Sunday, July 29, 2018

Memilih pasangan hidup…



Dari Jabir ra., “Sesungguhnya nabis saw. telah bersabda: Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agamanya, kedudukan, hartanya dan kecantikannya. Maka pilihlah yang baik agamanya.” 
(HR. Muslim dan Tirmidzi)

This's from google image. Excusme and arrigatto^^
Tentunya hadits di atas sudah cukup familiar. Dan menjadi pedoman dalam memilih calon pendamping hidup yang sesuai dengan sunnah. Namun, kali ini aku bermaksud menjabarkan tambahan penjelasan, dengan harapan keberkahan ilmu dan kebermanfaatannya sebagai amal jariyah untukku dan alim yang sebelumnya menyampaikan ini kepadaku.
                Tak dinyana memang, secara tidak langsung hadits di atas mensyaratkan dalam memilih pasangan hidup ia harus memenuhi empat syarat yang dirangkum dalam 4T, yakni Takwa, Tajir, Tampan dan Turunan. Meski Rasulullah saw. Mengakhirkan syarat “Yang baik agamanya”, aku anggap kita sama-sama sepakat bahwa syarat ini merupakan yang paling utama. Tentunya, seseorang pasti akan senang ketika diberikan hadiah utama, tapi fitrahnya akan berbisik bahwa ia menginginkan semua hadiah menjadi miliknya, seperti kesukaannya mengutip peribahasa “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”.
                Well, ternyata Rasulullah saw. Sangat memahami fitrah ini. Dan memang, keempat syarat ini harus dimiliki oleh seseorang yang akan kita putuskan menjadi pasangan hidup, seseorang yang akan menemani kita beribadah. Kalau kata Opung Einstein… (Iyyah, bawa-bawa the King segala…^^), Relatif. Beneran tapi, tajir itu relatif, tampan itu relatif, turunan itu relatif, satu-satunya yang mutlak adalah ketakwaan. (Hayyo.. yang udah negative thinking. Tenang aja, aku berjiwa besar tapi tetap memenuhi syarat kecil sama dengan 55 kg hehehe)
                Jom… kita jabarin atu atu yakkK..
1.       Takwa

Tadi kita udah sepakat bahwa ini syarat utama, ya. Jadi untuk si dia yang ber-takwa, sudah pastilah dia harus Islam. Mutlak, ini! Enggak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau ada yang berdarah-darah memperjuangkan pernikahan beda agama dilegalkan di Indonesia tercinta, bahkan sampe bela-bela’in nikahnya ke Negara lain yang melegalkannya, tetap enggak bisa.
Kalau fatwa MUI tentang haramnya pernikahan beda agama belum mempan juga karena saking pengennya punya pendamping hidup si dia yang non- Muslim, Ingatlah Rumaisha. Seorang Shahabiyah yang menyebabkan Rasulullah saw. menuturkan hadits tentang keutamaan niat. Seorang shahabiyah yang berkata kepada si dia-nya:
                “Wahai Fulan, sungguh tidak ada alasanku untuk menolak lamaranmu. Kau adalah laki-laki terpandang, dari keluarga terpandang lagi tampan. Tapi aku tidak membutuhkan itu, jika kau bersyahadat, maka cukuplah itu sebagai maharku.”
                Alhamdulillah, si dia mau, aku juga ikhlas enggak di kasih mahar apa-apa asal dia mau masuk Islam, biar kayak Rumaisha. Ops.. tunggu dulu. Kalau ketemu yang kayak gini banyak PR-nya soalnya. Islam baru memenuhi kualifasi awal untuk Takwa tadi. Orang bertakwa itu akidah-nya harus bener, istiqomah dengan ibadah wajib dan sunnahnya, tilawah qurannya, dan tidak berhenti memperdalam keilmuan ruhiyahnya.
                Bisa dikatakan orang Takwa itu bukan hanya yang mematuhi apa-apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya saja. Sebab untuk bisa menjadi patuh dia haruslah orang yang kuat. Dikatakan Kuat jika ia sudah memenuhi tiga kriteria pula:
1.       Kuat dalam ruhiyah, berhubungan dengan keimanan
2.       Kuat dalam fikriyah, berhubungan dengan keilmuwannya. Aku pernah ketemu sama salah satu keluarga inspiratif di Medan. Ini mungkin berhubungan dengan laki-laki yang udah mundur duluan karena melihat si perempuan keilmuwannya/kecerdasan/standar hidupnya jauh di atas dia. Jadi si Ibu itu waktu taaruf sama suaminya sekarang, dia tanya gini, “Pak, Bapak yakin mau nikah sama saya? Saya itu dari dulu tomboy, enggak ada sifat keibuannya, saya enggak pandai masak, saya juga enggak biasa ngerjain kerjaan rumah dan saya tipikal perempuan superior yang enggak suka dengan aturan-aturan..”
Wow.. kan? Tapi si Ibu katanya langsung meleleh pas pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan balik oleh si bapak, “Tapi bisa di atur sama Al-Qur’an, kan?”
 Dan,
3.       Kuat dalam finansial, berhubungan dengan kemampuannya untuk menghidupi diri dan keluarganya kelak.
Haduh, masih syarat pertama udah sesak nafas, ya. Makanya, berhusnuzhanlah pada saudara-saudara yang masih takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Mungkin dia belum yakin dirinya sudah memenuhi syarat sesuai sunnah, maka yakinkan dia, jangan tanya, “kapan?”, tapi bantu juga prosesnya bertemu si pemegang rindu yang tak jua mengetuk pintu rumah wali-nya. Haduh… ini seharusnya enggak ada unsur curhatnya. J
2.       Tajir
Apa cari kak? Dolar? Rupiah? Mutiara? Jodoh????

T yang kedua Tajir. Aa Gym pernah nulis buku yang judulnya, “Aku tidak ingin kaya, tapi harus kaya.” Di buku ini Aa Gym menegaskan ke kita-kita, untuk menjalankan Islam secara kaffah itu emang mahal. Haji itu mahal, sedekah itu butuh harta, bahkan untuk menutup aurat saja mahal. Apalagi yang pengennya istrinya syantik.. Percayalah, Upik Abu itu jika dipermak satu hari aja ke salon, Siti Badriah yang katanya “Lagi Syantik” pun jauh.
                Tapi jangan kecil hati dulu, toh Allah sudah jamin di QS. Annur: 32.
                “… Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan pada mereka dengan karunia-Nya.”
                Siapa yang lebih benar janjinya selain Allah? Serius, ayat ini jaminan dari Allah. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan Tajir?
                Nah, pasti dah pada lupa sama Opung Einstein tadi kan? Tajir di sini pengertiannya relatif. Meskipun relatif, secara fisis semuanya bisa dinyatakan dalam angka jika syarat-syarat perhitungannya terpenuhi. So, standar kualifikasi Tajir itu apa?
1.       Sehat Jasmani dan Rohani. Kayak kata atok ninik kita dulu, “banyak anak banyak rezeki”. Karena sehat jasmani dan rohani ini berhubungan dengan kesuburan. Ingat kata Rasulullah saw. “Aku mencintai umatku yang banyak”. Secara Sains pun, tujuan berkembang biak itu adalah untuk mempertahankan keturunan, kan?
2.       Berpenghasilan. Nah, ini… yang orang tua biasanya nanya ke calon mantu yang akan mempersunting anak gadisnya, “kerjanya apa?” Udah dijawab, terus ditanya lagi, “gajinya berapa?”. Ini bukan pengalaman ayah aku, ya. Referensi yang udah jadi rahasia umum ini soalnya.
Enak sih, dengar beberapa alim yang ngisi kajian tentang pernikahan ngebantu kasih  jawaban dengan kalimat,
 “Saya tidak punya pekerjaan tetap pak, tapi saya tetap bekerja.”
“Saya tidak punya penghasilan tetap pak, tapi tetap berpenghasilan.”
Apalagi alim yang ngajarin si ikhwan-ikhwan untuk ganti kalimat akad nikah yang umumnya,
“… dengan mahar seperangkat alat shalat dibayar tunai”,
 Jadi,
 “… dengan mahar sebuah mobil Pajero dibayar tunai.”
And…
Lagi-lagi, standar tajir ini enggak pakai nominal. Tapi masak iya, sekalipun si gadis bilang “Insyaallah aku siap menjadi pendamping hidupmu dan kita mulai semuanya dari nol”, terus di hari pertama pernikahan langsung enggak ada apa-apa yang mau dimakan? Sekalipun si dia jujur dengan kalimatnya, ingatlah ayahnya yang belum pernah membiarkannya kelaparan, memenuhi semua kebutuhannya sehingga tumbuh menjadi cantik seperti sekarang dan siap untuk menghabiskan sisa hidupnya denganmu yang baru datang belakangan.
3.       Punya cita-cita serta visi dan misi yang jelas. Di salah satu training yang aku ikuti beberapa tahun lalu, salah seorang trainer yang mengisi tentang analisa SWOT, berpesan, “Nanti, kalau kalian mau menikah pun, buat SWOT untuk diri sendiri di proposal pernikahan. Insyaallah, si dia akan membantu banyak untuk menyakinkan orang tuanya.”
Sebenarnya training itu tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan, tapi mungkin si trainer sengaja berpesan gitu karena pesertanya rata-rata mahasiswa pra tingkat akhir. Tapi ya enggak harus gitu juga sih. Intinya, masak ia si gadis pengen tinggal di bahtera yang para awaknya hafizh dan hafizhah, terus dia nikah sama pangeran yang passionnya pengusaha, prinsipnya time is money, dia mau anak-anaknya kelak juara olimpiade dan menguasai banyak bahasa asing? Enggak papa juga sih sebenarnya, tapi kan kasihan perempuannya nanti, harus bercucuran keringat untuk bisa mempertemukan benang merah tujuan merekanya.
4.       Pandai bergaul. Karena banyak teman, banyak rezeki. Ada yang curhat di salah satu kajian yang tak sengaja aku ikuti, katanya, salah seorang temannya dulu akan menikah dengan modal cuma 250ribu rupiah. Mendengar itu, teman di salah satu komunitasnya sum-suman terus uangnya dibeli emas. Rezeki bergaul kan?
Ada lagi yang dia pas walimah ursy’, pesan catering, eh si tukang catering malah enggak mau dibayar. “Butuhnya berapa porsi? Acaranya hari apa biar saya antar?”. Bukan cuma teman, hubungan dengan saudara juga. Ingat Rasulullah saw. saat akan meminang Ummul Mukminin Khadijah ra.? Paman-pamannya meminjamkan untuknya, hingga jadilah mahar Khadijah ra. 100 ekor unta.
So, kalau keluarga perempuan minta sebuah mobil CRV aja, bisalah ya, kan mau ikut sunnah Rasul? Eh, mumpung lagi ngomongin mahar nih. Kan ada sebagian berdalih dengan hadits Rasulullah saw. “Sebaik-sebaik laki-laki adalah yang memberikan mahar yang tinggi untuk calon istrinya, sedang sebaik-baik perempuan adalah yang paling rendah maharnya.”
Seringnya memang pihak laki-laki yang susah karena harus memenuhi permintaan mahar dari perempuan. Terus aku ngeliat mereka yang berdalih ini seakan-akan pengennya dapat perempuan yang baik-baik kayak kata Rasul ini, tapi pikiranku jadi liar, kenapa ya laki-laki tidak berfikir untuk memuliakan dirinya menjadi laki-laki yang baik itu? Kalau Si perempuan minta 10 mayam emas misalnya, katakan pada calon mertua, “Bapak, tadinya aku takut bapak akan menyusahkan pernikahan kami dengan meminta mahar 50 mayam emas, sedang aku hanya mempersiapkan 30 mayam saja. Tapi tak mengapa, karena bapak meminta segitu sedang aku sudah mempersiapkan 30 mayam emas, maka aku akan tetap memberikan apa yang sudah aku persiapkan ini menjadi hak putri bapak yang akan menjadi istriku kelak.”
Wow…
Di jamin, seumur hidupnya dikau akan disebut-sebut sebagai mantu terbaik sepanjang masa. Bukankah derajatmu meningkat sebagai laki-laki? Ini langka, karena perempuan dengan mahar seperangkat alat shalat yang disebut-sebut ringan itu sudah menjadi tradisi dan baik dia apalagi kau sebagai suaminya tak ada beda dengan orang kebanyakan.
Aduh, kok aku jadi buat pembacanya sesak nafas lagi, ya?
Assalamualaikum calon imam… ketika kau memutuskan aku jadi makmummu, aku ingin memuliakan diriku dengan mahar hafalan surah Ar-rahman, tapi kau sudah cukup memuliakan dirimu di mataku dan keluargaku dengan memberi maharku 30 Juz hafalanmu. heheheh
5.       Pemaaf. Ini kualifikasi Tajir yang terakhir. Orang pemaaf itu berjiwa besar. Ingat, ya… Berjiwa besar not Berbadan besar. Eh… Maaf, ya. Aku kalau keceplosan emang agak suka main fisik, dikit. Tapi yang berbadan besar janganlah berkecil hati, masak iya karena Hanan Attaki bilang kecil sama dengan 55 kg terus kalian ikut barisan para pembully dia? Kan sedap dengarnya pas calon mertua ditanya, kayakmana calon mantumu itu? Dia orang tajir yang berbadan besar dan berjiwa besar. Yaaa eeeeelaaahh^^
Next…
3.       Tampan
Astaghfirullah... Jangan salah fokus yaak

Aku pernah kenal dengan seseorang yang menikah dengan seorang dokter cantik. Padahal si bapak ini tingginya di bawah rata-rata orang Indonesia dan gemuk, dan belum bisa dibilang orang kaya juga. Mungkin sebagian orang akan berfikir, “Beruntung amat tu orang bisa dapat istri kayak gitu?”, atau yang paling ekstrim bilang, “Pasti diguna-gunanya istrinya makanya mau sama dia…”
                Astaghfirullah….
                Anekdotnya ada juga, seorang laki-laki dengan kulit hitam bisa menikah dengan gadis cantik berkulit putih bersih. Di kamar pengantin, si suami bilang ke istrinya, “Aku tidak percaya, kalau aku akan menjadi orang paling beruntung karena bisa menikah dengan gadis secantik dikau, adinda,” Terus, si istri menanggapi, “Dan aku akan menjadi perempuan yang bersabar sepanjang sisa hidupku karena harus melihat wajahmu setiap hari.” *Jleb
                Itulah kenapa sebagian alim memberi nasihat, menikahlah dengan yang sekufu. Ini mencakup ketakwaannya, ketajirannya, sampai subab wa jamaliha ini. Gunanya ya supaya tidak ada saudara yang terjebak dosa ghibah saat menghadiri acara walimah, dan tidak ada yang terzholimi sepanjang sisa hidup selama mengarungi lautan rumah tangga.
                Lagi-lagi, kuncinya Tampan itu relatif. Titik acuannya pada pribadi masing-masing, dan kriterianya dapat dilihat dari akhlaknya. Maka jangan salahkan mereka yang menciptakan syair, “Di mataku, wajahmu cantik dan bersinar bak bulan purnama.”
                Sebab, jika itu ditujukan pada istrinya, kemungkinan dia berbohong hanya nol koma sekian persen. Tapi tetap sih, upik abu jika dipermak ke salon satu hari, Siti Badriah yang katanya lagi syantik pun jauh…
                Kalau kata seorang teman yang sekarang sedang menikmati profesi barunya sebagai ibu muda, “Aku enggak penting gantengnya, yang penting uangnya.”
Aaaaaahhhhhhhhh… Jangan langsung menyimpulkan semua perempuan itu matre, yak. Karena itu fitrah. #eh
4.       Turunan
Raja Faisal dan putra-putranya

Semacam petuah si Mbah, “Kalau mau nikah tu liat bibit, bebet, babat dan bobot-nya.” Empat T ngomongin itu sih sebenarnya. Tapi kenapa hal ini menjadi penting, oleh sebab dan karena pernikahan itu bukan tentang menyatukan dua orang yang selama ini berserak. Pernikahan itu bukan milik si pengantin dan anak-anak mereka kelak. Sebab pernikahan itu tentang dua keluarga.
                Enggak usah dinyinyirin kalau ada hanya mau menikah dengan suku tertentu. Ini sama sekali enggak SARA. Alasan dia dengan syarat itu pasti atas pertimbangan ini. Kenapa dia enggak sama si anu aja, lebih cantik, lebih sholehah, lebih bla-bla. Yah, bisa jadi pada saat dipilihkan yang demikian dia khawatir akan menzholiminya karena sulit untuk menerima keadaan keluarganya. Bisa jadi.
                So, yang perlu digarisbawahi tentang turunan ini bukan dalam hal karena dia anak si anu dan keturunan si anu. Tapi sebab pernikahan itu tentang dua keluarga. Kalau kata mamaku, setelah adikku menikah dia bilang, “sekarang anak mama udah nambah satu.” Itu!!
                Siap menjadi istrinya, berarti siap menjadi anggota baru di keluarganya. Begitupun si suami, siap menikahi anak gadisnya berarti siap pula berbakti selayaknya anak pada orang tuanya.
Finally…
Sampailah kita di penghujung jalan…
And again... tulisan ini kurangkum dari beberapa orang alim dan berpengalaman. Belum kulalui masanya, tapi akan kurasakan manfaatnya. Sebab itulah, aku ingin kebermanfaatan ini tak hanya padaku, maka silahkan share tulisan ini untuk tabungan jariyah kita. Jika ada kritikan silahkan disampaikan langsung, tapi tolong jangan dibully… Aku enggak kuat. Beban rinduku masih terlalu berat soalnya…^^

No comments:

Post a Comment