailing itu dulunya beragama
Islam. Itu cerita dari mulut ke mulut yang pernah ku dengar. Karena alasan itu
pulalah, jika ada orang Mandailing yang beragama di luar dari Islam sudah
pastilah ia murtad dari agama leluhurnya, begitu kata Opung yang biasa
mengajariku mengaji setiap sehabis maghrib waktu kecil dulu. Dan aku cukup
terkejut ketika seorang teman SMA-ku berkata pada suatu hari,” Mala, Aku pengen
jumpa sama orang Kristen, aku enggak tau wajahnya orang Kristen itu seperti apa
?”.
***
Aku terlahir sebagai anak yang
cerdas, dan mampu belajar otodidak. Orang-orang Mandailing memang percaya
setiap keturunan dari marga Nasution itu akan mewarisi kecerdasan nenek
moyangnya si Baroar Nasakti. Setelah menyelesaikan SMA di Salah satu SMA Negeri
Favorit di Padang Sidimpuan, aku di terima sebagai mahasiswa tekhnik Arsitektur
di USU. Kampus Negeri bergengsi untuk daerah tempat tinggalku. Tidak ada yang
spesial menurutku, tapi orang-orang di kampungku sudah sangat terkagum-kagum
karena aku bisa masuk dengan jalur murni tanpa orang dalam atau sogokan
sebagaimana yang biasa dilakukan anak-anak tuan tanah di kampungku. Hari-hariku
semakin berbeda justru ketika aku mengenal Charles.
Charles berusia dua tahun di atasku.
Dia mahasiswa Teknik Sipil di kampus yang sama denganku. Pertemuan kami di
mulai ketika waktu itu aku berjalan hujan-hujanan melampiaskan kesedihan karena
laporan Praktikumku yang tidak di terima oleh asisten Laboratorium. Seseorang
melintas di sampingku dengan motor Beat hitam. Entah sengaja atau tidak ban
motornya menyipratkan genangan air tepat membasahi muka, jilbab, baju dan rok
yang kugunakan. Dengan umpatan yang kutahan di benak, aku membersihkan cipratan
itu. Walaupun aku tahu itu sia-sia. Kesedihan yang kurasakan semakin mendalam,
tak sadar tangisku memecah gemuruh derasnya hujan waktu itu. Dan saat itulah,
Charles tiba-tiba muncul di hadapanku.
Entah apa yang ia katakan padaku.
Aku hanya melihat kedua bibirnya komat-kamit, lalu tangannya meraih pergelangan
tanganku. Mengajak berlindung ke sebuah halte dekat tempat itu. Aku menurut
saja. Tangisanku semakin menjadi-jadi. Entah kapan terkahir kali aku menangis
seperti itu. Mungkin dulu ketika aku masih berumur balita. Aku masih sempat
melihat sosok yang berdiri di sampingku berusaha untuk meredam kesedihanku,
tapi aku tak mendengar apa yang ia katakan. Suaranya dikalahkan oleh derasnya
hujan dan riuhnya tangisanku. Itulah kali pertama aku bertemu dengan Charles.
Sejak pertemuan itu aku jadi sangat
dekat dengannya. Entah itu kebetulan, kos Charles tak jauh dari tempatku
ngekos. Aku jadi sering bertemu Charles. Lama-lama pertemuan itu menjadi alasan
kedekatan kami. Dan entah siapa yang memulai, di antara kami tumbuh benih-benih
cinta yang harusnya terlarang untuk kami. Karena kami terlahir dari suku
berbeda. Bukan hanya itu kami terlahir dengan keyakinan yang berbeda pula. Tapi
kami seperti tak pernah peduli, bahkan sebagai tantangan tersendiri buatku
untuk mempertahankan apa yang kami miliki di hadapan kedua orang tua kami.
Bahkan di hadapan Tuhan yang kami sembah.
***
Lima tahun kami lalui dengan suka
dan duka. Aku sudah menyelesaikan kuliahku sejak setahun yang lalu. Aku juga
sudah di terima kerja sebagai konsultan di sebuah perusahan Property dengan
gaji yang menggiurkan. Sudah saatnya aku memikirkan pernikahan. Mungkin itu
juga yang difikirkan oleh orang tuaku, juga orang tua kekasih hatiku Charles.
Aku sudah beberapa kali bertemu dengan orang tua Charles. Pertama kali aku
dikenalkan pada orang tuanya ketika ia di wisuda sebagai sarjana di akhir 2011.
Kemudian dia membawaku ke kampungnya di Tarutung di tahun baru 2012 silam. Pertemuan
berikutnya saat kakaknya mengikrarkan janji suci sehidup semati dengan pangeran
hatinya. Dan terakhir kali ketika orang tuanya memberi kejutan ulang tahun
untuk adik bungsunya. Pada saat itulah mamanya menanyakan keseriusan kami untuk
sampai ke jenjang pernikahan.
“Mala, kita tidak mungkin menikah
dengan keyakinan yang berbeda. Salah satu di antara kita harus ada yang
mengalah, dan aku tidak pernah memberi tau ke orang tuaku bahwa kau bukan
seorang Kristen. Maukah kau menikah denganku dan mengikuti keyakinanku dan
keluargaku ?” ketika itu gemuruh bergejolak di hatiku. Sebelumnya tak pernah ku
dengar Charles mengatakan hal yang begitu menyakitkan seperti ini. Aku begitu
mencintainya selama ini. Impian untuk hidup berdua dengannya pasti ada. Tapi aku
hanya menangis. Lalu pergi meninggalkannya. Esoknya aku ambil cuti beberapa
hari untuk pulang ke rumah orang tuaku.
***
“Kau orang terpelajar Mala. Ayah
sekolahkan kau dengan hasil keringat Ayah sendiri. Lalu kenapa kau tega
menyakiti Ayah dengan niat meninggalkan agama leluhur kita hanya karena lelaki
yang kau bilang sudah menjadi pacarmu bertahun-tahun itu ?!” hujat Ayah padaku
dengan sangat berang ketika ku beranikan diri untuk mengungkapkan keinginanku
menikah dengan Charles.
“Ayah tidak akan kasih pilihan
padamu Mala. Yang kau harus lakukan hanya satu, kau katakan kepada kekasih
hatimu itu, Charles aku keturunan Mandailing. Titik. Kau ingat Mala, Ayah
memang sudah lama meninggalkan tanah leluhur kita. Bahkan Ayah hidup
berdampingan dengan orang-orang Kristen di Siantar sana. Tapi di kampung kita
ini, di Palas ini dan di seluruh tanah Mandailing orang Kristen dibuat daerah
sendiri. Padang Urung Bao adalah desa khusus untuk orang Kristen bebas
mendirikan gereja dan beribadah atau memakan apa saja yang dihalalkan agama mereka.
Bahkan kau juga pasti ingat bagaimana orang-orang sehabis shalat Jumat bergerak
berbondong-bondong menghancurkan gereja yang akan didirikan di Sibuhuan sana
tanpa izin. Bukan kita tidak bertenggang rasa pada mereka, tapi di tanah kita
mereka orang-orang minoritas dan harus tunduk dengan aturan yang di buat oleh
kepala adat mandailing dan orang Islam. Itu kebijakan dari tetua adat kita,
Orang Cina juga haram hukumnya bersaing dengan pengusaha-pengusaha mandailing
di tanah ini. Itu yang harus kamu perjuangkan Mala. Bukan memperjuangkan
cintamu dengan lelaki itu dengan mengorbankan agamamu. Haram hukumnya bagi
Ayah. Apakah kamu mau Ayah haramkan seperti umat islam mengharamkan memakan
daging babi dan Anjing ? Fikirkan itu.”
Sepanjang perjalananku menuju kota
Medan, aku hanya tertunduk dan gelisah. Merenungi setiap kalimat yang di
teriakkan Ayah ke telingaku. Setengah jam lagi aku akan sampai di Medan.
Charles sudah menunggu kedatanganku di loket Bus Batang Pane Baru yang ku
tumpangi. Kota medan memang masih tidur sepagi ini. Itulah alasan Charles sejak
dulu-dulu selalu menungguku di loket setiap aku kembali ke kota ini.
Dia sudah berdiri gagah dengan
senyumannya yang khas tepat di hadapanku ketika aku menuruni anak tangga bus.
Ada yang berbeda pada pertemuan kali ini. Biasanya aku membalas senyumannya
dengan senyuman terbaikku. Kali ini ku hampiri dia dengan wajah yang masih
sembab. Ketika tepat di hadapannya, kubisikkan pesan Ayah tepat di telinganya,
“Charles, aku keturunan Mandailing.” Lalu, kuhampiri seorang tukang becak, dan
kutinggalkan Charles dengan jutaan tanda tanya di fikirannya.
***
Selesai
Penulis
adalah seorang Mahasiswi Fisika Universitas Sumatera Utara yang lebih suka
menyebut dirinya Sastrawan Fisika.
No comments:
Post a Comment